Kemendikbud Sesalkan Praktik Intoleransi di SMKN 2 Padang
Intoleransi di lingkungan sekolah di Padang, Sumatera Barat, disayangkan. Pemerintah bisa mengambil tindakan tegas kepada siapa pun yang memfasilitasi kebijakan atau aturan yang menyuburkan intoleransi itu.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Mural bertema kebinekaan menghiasi tiang penyangga jalan layang di Prof Dr Latumenten, Tambora, Jakarta Barat, Minggu (8/11/2020). Kerukunan hidup di tengah keberagaman masyarakat Indonesia akan selalu terjaga jika semua warganya mengamalkan sikap toleran dan saling menghormati.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyesalkan tindakan intoleransi saat seorang siswi nonmuslim diminta mengenakan hijab di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Padang, Sumatera Barat. Kemendikbud menyatakan harus ada sanksi tegas terhadap setiap pelaku yang terbukti melanggar peraturan di satuan pendidikan.
Sebelumnya, viral video di media sosial yang memperlihatkan percakapan salah seorang orangtua siswa EH dengan pihak sekolah SMKN 2 Padang. EH dipanggil pihak sekolah karena anaknya, JC, tidak mengenakan jilbab.
JC tercatat sebagai siswi kelas IX pada Jurusan Otomatisasi dan Tata Kelola Perkantoran (OTKP) di sekolah itu. Dia tidak berjilbab karena bukan Muslim.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud, Wikan Sakarinto mengatakan, ketentuan seragam sekolah telah diatur melalui Peraturan Mendikbud Nomor 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Permendikbud ini tidak mewajibkan model pakaian kekhususan agama tertentu menjadi pakaian seragam sekolah.
Ketentuan sekolah semestinya berpegang pada penghormatan terhadap hak asasi manusia dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan.
Selain itu, sekolah juga tidak boleh melarang jika siswa mengenakan seragam sekolah dengan model pakaian atribut agama tertentu berdasarkan kehendak orangtua, wali, dan peserta didik yang bersangkutan.
Kompas/Priyombodo
Adam, siswa kelas 3 SD Negeri Petukangan Selatan 03, Jakarta Selatan, berpamitan dengan gurunya seusai mengikuti pelajaran di sekolah, Selasa (19/1/2021).
”Dinas pendidikan harus memastikan kepala sekolah, guru, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk mematuhi Peraturan Mendikbud Nomor 45 Tahun 2014. Kami minta semua pemerintah daerah konsisten melakukan peraturan itu. Jadi, seluruh masyarakat punya pemahaman yang sama,” kata Wikan, Sabtu (23/1/2021) di Jakarta.
Wikan berharap tidak akan terjadi lagi praktik pelanggaran aturan terkait pakaian seragam yang menyangkut agama dan kepercayaan seseorang di satuan pendidikan. Kemendikbud bisa mengambil langkah tegas agar praktik intoleransi di lingkungan pendidikan dapat dihentikan.
Komisioner Komisi Pendidikan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, dalam keterangan tertulis, Sabtu di Jakarta menyampaikan, Ombudsman Sumatera Barat telah memanggil manajemen SMKN 2 Padang untuk konfirmasi kasus.
Dari hasil pertemuan, sekolah membenarkan adanya kebijakan yang mewajibkan siswi harus berkerudung, meski yang bersangkutan bukan Muslim. Kepala sekolah bersangkutan bahkan mengaku selama ini tidak ada penolakan.
Dari hasil temuan itu, Retno prihatin. Ketentuan sekolah semestinya berpegang pada penghormatan terhadap hak asasi manusia dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan. Memaksa peserta didik mengenakan pakaian atribut agama tertentu yang bukan dia anut melanggar hak asasi manusia.
Kompas/Wawan H Prabowo
Mural bertema keberagaman tergambar di tiang penyangga jalan layang Ahmad Yani, Kota Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (31/10/2020). Kerukunan hidup di tengah keberagaman masyarakat Indonesia akan selalu terjaga jika semua warganya mengamalkan sikap toleran dan saling menghormati.
Kekerasan
Kasus yang terjadi di SMKN 2 Padang, kata Retno, bisa masuk kategori kekerasan. Peraturan Mendikbud Nomor 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan bertujuan menciptakan proses pembelajaran yang aman, nyaman, menyenangkan, dan terhindar dari tindakan kekerasan.
Pasal 6 Huruf (i) Peraturan Mendikbud No 82/2015 menyebut tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan/atau antargolongan (SARA) merupakan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada SARA.
Retno juga menduga, sekolah melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dia merekomendasikan agar Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar untuk memeriksa Kepala SMKN 2 Kota Padang dan jajarannya dengan Peraturan Mendikbud No 82/2015 ataupun peraturan perundang-perundangan lain yang dinilai sudah dilanggar.
Dinas pendidikan lainnya diharapkan segera belajar dari pengalaman kasus itu dan mengingatkan sekolah-sekolah agar tidak mengulang. ”Kami juga mendorong kementerian untuk meningkatkan sosialisasi Permendikbud Nomor 82/2015 secara masif kepada seluruh dinas pendidikan dan sekolah,” imbuh Retno.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menilai, pemaksaan wajib berpakaian seragam dengan atribut agama tertentu di Padang itu menambah deretan kasus intoleransi di sekolah.
Sebelumnya, ada kejadian seorang guru di Jakarta yang meminta siswa-siswanya memilih calon ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dengan atribut SARA. Kejadian serupa juga sempat terjadi di Depok, Jawa Barat.
Dia berharap Kemendikbud menyiapkan kebijakan antisipatif, baik melalui kurikulum maupun pembinaan sumber daya manusia. Misalnya, dalam upaya merekrut tenaga dosen atau pendidik harus ada penyaringan ketat mengenai rekam jejak mereka.