Meski Terkendala Finansial, Sekolah Swasta Upayakan Pembelajaran Tetap Berjalan
Pandemi Covid-19 berkepanjangan berimbas pada kondisi finansial satuan pendidikan swasta. Meski demikian, pengurus yayasan diharapkan tidak sampai memutus hubungan kerja guru ataupun mengeluarkan siswa.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelola satuan pendidikan swasta masih berhadapan dengan permasalahan keuangan sebagai imbas pandemi Covid-19. Penghematan anggaran menjadi satu-satunya cara agar layanan pembelajaran tetap berjalan.
Ketua Umum Majelis Pendidikan Kristen Indonesia David J Tjandra mengatakan, selama ini yayasan selalu diimbau agar memperketat prioritas pengeluaran. Belanja sekunder yang dirasa tidak bermanfaat selama masa pandemi Covid-19, seperti ekspansi gedung baru, disarankan tidak dijalankan.
”Pengeluaran sebaiknya dipakai untuk hal-hal yang amat dibutuhkan selama pandemi. Kalau keperluan teknologi informasi untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ), itu kami dorong,” ujarnya di sela-sela menghadiri dialog Polemik Trijaya: Nasib Siswa di Tengah Pandemi, Sabtu (23/1/2021), di Jakarta.
David mengakui, sudah ada sejumlah orangtua yang pendapatannya terdampak pandemi Covid-19. Akibatnya, sejumlah siswa menunggak iuran dan di antaranya lebih dari sebulan. Kondisi itu berpengaruh ke penerimaan sekolah swasta yang tergantung dengan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).
Jika orangtua harus menunggak SPP karena terdampak pandemi, orangtua harus mengomunikasikan kepada sekolah. Pihak yayasan harus mau cari solusi.
Majelis meminta pengurus yayasan selalu berkomunikasi mengenai kekhawatiran kondisi finansial dengan orangtua. ”Semacam subsidi silang. Apabila ada orangtua yang masih berpendapatan lebih, misalnya usahanya malah laku keras, maka orangtua bersangkutan dapat membantu orangtua lainnya,” tuturnya.
David menekankan, seberat apa pun tantangan finansial sekolah, pengurus yayasan diminta jangan sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) guru. Kepada sejumlah orangtua yang sudah menunggak SPP, pengurus yayasan diminta memaklumi dan tidak mengeluarkan anak.
Pada tahun ajaran 2021/2022 pun tidak boleh ada kenaikan nilai sumbangan gedung dan uang pangkal. Pengurus yayasan diminta mendorong sekolah mengoptimalkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah.
”Kami juga berharap, tantangan keuangan itu tidak menurunkan semangat sekolah memberikan layanan pendidikan akademis dan karakter kepada anak. Efisiensi pembelajaran yang ditawarkan teknologi digital mesti dioptimalkan,” kata David.
Ketua Umum Jaringan Sekolah Islam Terpadu Mohammad Zahri menyampaikan pengalaman senada. Pihaknya mengatur pengurus agar tetap menjaga eksistensi yayasan, seperti tetap berinovasi. Setiap permasalahan keuangan mesti dikomunikasikan bersama jaringan dan orangtua.
”Tidak bisa masalah finansial jadi beban sepihak. Jika orangtua harus menunggak SPP karena terdampak pandemi, orangtua harus mengomunikasikan kepada sekolah. Pihak yayasan harus mau cari solusi,” ujarnya.
Sama seperti David, Jaringan Sekolah Islam Terpadu juga meminta lembaga pendidikan tidak mengeluarkan siswa dengan alasan menunggak SPP. Total sekolah yang jadi bagian jaringan sekarang mencapai 2.000-an di 34 provinsi.
Zahri mengakui, lembaga pendidikan yang jadi bagian jaringan memiliki kondisi berbeda-beda, apalagi jika dilihat dari lokasi kota dan desa. Hal itu memengaruhi kondisi finansial mereka. Ada sekolah yang mempunyai guru inovatif selama proses PJJ, orangtua akhirnya mau menambah nilai SPP.
Agar inovasi terus dijaga sekolah, jaringan telah membuat prosedur standar operasi PJJ. Misalnya, bekerja sama dengan lembaga kebudayaan yang punya layanan pendidikan interatif di media daring. Jaringan juga menyusun kegiatan pendampingan kepada keluarga guru dan orangtua untuk menjaga optimisme.
Khawatir gaji
Tahun lalu, INSPIRASI Foundation dan Global School Leaders menyelenggarakan survei kepada 1.833 kepala sekolah di 12 negara, termasuk Indonesia. Untuk Indonesia, survei menyasar 827 kepala sekolah dengan rincian 458 orang berasal dari satuan pendidikan negeri dan 369 orang dari swasta.
Survei memakai metode daring, yakni didesain menggunakan aplikasi Google Form. Lalu, pengumpulan respons kepala sekolah berlangsung 8-14 April 2020.
Salah satu temuan menarik yaitu 61,79 persen kepala satuan pendidikan swasta khawatir terhadap isu keuangan selama pandemi Covid-19. Isu ini juga menyangkut penggajian guru.
Mengenai tantangan selama pandemi masih berlangsung, kepala satuan pendidikan di Indonesia menyebutkan secara berturut-turut kesejahteraan siswa (74,73 persen), keuangan (45,10 persen), dan mengajar menggunakan metode daring (40,99 persen).
Kemudian, ketidakmampuan menjangkau/berkomunikasi dengan keluarga (25,15 persen), ketidaktahuan melanjutkan pembelajaran (9,79 persen), ketakutan siswa putus sekolah (3,51 persen), dan informasi palsu (2,78 persen).
Sementara berdasarkan hasil penelitian Center for Indonesia Policy Studies atau CIPS (Agustus 2017), porsi sekolah swasta di Indonesia mencapai 35 persen dari total.
Di sejumlah daerah, porsi satuan pendidikan swasta lebih besar dari negeri. Kegiatan operasional mereka, terutama satuan pendidikan swasta berbiaya rendah, amat tergantung iuran bulanan orangtua siswa. Jika ada dana BOS, itu pun sering belum bisa menutup biaya operasional satuan pendidikan.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jumeri mengatakan, upaya mengatasi tantangan layanan pendidikan selama pandemi Covid-19 butuh kolaborasi. Kemendikbud tidak bisa berjalan menyelesaikan sendiri.
Dari sisi persoalan keuangan sekolah, katanya, Kemendikbud berkomitmen menindaklanjuti. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah relaksasi penggunaan dana BOS reguler, BOS kinerja, dan BOS afirmasi untuk seluruh sekolah baik negeri maupun swasta.
Relaksasi yang dimaksud tak lain diizinkannya alokasi dana untuk membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan selama pandemi. ”Kebijakan seperti itu telah berjalan sejak 2020 dan akan kami lanjutkan pada tahun ini. Mekanismenya pun masih sama, yaitu transfer langsung ke rekening sekolah,” ujarnya.
Jumeri menjelaskan, perbedaan pendistribusian BOS tahun 2021 dengan sebelumnya terletak pada indikator. Pada tahun ini, indikator penyaluran yang dipakai adalah beban daerah dan sekolah.
Indikator ini akan memungkinkan satuan pendidikan kecil, seperti memiliki jumlah siswa sedikit dan keterbatasan infrastruktur, akan menerima nilai dana besar. Mekanisme pembagian BOS seperti itu diharapkan menciptakan keadilan dan pemerataan.
Bagi satuan pendidikan, termasuk swasta di daerah terpencil, yang masih mengalami kendala belajar-mengajar, dia menyebut Kemendikbud telah menerbitkan modul-modul pembelajaran. Meski baru sebatas untuk pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar, Jumeri memastikan modul diperuntukkan bagi siswa, orangtua, dan guru.