Harapan hadirnya Undang-Undangan Penghapusan Kekerasan Seksual yang berpihak pada korban kekerasan seksual terus disuarakan. DPR diharapkan membahas dan mengesahkan Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual tahun ini.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Tidak banyak korban kekerasan seksual berani bicara membuka kisah pahit, bahkan tragedi dalam hidupnya. Sebagian besar dari mereka memilih bungkam. Hanya sedikit, bahkan jarang ada yang mau bicara, apalagi bicara terbuka ke publik mengungkap luka yang mungkin bisa terbawa hingga akhir hayat.
Bagi seorang penyintas kekerasan seksual, butuh keberanian yang besar untuk bisa sampai membuka kasus yang dialaminya dan menceritakan kepada orang banyak. TW (22) misalnya. Seorang mahasiswa asal Semarang, akhirnya berani menceritakan kasus yang dialaminya, setelah perjuangannya untuk mendapatkan keadilan berhasil.
“Saya merupakan seorang penyintas tindak kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Saya mengalami kekerasan sejak saya berusia 13 tahun hingga 19 tahun, dan hal tersebut terjadi di rumah saya sendiri. Pelaku kekerasan tidak lain adalah kekasih dari ibu saya yang tinggal bersama kami sejak saya kecil,” ujar TW.
Ia dalam testimoninya, pada acara Laporan Tahunan 2020 LPSK, pada Refleksi Awal Tahun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Laporan Kinerja 2020, Jumat (15/1/2021) yang digelar daring.
Pada forum tersebut, TW menegaskan dia mau tampil menceritakan kisah kelamnya kepada semua orang, untuk menunjukkan bahwa kekerasan seksual benar-benar terjadi di tengah masyarakat.
Saya mengalami kekerasan sejak saya berusia 13 tahun hingga 19 tahun, dan hal tersebut terjadi di rumah saya sendiri.
“Kami ada di sini dan kami mampu berjuang. Kami lebih dari sekadar cerita yang bapak ibu baca di berita. Kami ini individu-individu yang melebur dan ada di dalam masyarakat yang sedihnya seringkali tak terlihat dan tak terdengar. Percayalah Pak, Bu, korban kekerasan itu bertebaran di manapun di mana-mana di seluruh lapisan masyarakat,” ujar TW.
Selama sekitar 10 menit, TW yang tampil menggunakan masker, menceritakan perjalanannya mencari keadilan atas kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya. Setelah lima tahun menjadi korban kekerasan seksual, pada tahun 2018, TW akhirnya memberanikan diri untuk berbicara dengan ibunya.
“Saya harus menerima kenyataan pahit bahwa ibu saya sendiri tidak mempercayai kesaksian saya dan justru membela pelaku. Mereka bahkan memutuskan untuk menikah dan menyangkal semua kesaksian yang telah saya sampaikan,” ungkap TW.
TW pun akhirnya mencari keadilan melalui jalur hukum, meskipun itu tidak mudah baginya. Sekitar dua tahun dia berjuang mengikuti proses hukum dengan berbagai hambatan. Bahkan, proses hukum sempat mandek sekitar enam bulan, saat tahap penyelidikan di kepolisian karena dianggap kurang bukti dan saksi. Namun, akhirnya kasusnya berlanjut hingga tingkat Mahkamah Agung.
Sebelum mendapat perlindungan dan pendampingan dari LPSK, TW bersama keluarga dan penasihat hukum mengaku berjalan sendirian, tak jarang mengalami jalan buntu. Dukungan LPSK sangat berarti bagi TW untuk berjuang. Tak hanya merasa aman, dia juga mendapat penguatan dari sisi psikologi.
Dukungan LPSK
Bahkan, saat di persidangan, ketika TW tidak sanggup berhadapan dengan pelaku, atas dukungan LPSK, TW pun bisa memberi kesaksian tanpa harus melihat pelaku satu ruangan di persidangan.
“Saat itu saya ingat, saya merasa sangat amat sendirian, sangat takut, dan terintimidasi. Saya tidak yakin tanpa kehadiran tim LPSK di ruang itu saya akan mampu bersaksi selama empat jam tanpa henti, dan menjawab detail pertanyaan-pertanyaan yang rasanya itu ibarat mengorek-ngorek luka yang masih basah,” papar TW.
Keadilan akhirnya diperoleh TW. Pada akhir tahun 2019, pelaku divonis hukuman 13 tahun penjara dengan denda Rp 1,5 miliar di tingkat pengadilan negeri. Pelaku kemudian banding hingga kasasi di Mahkamah Agung. Kasus tersebut berakhir dengan hukuman lebih berat bagi pelaku, yakni 18 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.
TW berharap putusan yang berpihak pada korban menjadi yurisprudensi bagi para hakim yang mengadili perkara kasus kekerasan seksual. Bagi TW, hukuman yang setimpal bagi pelaku setidaknya menunjukkan kehadiran negara bagi korban.
“ Kerugian yang dialami seorang korban kekerasan seksual itu tidak dapat dinominalkan dan tidak dapat dihitung dengan angka. Kami mengalami luka yang sangat mendalam yang mau tidak mau harus kami bawa sampai kami mati,” ungkap TW.
Maka, bagi TW dan para perempuan serta anak-anak (laki-laki maupun perempuan) yang menjadi korban kekerasan seksual, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang kini dalam proses legislasi di DPR membawa secercah harapan bagi para korban kekerasan seksual.
Karena itu, suara untuk mendorong para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar segera menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, dan membahasnya segera mengesahkan menjadi undang-undang harus terus diteriakkan.
Apalagi, menurut ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda, kekerasan seksual sebenarnya mempunyai skala sangat luas. Terbukti pada tahun 2020 ada 245 permohonan perlindungan saksi dan korban di LPSK.
Chairul menilai kekerasan seksual dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) perlu mendapat perhatian. Karena KDRT, terutamanya kekerasan seksual pembuktian perkaranya sulit (minimnya saksi atau keengganan korban untuk bersaksi).
“Perlindungan saksi dan korban oleh LPSK dalam perkara-perkara ini dapat memotivasi saksi dan korban untuk mengungkap dan membuktikan kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup rumah tangga,” paparnya.
Korban kekerasan seksual lebih 50 persen
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR pada 13 Januari 2021 lalu, mengungkapkan kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa selama tahun 2020 (1 Januari-31 Desember 2020) sebanyak 6.554 kasus dengan 6.620 korban, yang 59,80 persen korban adalah KDRT.
Adapun kasus kekerasan terhadap anak selama tahun 2020 (1 Januari- 31 Desember 2020) sebanyak 8.687 kasus dengan 9.513 korban. Persentase terbesar yakni korban kekerasan seksual dengan jumlah 54,58 persen.
Perjuangan meraih keadilan begitu panjang dan berat, selain membutuhkan energi dan keberanian yang besar dari sang penyintas, juga membutuhkan dukungan berbagai pihak.
Karena itulah, kepastian proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah diputuskan ke Badan Legislasi DPR pekan lalu sebagai salah satu dari RUU Prolegnas Prioritas 2021, kini dinantikan.
“Harapanya semoga di masa sidang ke dua Baleg membahas RUU dan Juli 2021 Indonesia sudah memiliki UU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ungkap Koordinator Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) untuk perempuan korban kekerasan, Veni Siregar.