Belum Semua Perguruan Tinggi Jalankan Konsep Kampus Merdeka
Penerapan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka membutuhkan perubahan paradigma dari sivitas akademika.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak digulirkan pemerintah awal tahun 2020, masih ada perguruan tinggi yang belum menjadikan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka sebagai program utama. Kekhawatiran sulit mencari mitra kerja sama dan dukungan pendanaan diduga menjadi penyebab.
Sub Koordinator Kerja Sama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Firman Hidayat saat menghadiri webinar ”Pendidikan Tinggi Masa Depan dalam Tantangan Pandemi dan Peradaban Digital” yang digelar Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK), Rabu (20/1/2021), di Jakarta, mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan solusi kebijakan.
Salah satu kebijakannya adalah Merdeka Belajar episode Transformasi Dana Pendidikan Tinggi. Kebijakan ini berisi tiga skema pendanaan, yakni insentif khusus bagi perguruan tinggi negeri (PTN), dana penyeimbang kontribusi mitra (matching fund), dan dana program kompetisi Kampus Merdeka (competitive fund).
Untuk tiga skema itu, Kemendikbud telah menaikkan anggaran PTN dan perguruan tinggi swasta (PTS) sebesar 70 persen, dari Rp 2,90 triliun pada 2020 menjadi Rp 4,95 triliun pada 2021. Sebagai perincian, anggaran untuk skema matching fund Rp 250 miliar, competitive fund Rp 500 miliar, dan insentif khusus PTN Rp 1,3 miliar.
Kemendikbud telah menyediakan platform kedaireka.id yang memudahkan pertemuan calon mitra dan perguruan tinggi. Calon mitra dapat mengajukan proposal permasalahan yang harus dipecahkan dan perguruan tinggi dapat mengajukan solusi yang akan dikaji.
”Dari hasil survei ke seluruh perguruan tinggi, pimpinan kampus, dan dosen yang kami sebar akhir 2020, sebanyak 10 persen pimpinan kurang mendukung implementasi Kampus Merdeka dan kesulitan cari mitra kerja sama. Aneka solusi kebijakan telah dikeluarkan sehingga tentunya kampus mesti kreatif memanfaatkan,” ujar Firman.
Dari hasil survei ke seluruh perguruan tinggi, pimpinan kampus, dan dosen yang kami sebar akhir 2020, sebanyak 10 persen pimpinan kurang mendukung implementasi Kampus Merdeka dan kesulitan cari mitra kerja sama. Aneka solusi kebijakan telah dikeluarkan sehingga tentunya kampus mesti kreatif memanfaatkan.(Firman Hidayat)
Sebanyak 90 persen pimpinan perguruan tinggi sudah memahami gagasan di balik kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. Mengenai implementasi kebijakan itu, 35 persen penerapan masih dominan pada magang dan pertukaran mahasiswa.
Penawaran tiga skema pendanaan juga dapat apresiasi positif meskipun antusiasnya harus ditingkatkan. Sebagai contoh, pendaftar skema competitive fund tercatat 300 perguruan tinggi.
Menurut Firman, program Merdeka Belajar Episode Kampus Merdeka ataupun Transformasi Dana Pendidikan Tinggi telah menjadi acuan utama kebijakan pemerintah. Salah satu program prioritas di rencana strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sampai empat tahun mendatang adalah menguatkan mutu dan relevansi perguruan tinggi.
Secara sistem, lanjut dia, pemerintah berupaya mengintegrasikan pengawasan pelaksanaan dua program itu dengan sistem kebijakan lainnya. Akreditasi lembaga atau program studi, misalnya, akan mengacu data di Pangkalan Data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Implementasi delapan indikator kinerja umum (IKU), bagian dari Merdeka Belajar, juga akan dibuatkan sistem yang memudahkan kampus mengunggah data capaian. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi akan mudah memantau.
Dosen Universitas Sanata Dharma, J Haryatmoko SJ, menyampaikan pentingnya mengubah paradigma dosen dan pimpinan perguruan tinggi. Perubahan ini diikuti dengan sistem dan modalitas.
Hal itu tidak hanya berlaku untuk menanggapi kebijakan Merdeka Belajar yang dikeluarkan Kemendikbud, tetapi juga dalam konteks yang lebih luas, yaitu peradaban digital. Sejumlah disrupsi digital memengaruhi tatanan industri, antara lain, komputasi awan, kecerdasan buatan, dan benda-benda yang terhubung dengan internet. Perusahaan kini berinvestasi kepada teknologi, bukan lagi gedung. Kondisi tersebut juga berdampak ke perguruan tinggi.
”Pendidikan tinggi semestinya bisa fokus menjawab tuntutan profesionalisme dan ketidakpastian di era disrupsi inovasi. Model pembelajaran di kampus mesti menekankan pada pemecahan masalah,” tuturnya.
Menurut dia, implementasi Merdeka Belajar Episode Kampus Merdeka akan berkorelasi dengan kondisi akreditasi lembaga perguruan tinggi ataupun program studi. Dia memandang perlunya akreditasi dengan mekanisme yang inovatif.
Apabila ada perguruan tinggi yang kini terakreditasi A, pemerintah semestinya mengakomodasi mereka agar memiliki program kreatif dan akreditasi untuk kampus bersangkutan tidak lagi memakai cara-cara lama.
Rektor Universitas Tarumanegara (UNTAR) Agustinus Purna Irawan menyampaikan, hingga sekarang, masih ada dosen yang lebih senang riset di laboratorium di dalam kampus dibanding berkolaborasi dengan industri. Kemitraan di antara perguruan tinggi juga tidak mudah dijalankan, hanya sebatas membuat konten bahan ajar bersama.
Sebelum ada kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, dia menceritakan bahwa UNTAR telah memiliki sistem penyetaraan. Bagi mahasiswa yang punya kegiatan bersifat menambah keterampilan, kampus menyetarakan kegiatan itu hingga 12 satuan kredit semester.
Sejalan dengan gairah pemerintah mendorong penerapan Kampus Merdeka, dia berpendapat pemerintah perlu menaruh perhatian terhadap PTS. Selain jumlahnya banyak, kondisi PTS tersebut beragam. Perhatian bisa berupa dukungan pendanaan, peningkatan kualitas, pengadaan laboratorium, dan program magang.