Peran Pendidikan Jalur Nonformal dan Informal Jangan Sampai Terabaikan
Draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 dinilai terlalu berpihak pada pendidikan jalur formal. Pendidikan jalur informal dan nonformal masih terabaikan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peta jalan pendidikan Indonesia dibutuhkan agar ada keberlanjutan kebijakan antar-rezim pemerintahan. Strategi di dalamnya semestinya menyasar pendidikan jalur formal, informal, dan nonformal secara berimbang.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panitia Kerja Peta Jalan Pendidikan Komisi X DPR, Selasa (19/1/2021), di Jakarta. RDPU dihadiri Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi), Forum Pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan (PLKP), Himpunan Penyelenggara Pelatihan dan Kursus Indonesia, Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia, dan Perkumpulan Orangtua Disabilitas Indonesia (Portadin).
Pertengahan tahun lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyampaikan draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Menurut Ketua Pengurus Pusat Himpaudi Netty Herawati, draf itu belum disertai narasi. Sebagai dokumen penting, peta jalan pendidikan semestinya diisi penjabaran rinci agar tidak memunculkan miskomunikasi.
Dari sisi substansi, dia menilai peta jalan pendidikan cenderung condong ke persekolahan/layanan pendidikan formal. Padahal, dalam konteks layanan PAUD, misalnya, sebagian besar dikelola secara nonformal. Hanya 2 persen PAUD yang dimiliki lembaga formal. Porsi guru satuan PAUD formal dibandingkan nonformal sekarang 56 persen berbanding 44 persen.
Pendidikan nonformal bisa menjadi sambungan program pendidikan di lembaga pendidikan formal dan aktivitas pendidikan di rumah. Bagi mereka yang putus sekolah, penganggur, setengah penganggur, ataupun warga lanjut usia, pendidikan jalur nonformal memudahkan mereka untuk memperoleh keterampilan.
Jika pendidikan jalur informal dan nonformal tidak secara eksplisit dimunculkan di peta jalan, kami khawatir tidak akan ada cantolan program dan penganggaran dari pemerintah.
”Jika pendidikan jalur informal dan nonformal tidak secara eksplisit dimunculkan di peta jalan, kami khawatir tidak akan ada cantolan program dan penganggaran dari pemerintah,” ujarnya.
Ketua Himpunan Penyelenggara Pelatihan dan Kursus Indonesia Asep Syarifudin mengatakan, Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengakui pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal. Keberadaan ketiga jalur ini saling melengkapi.
Menurut Asep, layanan pelatihan dan kursus yang masuk kategori pendidikan jalur nonformal membantu tenaga kerja terserap ke industri. Lulusan SMA, SMK, atau perguruan tinggi bisa memperbarui keterampilan di lembaga pelatihan dan kursus. Demikian pula karyawan yang terdampak pemutusan hubungan kerja.
Kemendikbud sendiri telah memiliki Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi yang mengurus kebutuhan vokasional, termasuk pelatihan dan kursus. Namun, draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 belum mengakomodasi secara eksplisit pemutakhiran penyelenggaraan pelatihan dan kursus.
”Kami telah berdiri sejak 1977 dan anggota berjumlah 14.016. Beberapa bertahan seadanya, pola lama, tetapi ada juga yang terus melakukan pembaruan. Pemerintah perlu memberikan perhatian,” kata Asep.
Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia Gufroni Sakaril mengungkapkan, populasi penyandang disabilitas mencapai 30,4 juta orang dan hanya 5,48 persen yang mengenyam pendidikan jalur formal. Data Survei Ekonomi Nasional 2018 mengindikasikan bahwa tiga dari sepuluh anak penyandang disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan.
Menurut dia, peta jalan pendidikan Indonesia semestinya memasukkan arah kebijakan pendidikan yang inklusif. Artinya, semua anak berkebutuhan khusus berhak mendapatkan layanan pendidikan, baik dari sekolah formal, informal, maupun nonformal.
”Kami berharap Kemendikbud menyempurnakan kembali draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Detail rencana aksi dan anggaran perlu diikutsertakan, seperti kurikulum pendidikan inklusif dari jenjang PAUD sampai pendidikan tinggi,” ujar Gufroni.
Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi juga mempunyai pendapat senada. Pemerintah harus serius menaruh perhatian terhadap pendidikan jalur informal, nonformal, serta pendidikan khusus.
Dia memandang, draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 belum memuat latar belakang pemikiran yang mengacu pada kajian akademis, filosofis, dan yuridis. Keberagaman kondisi Indonesia tidak disertakan. Selain itu, substansi strategi tidak berbasis bukti, terkesan berserakan, dan langsung merujuk pada tataran teknis.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, My Esti Wijayanti, menyampaikan, hasil pembahasan RDPU dapat dipakai untuk mendorong pemerintah mendengarkan suara pemangku kepentingan pendidikan nasional. Sementara Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian menekankan, segala masukan tersebut harus didengar pemerintah sebagai bahan perbaikan.
Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbud Samto saat dikonfirmasi menjelaskan, draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 masih terus difinalisasi. Awalnya, pemerintah menginginkan Merdeka Belajar yang menjadi pijakan utama kebijakan. ”Namun, masukan dari sekolah-sekolah yang kami temui ternyata punya semangat sama dengan RDPU Panitia Kerja Peta Jalan Pendidikan Komisi X DPR,” katanya.