Sejarawan dan arsiparis sejarah Kompeni Dagang Belanda serta orang Tionghoa di Indonesia, Mona Lohanda, berpulang Sabtu (16/1/2021) malam. Kepergiannya membawa duka dan kehilangan bagi dunia penelitian sejarah Nusantara.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Tidak banyak sejarawan Indonesia yang menekuni arsip sedalam dan seluas Mona Lohanda. Begitu awalan yang ditulis Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dalam undangan untuk turut serta mengenang karya dan kehidupan Mona Lohanda secara virtual, Minggu (17/1/2021) malam, atau sehari pasca-wafatnya mantan peneliti Arsip Nasional tersebut.
Yohanes Febriyandi, keponakan Mona Lohanda, yang hadir malam itu, mengatakan, almarhum menderita penyakit diabetes. Pandemi Covid-19 sempat membuat Yohanes kesulitan mencari rumah sakit yang bersedia merawat Mona Lohanda. Saat sudah ada rumah sakit yang menerima, Mona Lohanda mengalami kondisi sesak napas dan sempat muntah darah. Mona Lohanda berpulang pada Sabtu (16/1/2021) sekitar pukul 22.00 dalam usia 74.
Mona Lohanda menyelesaikan studi sejarah di Universitas Indonesia tahun 1975. Mona kemudian bekerja di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sejak tahun 1972 dan pensiun pada akhir 2012. Para doktor dan penulis sejarah Nusantara, seperti Peter Carey, Anthony Reid, Aiko Kurasawa Inomata, Kenichi Goto, Aisawa Nobu, Claudine Salmon, Merry Sommers Heidhues, Heather Sutherland, Charles Coppel, John Ingleson, Robert Cribb, Merle Calvin Ricklefs, Ruth Mc Vey, Henk Schulte Nordholt, Jap Erkelens, Leonard Blusse, Adolf Heuken, Remco Raben, dan Bambang Purwanto, pernah berurusan dan dibantu oleh Mona dalam berburu fakta yang berada dalam arsip tersembunyi (Kompas, 27/6/2012).
Dari dialah, masyarakat Indonesia dan dunia mengetahui kejadian pada 1683 hingga awal 1806 saat Kompeni Dagang Belanda (VOC) menguasai kepulauan Nusantara. Dia menekuni paleografi guna bisa menerjemahkan arsip jurnal harian VOC.
Dua karya besarnya, The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942: A History of Chinese Establishment in Colonial Society (1996) dan Growing Pains (2002), berhasil membawa Mona Lohanda sebagai sejarawan utama dalam sejarah Batavia dan Tionghoa Peranakan.
Pada tahun 2010, Mona Lohanda menerima Nabil Award dari Yayasan Nation Building karena dianggap berjasa turut membangun bangsa melalui penelitian, penerbitan karya ilmiah, dan aktivitas lain yang mampu memberikan pencerahan kepada publik. Dua tahun kemudian, dia menerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi dari harian Kompas. Adapun tahun 2016, dia mendapat penghargaan Achmad Bakrie kategori pemikiran sosial.
Dalam ingatan sejarawan Didi Kwartananda, semasa hidup, almarhum suka menggunakan hadiah dari penghargaan-penghargaan tersebut untuk kebutuhan penelitian mandiri. Ini sangat menginspirasi.
Hobi Mona Lohanda adalah membeli buku-buku. Kehausan akan ilmu membuat almarhum semasa hidup tidak pelit soal buku. Apabila bertemu individu peneliti yang butuh buku, lalu Mona memilikinya, Mona tidak enggan menyarankan atau memberikan.
Bagi Mona, pengetahuan harus dibagi dan tidak boleh dibawa mati. (Didi Kwartananda)
”Bagi Mona, pengetahuan harus dibagi dan tidak boleh dibawa mati,” ujar Didi.
Didi menilai almarhum Mona Lohanda mengalami kuartal minoritas di masyarakat, yakni keturunan Tionghoa, beragama Katolik, pegawai negeri sipil (PNS), dan perempuan. Almarhum tidak pernah malu dengan identitasnya sebagai ”China Benteng”. Dia bisa eksis sebagai PNS, suatu profesi yang tidak biasa bagi keturunan Tionghoa saat itu. Sebagian orang bahkan menyebut ANRI identik dengannya.
”Bagi saya, Mona identik dengan ANRI. Peneliti-peneliti asing datang ke ANRI di Jakarta karena menyambangi beliau. Saat menerima mereka, Mona malah ikut belajar,” imbuh Didi.
Kehilangan
Sejarawan Peter Carey menyebut almarhum Mona Lohanda sebagai soko guru atau landasan bagi ANRI. Pakar sejarah dan budayawan yang memakai layanan ANRI atas jasa yang diberikan almarhum.
Almarhum mempunyai integritas tinggi sebagai sejarawan dan pengarsip. Ini adalah salah satu kualitas seorang profesional. Karma baik yang dipunyai Mona Lohanda mesti dilihat sebagai keistimewaan untuk Indonesia.
”Kepergian Mona Lohanda adalah kehilangan besar bagi bangsa dan negara Indonesia,” kata Peter.
Budayawan Eka Budianta yang pernah menjadi mahasiswa almarhum mengenang dua pesan yang sempat disampaikan Mona Lohanda. Pesan pertama adalah semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan kekayaan Indonesia. Pesan kedua ialah bahasa daerah merupakan kekayaan yang paling nyata.
Almarhum Mona Lohanda senang mempelajari arsip-arsip jurnal harian VOC ataupun pemerintah Kolonial Belanda. Namun, almarhum lebih bangga dan senang kalau arsip tersebut bisa ditulis ulang dan disebarluaskan isinya dalam bahasa Indonesia.
Seperti sahabat
Budayawan sekaligus penari senior Julianti Parani mengenang almarhum Mona Lohanda sebagai sahabat dan saudara. Julianti mengibaratkan kedekatannya dengan almarhum mirip belahan jiwa. ”Belajar bersama. Ikut konferensi ke luar negeri bersama-sama. Saya terpukul dia pergi mendahului,” katanya.
Duka mendalam juga dirasakan sejarawan Aiko Kurasawa. Kurasawa pernah dibantu almarhum Mona Lohanda saat meneliti sejarah masa pendudukan Jepang. Buku Sumber Sejarah Masa Pendudukan Jepang di Indonesia, misalnya. Para peneliti dari Jepang, termasuk Kurasawa, mengumpulkan bahan, kemudian almarhum ikut dalam proses editing.
”Setiap kali saya berkunjung ke Jakarta, saya berbincang dengan Mona. Kabar kepergiannya mengejutkan dan membuat saya berduka,” tuturnya.
Pelaksana Deputi bidang Konservasi ANRI Multi Siswati mengatakan, ANRI kehilangan. Kepergian Mona Lohanda adalah duka mendalam. Pascapensiun akhir 2012, ANRI masih kerap meminta pandangan dan tetap bekerja sama dengannya.
Pertemuan terakhir ANRI dengan Mona Lohanda terjadi pada Desember 2020. Multi menceritakan, forum itu ingin membahas arsip sejarah mengenai jender. Menurut rencana, tanggal 21 Januari 2021 akan diadakan kegiatan bersama.
Ketua MSI Hilmar Farid mengemukakan, studi arsip sejarah VOC yang dilakukan almarhum mesti selalu menjadi rujukan. Langkah itu perlu selalu dilestarikan. Pekerjaan rumah bagi MSI adalah memikirkan rencana skema beasiswa bagi individu yang mau meneliti tema VOC.
”MSI perlu memikirkan buku berisikan tulisan para sahabat dan murid untuk menghormati Mona Lohanda beserta studi arsipnya. Masih ada waktu untuk menyusun sebab akan diterbitkan saat ulang tahun almarhum pada 4 November 2021,” kata Hilmar.