Di tengah meningkatnya kepercayaan publik, LPSK harus berhadapan dengan kenyataan minimnya anggaran untuk para saksi dan korban. Tahun 2020, anggaran LSPK hanya Rp 54 miliar, anggaran terendah dalam lima tahun terakhir.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sangat penting. Karena itu, lembaga ini diharapkan tidak hanya hadir mendampingi korban-korban dalam kerangka hukum acara pidana, serta tidak hanya bergantung pada ada atau tidaknya laporan kepolisian dari korban. LPSK diharapkan juga hadir dan proaktif memberikan perlindungan bagi korban-korban kekerasan yang tidak datang meminta perlindungan karena berbagai hambatan.
Misalnya, para korban kekerasan seksual yang selama ini justru dikriminalisasi dan dilabeli status tersangka/terdakwa. Perlindungan aktif mesti diberikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada para korban kekerasan seksual yang harus jadi tersangka/terdakwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Pornografi, ataupun korban eksploitasi atau perdagangan orang dari sindikat pelaku tindak pidana terorganisasi seperti peredaran gelap narkotika.
LPSK dalam UU Perlindungan Saksi Korban terbaru memiliki mandat memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. LPSK ke depan untuk kasus kekerasan seksual harus jadi garda terdepan untuk perbaikan kebijakan dan implementasi pemenuhan hak korban kekerasan seksual. (Erasmus Napitupulu)
”LPSK dalam UU Perlindungan Saksi Korban terbaru memiliki mandat memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. LPSK ke depan untuk kasus kekerasan seksual harus jadi garda terdepan untuk perbaikan kebijakan dan implementasi pemenuhan hak korban kekerasan seksual,” ujar Direktur Eksekutif The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu saat memberikan tanggapan atas Laporan Tahunan 2020 LPSK pada Refleksi Awal Tahun LPSK dan Laporan Kinerja 2020, Jumat (15/1/2021).
Namun, untuk menjadi garda terdepan dalam pemenuhan hak korban kekerasan seksual, secara kelembagaan posisi LPSK harus berada dalam posisi yang kuat. Sementara yang terjadi selama ini, posisi LPSK masih jauh dari berdaya.
Hingga kini LPSK belum sepenuhnya berada dalam sistem yang berorientasi pada keseimbangan perlindungan hak korban dan tersangka. Meskipun sudah banyak dukungan regulasi, kenyataannya LPSK masih sering dianggap berada di luar sistem utama dalam sistem peradilan pidana. Hal ini mengakibatkan posisi korban tidak signifikan.
Sementara dari sisi pemberian layanan, sejak 2015 hingga 2019, jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh LPSK terus meningkat. Pada tahun 2015 hanya 148 layanan, tetapi pada 2019 menjadi 9.308 layanan. Namun, di saat layanan saksi dan korban yang sangat besar tersebut, justru LPSK tidak didukung dengan anggaran besar, sebaliknya mengalami penurunan drastis.
Anggaran LPSK pada 2015 berjumlah Rp 48 miliar. Namun, pada tahun 2020 hanya disediakan Rp 54,5 miliar. Betapa jumlah layanan yang besar berbanding terbalik dengan alokasi anggaran dari negara. Jumlah itu jauh sekali dibandingkan dengan alokasi anggaran di lembaga penegak hukum lainnya untuk sasaran yang tidak substansial.
Erasmus bahkan mencontohkan hasil studi Indonesia Corruption Watch (ICW), soal aktivitas digital pemerintah, ditemukan anggaran paling banyak pada 2014-2020 dipegang oleh kepolisian yang mencapai Rp 937 miliar.
”Angka ini jelas jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran yang disediakan untuk pendampingan, perlindungan, dan pemulihan korban tindak pidana, termasuk korban kekerasan seksual di Indonesia,” ujar Erasmus.
Jeritan LPSK
Sorotan Erasmus senapas dengan Laporan Tahunan 2020 LPSK yang disampaikan selama dua hari (14-15 Januari 2021) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Bahkan, dalam laporan yang bertajuk ”Separuh Napas Perlindungan Saksi dan Korban di Tengah Pandemi: LPSK Menolak Menyerah”, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo secara terbuka menyampaikan jeritan para komisioner dan pegawai di LPSK.
Laporan tersebut juga mewakili situasi yang dialami dan dihadapi LPSK dalam perjalanannya selama lima tahun terakhir. Namun, yang paling terasa setahun terakhir. ”Separuh Napas Perlindungan” memberi arti bahwa anggaran LPSK yang sudah sangat minim masih dipotong untuk penanganan Covid-19.
”Alokasi anggaran untuk LPSK pada tahun 2020 sebesar Rp 54 miliar merupakan yang terendah diterima oleh LPSK dalam lima tahun terakhir. Itu pun masih dipotong,” ujar Hasto.
Adapun ”Menolak Menyerah” artinya meskipun dalam keterbatasan yang amat sangat, LPSK tetap menyiasati layanan dengan pengetatan penerimaan permohonan, menghentikan layanan bagi terlindung yang tidak terlalu mendesak perlindungannya. Selain itu, memanfaatkan konsultasi psikologis secara daring serta memanfaatkan jaringan di daerah untuk membantu memberikan pendampingan korban terlindung.
Ketika mengawali tahun 2020, di tengah mulai meningkatnya kepercayaan publik, LPSK harus berhadapan dengan kenyataan minimnya dukungan dan perhatian negara kepada para saksi dan korban.
Belum berhenti sampai di situ, terjangan badai pandemi Covid-19 berdampak cukup signifikan bagi kerja-kerja perlindungan LPSK. Selain terkena pemotongan anggaran untuk penanganan nasional Covid-19, mobilitas kerja LPSK menjadi sangat terbatas dan perlu penyesuaian dengan adaptasi pola yang baru.
”Kondisi krisis yang dialami tidak menghentikan semangat dan dedikasi segenap insan LPSK untuk menjalankan kewajibannya dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan korban tindak pidana,” tegas Hasto.
Di tengah minimnya anggaran, LPSK terus bekerja. Sepanjang 2020, LPSK menerima 1.454 permohonan perlindungan. Jumlah permohonan mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencapai 1.898 permohonan. Pada 2020, jumlah terlindung LPSK yang berstatus sebagai saksi, korban, saksi pelaku, pelapor, dan saksi ahli sebanyak 2.785 orang.
Namun, meski menurun, permohonan perlindungan dalam kasus tindak pidana perdagangan orang justru mengalami kenaikan pada tahun 2020, yang mencapai 203 permohonan, dibandingkan dengan tahun 2019 yang hanya berjumlah 176 permohonan. Permohonan kasus kekerasan seksual juga masih sangat tinggi.
Begitu juga jumlah saksi dan korban terlindung dalam kasus kekerasan seksual anak dan perempuan meningkat, yakni tahun 2018 sebanyak 401 orang, 2019 (503 orang), dan 2020 (533 orang).
Kendati harus tertatih pada tahun 2020, setidaknya LPSK tetap berjalan, terutama melakukan kerja-kerja pendampingan saksi dan korban, demi mengungkap fakta terjadinya peristiwa tindak pidana.
Kerja LPSK dalam perlindungan saksi dan korban menjadi pertaruhan, karena tidak jarang para saksi dan korban mengalami tindakan intimidasi, gangguan, ancaman, teror, bahkan tindakan kekerasan dari pihak yang berseberangan dalam usahanya untuk menggagalkan atau menghalang-halangi agar mereka tidak memberikan kesaksian.
Maka, ketika LPSK pun memilih menolak menyerah dengan kondisi yang ada, seharusnya ada perhatian pemerintah dan DPR. Negara seharusnya hadir bagi para saksi dan korban yang membutuhkan perlindungan.