Pandemi Covid-19 mempercepat proses otomasi pekerjaan. Dibutuhkan strategi peningkatan keterampilan dan pelatihan keterampilan baru, serta pendidikan yang menumbuhkan keterampilan mental untuk adaptasi ini.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Peningkatan penggunaan teknologi di masa pandemi berdampak pada proses otomasi pekerjaan. Jika kajian McKinsey Global Institute pada 2017 menyebutkan sekitar 50 persen aktivitas manusia dalam pekerjaan global akan digantikan mesin pada 2030, pandemi mempercepat pergeseran ini.
Laporan Forum Ekonomi Dunia 2020 berjudul Pekerjaan Masa Depan yang dipublikasi pada 26 Oktober 2020 menyebutkan peningkatan digitalisasi akibat Covid-19 mempercepat tren otomasi pekerjaan. Sebanyak 85 juta pekerjaan akan digantikan oleh mesin pada 2025.
Mesin yang dilengkapi kecerdasan buatan (AI) akan mengotomasi pekerjaan yang bersifat rutin atau pekerjaan berketerampilan rendah seperti petugas entri data dan bagian administrasi.
Mesin yang dilengkapi kecerdasan buatan (AI) akan mengotomasi pekerjaan yang bersifat rutin atau pekerjaan berketerampilan rendah seperti petugas entri data dan bagian administrasi. Sebanyak 30 persen pekerjaan dan 44 persen pekerja dengan tingkat pendidikan rendah berisiko terdampak otomasi.
Terpacu peningkatan penggunaan teknologi di masa pandemi, sekitar 43 persen perusahaan di 26 negara yang disurvei siap mengurangi tenaga kerja. Sementara itu 41 persen perusahaan akan memperluas penggunaan kontraktor untuk pekerjaan khusus dan 34 persen perusahaan akan menambah tenaga kerja.
Meskipun begitu, AI akan menciptakan 97 juta pekerjaan baru pada 2025, lebih banyak daripada yang tergusur AI. Pekerjaan-pekerjaan baru ini terutama terkait dengan ekonomi hijau, ekonomi data dan AI, serta peran baru dalam bidang teknik, komputasi awan, serta pengembangan produk.
Teknologi ini juga akan mengubah sifat sejumlah pekerjaan yang memungkinkan pekerja untuk fokus pada tugas-tugas yang bernilai lebih tinggi dan memerlukan interaksi antarpribadi. Pemikiran analitis, kreativitas, dan fleksibilitas akan menjadi keterampilan yang paling dicari pada 2025.
Keterampilan yang baru muncul tahun ini berupa keterampilan dalam manajemen diri seperti pembelajaran aktif, ketahanan, toleransi stres, dan fleksibilitas. Dibutuhkan strategi peningkatan keterampilan (upskilling) dan pelatihan keterampilan baru (reskilling) agar pekerja dapat beradaptasi di era otomasi.
Lima tahun ke depan, 50 persen pekerjaan yang ada saat ini membutuhkan peningkatan keterampilan pekerjaannya. Menurut analis Kebijakan Senior Pusat Pendidikan dan Tenaga Kerja New America dalam weforum.org pada 18 Desember 2020, pemerintah, lembaga pendidikan, dan pemberi kerja harus memfasilitasi pekerja untuk meningkatkan kualitas mereka.
Pendidikan
Era otomasi juga membutuhkan strategi untuk menyiapkan calon tenaga kerja agar mempunyai keterampilan yang dibutuhkan di era otomasi. Meskipun pekerja yang berpendidikan rendah akan lebih terdampak otomasi, bukan berarti ini identik dengan menyiapkan generasi muda melalui pendidikan tinggi yang menyediakan gelar.
Kemampuan kognitif tinggi seperti berpikir kritis dan pengambilan keputusan, kemampuan sosial dan emosional seperti keterampilan interpersonal dan kepemimpinan, serta keterampilan teknis seperti analisis data lanjutan tidak selalu identik dengan gelar. Keterampilan-keterampilan ini harus dibangun melalui pembelajaran yang partisipatif dan pelatihan pengalaman.
Rektor Universitas Trilogi Jakarta Prof Mudradjat Kuncoro dalam diskusi daring pada 11 Januari 2021 mengatakan, ada 10 keterampilan yang relevan untuk diajarkan kepada anak didik agar siap menghadapi era revolusi industri 4.0. Enam di antaranya kemampuan memecahkan masalah yang kompleks, kemudian berpikir kritis, kemampuan mengambil keputusan, berorientasi pada pelayanan, kemampuan negosiasi, serta kemampuan beradaptasi.
Dalam konteks ini, pendidikan karakter penting untuk mengakomodasi keunikan, potensi, serta keunggulan siswa sejak dini. Untuk itu, guru harus mampu membawa siswa menikmati belajar dan merangsang keingintahuan siswa.
Model pembelajaran yang paling tepat, menurut pemerhati dan praktisi pendidikan Indra Charismiadji, adalah pendidikan yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, seni, dan matematika (STEAM). “Tujuan yang akan dicapai adalah keterampilan-keterampilan tadi, soft skill (keterampilan mental), bukan hardskill (keterampilan fisikal),” kata dia dalam diskusi daring tentang pendidikan pada 8 Januari 2021.
Adapun desain pembelajaran yang tepat adalah yang berbasis proyek atau berbasis masalah. Ini akan memacu anak didik untuk berkarya, karya yang kontekstual dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Indra, waktu yang paling tepat dan optimal untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut adalah di usia sekolah dasar.
Mengacu laporan World Economic Forum pada 2018, 65 persen siswa yang duduk di bangku sekolah dasar akan bekerja di bidang yang saat ini belum diketahui. Pembelajaran yang merangsang siswa untuk memiliki kemampuan pemecahan masalah, ketangguhan, motivasi berprestasi, pengendalian diri, kerja sama, inisiatif tersebut akan menyiapkan siswa menyongsong masa depannya.