Mona Lohanda, Awal Mula Penjajahan hingga Seleksi Pahlawan Nasional
Mona Lohanda (1947-2021) adalah sejarawan paripurna dalam kajian awal, mulai dari kolonialisme hingga keterlibatannya dalam menyeleksi pahlawan nasional. Mona wafat di rumah sakit di Tangerang, Sabtu (16/1/2021).
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Mona Lohanda (1947-2021) adalah sejarawan paripurna dalam kajian awal, mulai dari kolonialisme hingga keterlibatannya dalam menyeleksi pahlawan nasional. Mona Lohanda adalah satu dari segelintir ahli arsip VOC—perusahaan multinasional pertama di dunia—yang menguasai dua pertiga lingkaran bumi dari Eropa, Afrika Barat, Afrika Selatan, India, Sri Lanka, Nusantara, Taiwan, dan Dejima di Nagasaki.
Mona wafat di rumah sakit di Tangerang, Sabtu (16/1/2021), karena sakit jantung. Selama hidup, ia melajang dan mengabdikan diri dalam melestarikan dan memanfaatkan arsip-arsip langka di Arsip Nasional Republik Indonesia dan berbagai lembaga.
Ia dikenal, antara lain, karena pengetahuannya soal arsip VOC. Arsip Kompeni Belanda atau VOC dari tarikh 1600-an hingga kejatuhan perusahaan dagang tersebut pada akhir 1799 menjadi catatan tentang ekspansi usaha, eksploitasi alam, manusia, dan bagaimana penjajahan perlahan-lahan mencengkeram kepulauan Nusantara yang disebut Gordel van Smaragd atau untaian Zamrud Khatulistiwa bagi Belanda dan Eropa karena kekayaan alamnya.
Mona adalah orang Indonesia yang menguasai A-Z arsip unik VOC tersebut, yang sebagian besar menggunakan gramatikal bahasa Belanda kuno yang bahkan orang Belanda saat ini sudah tidak memahaminya.
Dalam suatu kesempatan, Mona menceritakan betapa Belanda, negeri mungil di Eropa, perlahan tapi pasti bisa menguasai Nusantara. Kuncinya adalah mereka berhasil menguasai para penguasa setempat di kerajaan-kerajaan Nusantara dengan berbagai fasilitas yang diberikan.
Pendiri Museum Benteng Heritage Tangerang, Udaya Halim, mengatakan, Mona adalah kamus hidup yang memahami keseharian kota Batavia dan masa VOC. Secara detail, Mona mengingat apa dan kapan suatu peristiwa terjadi seperti banjir, kebakaran, dan wabah penyakit di kota Batavia masa 1600-an hingga 1700-an yang terekam dalam Dag Register (Catatan Harian) VOC yang tersusun rapi.
Rekan sejawat Mona di Arsip Nasional Republik Indonesia, Mira Rini, mengatakan, Mona adalah senior yang penuh perhatian dan sangat tertib dalam meneliti arsip. ”Sebagai guru, beliau tegas. Kritiknya tajam apabila ada yang berbicara atau menulis sejarah tanpa dasar arsip. Mona juga kakak yang sangat perhatian. Saat belajar di luar negeri, Mona selalu memberi kabar sekurangnya sebulan sekali,” kata Mira.
Salah satu warisan Mona, menurut Mira, adalah transkripsi arsip-arsip VOC dari tulisan paleografi Belanda ke Belanda modern. Itu sangat membantu peneliti yang tidak paham paleografi, tetapi ingin bisa mempelajari sejarah tahun 1600-an dan 1700-an Masehi.
Geopolitik dan pertarungan yang terjadi di zaman awal penjajahan Eropa di Asia dan Afrika terekam dalam arsip-arsip tersebut. Pola kekerasan yang sama dan intimidasi negara besar kepada negara yang lemah, seperti terekam dalam arsip berabad silam, ternyata masih relevan dengan kondisi saat ini di Indonesia, ASEAN, dan dunia.
Mona menghasilkan sejumlah karya buku yang menjadi rujukan, seperti The Kapitan Cina of Batavia, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, Growing Pains, dan Indonesian Chinese Peranakan. Ia juga memberi pengantar pada buku Mayor Jantje Cerita Tuan Tanah Batavia Abad Ke-19 yang mengisahkan Mayor Jantje, tokoh militer keturunan Pampanga, Filipina, yang menjadi orang terkaya di Jawa pada paruh pertama 1800-an.
Sejawat Mona, Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan, keahlian Mona dalam mendalami beragam arsip yang digelutinya berperan penting dalam penentuan tokoh yang diajukan sebagai Pahlawan Nasional setiap tahun. ”Mona Lohanda bisa berargumentasi ke sejarawan Anhar Gonggong terhadap calon pahlawan yang diajukan karena Mona menguasai data dari arsip yang mencatat tentang tokoh-tokoh yang diajukan sebagai kandidat pahlawan,” kata Asvi.
Sebagai pribadi, menurut Asvi, Mona adalah sosok menarik sebagai seorang China Benteng yang tidak bisa bahasa Mandarin dan sangat medok berbahasa Betawi logat Tangerang. Asvi bersama Mona menerima penghargaan Nabil Award pada tahun 2010.
Cendekiawan berdedikasi
Dedikasi Mona membuatnya terpilih menerima Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi dari Harian Kompas tahun 2012. Asvi Warman Adam menerima penghargaan serupa pada 2020.
Asvi yang juga kerap membahas kajian sejarah Tionghoa dalam historiografi Indonesia mengungkapkan, Mona menulis tentang sejarah Tionghoa Muslim di Batavia dan rumah sakit Tionghoa yang pertama. Karya tersebut dicetak dalam Ensiklopedia Tionghoa dalam Keindonesiaan.
Adapun sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumuyoso, mengatakan, Mona adalah sejarawan cum intelektual yang aktif mengembangkan penghargaan terhadap perbedaan dan toleransi melalui ragam penelitian tentang masyarakat Tionghoa di Indonesia. ”Mona membuktikan arus utama identitas Indonesia adalah kesadaran untuk menjadi bagian integral bangsa Indonesia. Ini sumbangan penting yang disampaikan dengan dasar sumber dan fakta sejarah yang sangat dikuasainya,” kata Bondan.
Salah satu teman Mona, sejarawan Didi Kwartanada, mengatakan, Mona selalu mengingatkan pentingnya mengkaji arsip sebagai bagian dari nation building. ”Pemahaman dan pemanfaatan data arsip adalah aset dan kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya,” kata Didi.
Udaya Halim menambahkan, Mona sangat tekun mendalami arsip dan bekerja di balik layar. ”Dia bekerja dalam sunyi, tetapi sumbangsihnya luar biasa,” katanya.
Hingga akhir hayatnya, Mona sudah membantu puluhan doktor bidang sejarah dan post-doctoral dengan menunjukkan dan mengarahkan mereka pada arsip kolonial yang relevan. Mereka adalah sejarawan dari Indonesia dan seluruh dunia. Selamat jalan, Bu Mona Lohanda. Teman, narasumber, dan guru....