Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Meningkat Tajam
Sepanjang 2020, terdapat 1.178 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan pada 2019 yang tercatat 794 kasus dan 2018 sebanyak 837 kasus.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2020 mengalami peningkatan dibandingkan dengan dua tahun terakhir. Meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini dapat menjadi narasi yang menguatkan disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Hal tersebut terangkum dalam catatan akhir tahun 2020 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta yang diluncurkan secara daring, Kamis (7/1/2021). LBH Apik mencatat, sepanjang 2020, terdapat 1.178 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani. Jumlah ini meningkat dibanding pada 2019 yang tercatat 794 kasus dan 2018 sebanyak 837 kasus.
Sementara dari lokasinya, kasus terbanyak di antaranya terjadi di Jakarta Selatan sebanyak 225 kasus, disusul luar Jabodetabek (213 kasus), Jakarta Timur (210 kasus), Depok (112 kasus), Jakarta Utara (85), Tangerang Selatan (75), Jakarta Barat (73), dan Bogor (63).
Koordinator Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta, Uli Pangaribuan menjelaskan, LBH Apik membagi kasus tersebut dalam dua klasifikasi yakni sebelum dan sesudah pandemi Covid-19. Sejumlah kasus yang ditangani, antara lain, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), poligami, perdata keluarga, kekerasan berbasis jender online (KBGO), kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan anak, serta kekerasan dalam pacaran.
KDRT menjadi kasus terbanyak yang dilaporkan sepanjang 2020. Sebelum pandemi, laporan KDRT tercatat sebanyak 43 kasus dan meningkat 375 kasus sesudah pandemi. Kasus lainnya yang juga banyak dilaporkan adalah KBGO dengan jumlah sebanyak 307 kasus dan kekerasan dalam pacaran dengan 92 kasus.
”Kasus KDRT pada 2020 mengalami peningkatan dibanding tahun 2019 dengan 249 kasus, begitu juga kasus KBGO memasuki lima peringkat teratas pada tahun ini. Peningkatan kasus ini terutama disebabkan oleh pandemi Covid-19 karena aktivitas dilakukan secara online,” ujar Uli.
Menurut Uli, dari 418 kasus KDRT, hanya 8 kasus yang aduannya diproses ke kepolisian. Sebagian besar korban KDRT tersebut mengalami kekerasan psikis. Penyelesaian KDRT oleh LBH Apik ini dilakukan melalui mediasi, penguatan psikologis, somasi, surat dukungan, dan rumah aman.
”Kendala penanganan kasus KDRT ini di antaranya korban tidak berani melaporkan kasusnya karena masih serumah dengan pelaku, ketergantungan ekonomi, dan tidak mendapat dukungan dari keluarga inti. Untuk KDRT psikis, lembaga yang mengeluarkan visum psikiatrikum dan psikologikum sangat sulit untuk diakses,” katanya.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati mengatakan, catatan dari LBH Apik tentang meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat menjadi narasi yang menguatkan disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
”Ini bisa menjadi narasi untuk menyerang bahwa RUU PKS ini selain melindungi korban juga penting dalam memproses keadilan atau penjangkauan proses hukum yang setara dan tidak mendiskriminasikan siapapun. Jika RUU PKS tidak ada, korban akan semakin sulit mengurus kasus-kasus kekerasan seksual,” tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Asisten Deputi Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Valentina Gintings. Menurut dia, RUU PKS penting disahkan karena banyak laporan yang menunjukkan semakin meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
”Banyak sekali kasus kekerasan yang tidak selesai karena tidak adanya visum. Pada 2021 ini, kami juga telah menggelontorkan dana alokasi khusus kepada pemerintah daerah melalui unit layanan kami untuk bisa memberikan visum gratis kepada masyarakat yang membutuhkan,” katanya.