Kekerasan berbasis jender daring menjadi salah satu ancaman yang dihadapi perempuan di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir. Namun, proses penegakan hukum sering kali belum berpihak kepada korban.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Fenomena kekerasan berbasis jender daring atau kekerasan berbasis siber dalam beberapa tahun terakhir meningkat. Pornografi adalah salah satu pintu masuk kekerasan berbasis jender daring tersebut. Bahkan, dalam sejumlah kasus, perempuan korban sering menjadi pihak yang dikriminalisasi dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Seperti dalam kasus GA dan MYD yang viral di media sosial dan media-media daring, sejak awal November 2020 tahun lalu. Kasus yang berawal dari penyebaran video intim berdurasi 19 detik yang melibatkan sosok mirip GA dan MYD itu mengundang keprihatinan sejumlah kalangan.
Penyebaran video tersebut berujung pada urusan hukum, menyusul ada yang melaporkan penyebar video kepada kepolisian. GA dan MYD juga ikut dilaporkan karena dianggap menimbulkan keresahan publik.
Atas laporan tersebut, pada 17 November 2020 GA diperiksa pihak kepolisian sebagai saksi. Tidak sampai dua pekan, pada 29 November 2020 polisi meningkatkan status GA dan MYD sebagai tersangka. Keduanya dijerat dengan Pasal 4 Ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 8 UU No 44/2008 tentang Pornografi. Direncanakan, hari ini, Senin (4/1/2021), GA dipanggil untuk diperiksa kepolisian.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sri Wiyanti Eddyono, juga menegaskan, seharusnya GA diletakkan sebagai korban. Perekaman untuk dokumentasi pribadi dan pasangannya tidak dapat disebutkan sebagai tindak pidana karena tidak ada unsur paksaan.
Namun, penyebaran rekaman tanpa izin yang memiliki dokumentasi elektronik itu yang melanggar hukum. Karena itu, UU Pornografi tidak dapat digunakan untuk GA dan MYD. Kendati keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka, belum berarti kasus itu dapat diproses ke penuntutan oleh penuntut umum.
Polisi bisa menghentikan penyidikan dan jaksa pun dapat menghentikan penuntutan dengan alasan tidak terdapat bukti yang kuat, atau perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum.
”Polisi bisa menghentikan penyidikan dan jaksa pun dapat menghentikan penuntutan dengan alasan tidak terdapat bukti yang kuat, atau perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum,” papar Wiyanti.
Hal senada ditegaskan Mamik Sri Supatmi, pengajar Kriminologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, bahwa GA adalah korban. Sebaliknya, pihak yang menyebarkan video tersebut itulah penjahatnya.
”Mendokumentasikan aktivitas keintiman seksual (sexual activity) secara konsensual itu bukan kejahatan,” kata Mamik yang juga mengingatkan media untuk melihat kasus tersebut dari perspektif korban.
Hentikan viktimisasi korban
Penetapan GA dan MYD sebagai tersangka, terutama GA, sontak mengundang tanggapan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah organisasi, seperti Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) dan The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Aparat kepolisian dikritik karena seharusnya tidak mengkriminalkan GA, yang posisinya adalah korban.
Komnas Perempuan menyesalkan penetapan GA dan MYD sebagai tersangka karena keduanya adalah korban dari kekerasan siber berbasis gender (KSBG). Dalam keterangan pers yang disampaikan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani bersama beberapa komisioner, yakni Siti Aminah Tardi, Rainy Hutabarat, dan Theresia Iswarini, Komnas Perempuan menyesalkan langkah polisi yang menetapkan GA dan MYD sebagai tersangka. Keduanya semestinya tidak dapat dikenai ketentuan pemidanaan, tetapi pengecualiannya.
”Dalam kasus ini, fokus aparat penegak hukum semestinya diberikan pada persoalan pendistribusian muatan tersebut. Kepolisian perlu percepat proses hukum pada pihak yang menyebarkan video tersebut yang menyebabkan konten pribadi dapat diakses oleh publik dan sebaliknya memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat penyebarluasan informasi privasinya,” ujar Siti Aminah.
UU Pornografi bermasalah
Bagi Komnas Perempuan, UU Pornografi sudah bermasalah sejak awal pembentukannya, bahkan menimbulkan polemik dan protes yang keras dari berbagai kalangan. Sebab, selain berpotensi mengurangi hak atas rasa aman terutama akibat perumusan hukum yang condong melakukan kriminalisasi warga dengan penghakiman moralitas, UU tersebut juga menghadirkan ketidakpastian hukum dan mengurangi jaminan perlindungan hukum akibat perumusan frasa-frasanya yang bersifat multitafsir.
Tak hanya itu, UU Pornografi berpotensi mengkriminalkan korban kekerasan seksual karena tidak melihat perempuan sebagai korban kekerasan berbasis jender, termasuk dalam konteks industri pornografi.
Tindakan kepolisian yang membeberkan hasil pemeriksaan kepada media dan masyarakat umum dikecam oleh Kompaks. Polisi seharusnya melihat kasus tersebut sebagai bentuk dari salah satu bentuk kekerasan jender berbasis siber, yang sangat merugikan GA sebagai korban penyebaran video intim.
Penetapan sebagai tersangka justru kembali menyakiti GA yang merupakan korban kekerasan seksual. Hukum yang sepatutnya melindungi perempuan dan kelompok rentan malah berubah ganas dan mengkriminalkan korban kekerasan seksual.
ICJR bahkan mengingatkan, kepolisian seharusnya tidak menetapkan orang-orang yang ada dalam video tersebut sebagai tersangka. Sebab, siapa pun yang berada dalam video tersebut, apabila sama sekali tidak menghendaki adanya penyebaran ke publik, tidak dapat dipidana.
Kepada media, Selasa (29/12/2020), Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus pun mengungkap motif GA dan MYD merekam adegan seks tersebut adalah untuk dokumentasi pribadi.
”Penyidik harus paham bahwa apabila GA dan MYD tidak menghendaki penyebaran video tersebut ke publik atau untuk tujuan komersial, mereka adalah korban yang harusnya dilindungi,” papar Maidina Rahmawati, peneliti ICJR.
Karena itu, dalam konteks UU Pornografi, orang dalam video yang tidak menghendaki penyebaran video tidak dapat dipidana. Sebab, pada Pasal 4 UU Pornografi terdapat batasan penting, bahwa pihak-pihak yang melakukan perbuatan ”membuat” tidak dapat dipidana apabila dilakukan untuk tujuan diri sendiri dan kepentingan sendiri.