Bertahan Hadapi Krisis, Berjuang Melawan Kekerasan
Beban berlapis dialami para perempuan di Tanah Air sepanjang tahun 2020, terutama di masa pandemi Covid-19. Penguatan kapasitas dan membangun kesadaran kritisnya akan mencegah perempuan menjadi korban kekerasan.
Memasuki tahun 2021, situasi dan dinamika serta tantangan yang akan dihadapi perempuan di Tanah Air diperkirakan masih tidak jauh berbeda dengan tahun 2020. Situasi perempuan akan semakin sulit jika krisis pandemi Covid-19 tidak ada kepastian kapan berakhir.
Resiliensi perempuan masih akan terus diuji karena ancaman Covid-19 dan kekerasan terhadap perempuan masih di depan mata.
Ketika aktivitas perekonomian belum pulih, perempuan di kelompok rentan, terutama perempuan kepala keluarga, harus berjuang keras memastikan dapur tetap ”ngepul” dan memastikan kesehatan keluarga terjaga. Di sisi yang lain, saat pandemi Covid-19 masih berlanjut, perempuan juga harus menyiapkan diri untuk terus mendampingi anak-anak bersekolah dari rumah, jika sekolah belum bisa dibuka kembali.
Di tengah keterpurukan ekonomi, beban perempuan (keluarga muda) juga semakin meningkat, menyusul banyaknya perempuan melahirkan pada tahun 2021. Badan PBB untuk Anak-Anak (Unicef) memperkirakan memasuki tahun 2021, lebih dari 370.000 anak akan terlahir di dunia. Sekitar 12.000 anak dilahirkan di Indonesia. Bahkan sepanjang 2021, diperkirakan 140 juta anak akan lahir di dunia.
Sementara itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam berbagai bentuk juga diperkirakan masih terus berlanjut seiring situasi pandemi yang terus meluas. Tekanan ekonomi dikhawatirkan akan semakin memicu emosi anggota keluarga, yang bisa berujung pada kekerasan terhadap perempuan.
Seiring meningkatnya akses di media sosial, ancaman kekerasan berbasis jender daring dikhawatirkan semakin menguat di tahun 2021. Tanpa edukasi yang masif tentang bahaya kekerasan berbasis jender, daftar perempuan korban kekerasan berbasis jender daring akan semakin panjang.
Tahun 2021 masih akan menjadi tahun perjuangan perempuan dan organisasi perlindungan perempuan untuk mengawal proses legislasi sejumlah undang-undang yang akan melindungi perempuan dari kekerasan, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
Baca juga : Tanpa Prolegnas, DPR Tutup Masa Sidang Kedua 2020-2021
Energi dan emosi yang terkuras sepanjang dua tahun terakhir, ketika mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, masih akan berlanjut, menyusul ketidakpastian perjalanan legislasi dari kedua RUU tersebut. Sebab, kenyataannya, hingga akhir masa sidang DPR 11 Desember tahun 2020, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak juga ditetapkan masuk dalam Prolegnas 2021. Begitu juga dengan RUU PPRT tidak jelas nasibnya.
Sebuah asa masih tersisa, berharap di masa sidang pertama DPR pada tahun 2021 kepastian perjalanan legislasi dari kedua RUU tersebut segera terjawab.
Tahun yang berat
Sepanjang tahun 2020, setidaknya saat pandemi mulai berlangsung, daya tahan perempuan sudah diuji. Pandemi selama lebih dari 10 bulan, yang membuat perekonomian sejumlah keluarga terpuruk, terutama dari kelompok rentan, memaksa perempuan untuk hadir dalam berbagai peran.
Berbulan-bulan seorang ibu harus berperan ganda saat dimulainya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Perempuan tampil sebagai ibu rumah tangga, pendidik/pengganti guru, bahkan sejumlah perempuan menjadi pencari nafkah keluarga saat suami terkena pemutusan hubungan kerja dan ekonomi keluarga terganggu. Di saat tekanan ekonomi semakin berat, sejumlah istri pun menjadi sasaran pelampiasan emosi suami. KDRT pun tak terhindarkan.
Beberapa perempuan bahkan melaporkan kekerasan berlapis yang dialaminya kepada lembaga layanan dan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Namun, sebagian besar memilih diam dan bertahan dalam lingkaran penderitaan.
Data di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2020, sampai dengan 25 Desember 2020 terdapat 17.802 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dan anak yang dilaporkan dan dicatatkan.
Meski persentase perempuan dewasa korban KDRT mengalami fluktuatif sejak Februari hingga Desember 2020. Namun, pada minggu keempat Desember tercatat 55,71 persen kasus terhadap perempuan dewasa yang terjadi dan dicatatkan adalah kasus KDRT.
Walaupun jumlah pelaporannya menurun, situasi KDRT yang dialami perempuan, termasuk anak-anak, perlu menjadi perhatian, khususnya pada masa pandemi. Sebab, kondisi saat ini diyakini sangat memengaruhi kesehatan fisik dan mental serta perekonomian keluarga berdampak pada meningkatnya persentase kasus KDRT.
Baca juga : Kekerasan Seksual di Dunia Virtual Mengancam Perempuan
Tekanan yang berat membuat sejumlah perempuan stres dan depresi. Bahkan di beberapa tempat, ada perempuan harus berhadapan dengan hukum, ketika menjadi pelaku kejahatan. Seperti yang terjadi di Nias, Sumatera Utara, seorang ibu meninggal dunia setelah membunuh anak-anaknya dan mencoba bunuh diri.
Di luar itu, ancaman kekerasan berbasis daring semakin mengintai perempuan, baik anak perempuan, remaja, maupun perempuan dewasa. Selama pandemi, sejumlah perempuan teperdaya oleh pelaku kejahatan berbasis daring sehingga menjadi korban eksploitasi seksual maupun ekonomi.
Fenomena gunung es
Bahkan, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati selalu mengingatkan bahwa penurunan laporan bukan berarti kekerasan menurun, melainkan justru dikhawatirkan kondisi kekerasan terhadap perempuan seperti gunung es. Sebab, dalam situasi pandemi berbulan-bulan ada beberapa hambatan yang dialami para korban kekerasan, mulai dari situasi PSBB yang membatasi pelaporan, belum banyak provinsi, kabupaten/kota yang menyiapkan sarana pengaduan berbasis daring yang memudahkan korban melapor.
Selain itu, juga karena akses pelaporan kekerasan yang terbatas karena keberadaan pelaku di dekat korban serta dipengaruhi oleh ketergantungan korban terhadap pelaku sehingga tidak ada alternatif lain selain tidak melaporkan kasus yang dialaminya. Sementara, peran lingkungan untuk memberikan pertolongan kepada korban kekerasan masih minim.
Selain terus menyerukan stop kekerasan terhadap perempuan dan anak, Kementerian PPPA beberapa waktu lalu meluncurkan sejumlah panduan pencegahan kekerasan, termasuk Panduan Perlindungan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Pandemi.
Tahun 2021 juga akan menjadi masa yang sulit bagi perempuan disabilitas atau ibu yang memiliki anak disabilitas karena harus ekstra berjuang keras menghadapi perubahan situasi di masa pandemi. Padahal sebelum pandemi, akses disabilitas terhadap berbagai layanan sosial, terutama kesehatan dan jaminan sosial lainnya, sudah terbatas.
Pandemi juga tidak mengurangi tekanan terhadap perempuan-perempuan pembela hak asasi manusia, terutama perempuan adat yang berjuang mempertahankan wilayah adat.
Di sisi lain, ketika Covid-19 semakin menyebar, perempuan pun maju di garda terdepan menjadi tenaga kesehatan. Sejumlah perempuan tenaga medis harus meninggalkan keluarga berbulan-bulan, terjun dalam pencegahan dan penanganan Covid-19, berjuang menyelamatkan para pasien Covid-19, nyaris tidak ada waktu istirahat, bahkan beberapa ikut menjadi korban.
Kendati demikian, pengalaman sejumlah perempuan dan komunitas perempuan yang mampu bertahan melewati masa-masa sulit, sepanjang 2020, menjadi pelajaran penting. Resiliensi perempuan tangguh di berbagai sektor kiranya menjadi sumber kekuatan bagi seluruh perempuan di Tanah Air untuk bangkit dan menghadapi krisis dan melawan kekerasan dengan berbagai cara.
Baca juga : ”Tiang Negara” yang Sedang Diuji