Egi Trialogi, Guru bagi Anak Jalanan
Egi Trialogi (29) rela menguras tabungan hingga berurusan dengan aparat demi menjamin akses pendidikan bagi anak jalanan. Guru honorer asal Majalengka, ini pun membangun asa bagi anak jalanan agar lebih berdaya.
Egi Trialogi (29) rela menguras tabungan hingga berurusan dengan aparat demi menjamin akses pendidikan bagi anak jalanan. Guru honorer asal Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, ini pun membangun harapan bagi mereka yang kerap diabaikan.
Deretan piagam dan piala terpajang di dinding ruang tamu Egi di Desa Pagandon, Kecamatan Kadipaten, Senin (21/12/2020). Ada Anugerah Guru Inspiratif Jabar Een Sukaesih 2019 hingga yang terbaru Juara 1 Pemuda Pelopor Bidang Pendidikan Tingkat Nasional, Oktober lalu.
Aneka penghargaan itu merupakan ”bonus” dari upayanya mendampingi anak-anak jalanan di sekitar Pasar Kadipaten. Siswanya adalah pengamen, pengemis, dan tukang parkir, dengan rentang usia 12 hingga 30 tahun. Mereka tidak lagi menjalani sekolah formal karena beragam faktor.
Perjumpaan Egi dengan anak jalanan berlangsung sejak Maret 2016. Sepulang mengajar, ia kerap melihat anak jalanan berada di sekitar lampu pengatur lalu lintas Kadipaten. Ia pun memulai obrolan, ditemani martabak atau gorengan yang sengaja ia beli.
Setelah berbincang tentang latar belakang mereka, Egi menemukan masalah kompleks. Ada yang kabur dari rumah karena orangtuanya bercerai, menjadi korban kekerasan seksual, serta ada yang dipandang tidak berguna oleh lingkungan dan keluarganya sendiri.
”Anak jalanan itu paling rentan tidak terlindungi,” ucapnya. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 Ayat 1 mengamanatkan fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Ia pun ingin mendampingi anak jalanan agar tetap berdaya melalui pendidikan.
Saya dikira aparat yang biasa menangkap, menggunduli, terus melepas mereka.
Gerak-geriknya sempat menimbulkan kecurigaan dari anak jalanan. ”Saya dikira aparat yang biasa menangkap, menggunduli, terus melepas mereka,” kata guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri 6 Majalengka ini.
Baca juga : Valentina Sastrodihardjo, Guru di Kolong Jembatan Rawamangun
Egi tidak ambil pusing. Setelah setahun berkenalan, ia mengajak anak jalanan itu kembali ke sekolah. Didirikanlah Sekolah Anak Jalanan Pusat Taman Kreasi Kadipaten (Pustaka) Raharja di dekat Pasar Kadipaten pada 7 Maret 2017. Muridnya saat itu hanya lima orang.
Setiap tiga hari dalam sepekan selepas Ashar, Egi dan istrinya, Eva Puspita Dewi, belajar bersama anak jalanan. Materinya mulai dari Bahasa Indonesia hingga kerajinan tangan. Ia juga membuat kajian malam Jumat atau Jimat.
Kadang, muridnya berkunjung ke rumahnya yang belum tuntas dibangun. Maklum, belum ada rumah singgah di Majalengka, salah satu daerah lumbung pangan yang mempunyai salah satu bandara besar di Indonesia.
Tidak jarang, Egi dan Eva yang masih guru honorer menguras tabungan untuk operasionalisasi Sekolah Anak Jalanan Pustaka Raharja. Padahal, gaji mereka saat itu jika digabung kurang dari Rp 500.000 per bulan.
Pernah, ketika anak didiknya ingin pentas di sebuah festival kesenian, Egi pusing tujuh keliling. Sehari sebelum acara, ia tidak mengantongi uang sepeser pun. Padahal, untuk transportasi saja, butuh setidaknya Rp 150.000.
Eva lalu mengajaknya ke pasar. ”Saya heran, ngapain ke pasar kalau enggak ada uang. Ternyata, istri ke toko emas untuk menjual anting milik anak kami. Alhamdulillah, dapat Rp 350.000. Saya nangis (terharu),” kata Egi yang mengaku tidak sempat ikut ujian calon pegawai negeri sipil karena fokus mengurus anak jalanan.
Saya heran, ngapain ke pasar kalau enggak ada uang. Ternyata, istri ke toko emas untuk menjual anting milik anak kami. Alhamdulillah, dapat Rp 350.000. Saya nangis (terharu).
Jadi ”orang tua”
Dinamikanya tidak hanya itu. Bapak dua anak ini juga pernah ditelepon polisi pada tengah malam. Polisi memanggilnya karena anaknya diduga mengonsumsi obat terlarang. ”Saya bilang, anak saya masih kecil dan sedang tidur. Ternyata, yang ditangkap itu murid saya. Ha-ha-ha,” kenangnya.
Cibiran dari tetangga dan kerabat sempat menyergapnya. ”Pak Guru, ngapain urus orang begitu? Sudah tatoan, telinganya berlubang lagi. Habisin uang aja,” kata Egi, menirukan sindiran dari orang lain.
Akan tetapi, Egi bergeming. Baginya, semua orang sama dan berhak atas pendidikan, termasuk anak jalanan. Memang, sekolah gratis. Namun, masih ada biaya seragam, alat tulis, dan transportasi.
Semangat membuka akses pendidikan bagi siapa pun lahir dari pengalaman Egi. Sebagai anak pertama dari sembilan bersaudara, anak buruh tani ini paham betul sulitnya meraih pendidikan. Rumahnya yang seluas 5 meter x 6 meter persegi kala itu masih berlantai tanah dan berbilik bambu.
Selepas SMP, ia melanjutkan sekolah di Tasikmalaya sambil bekerja. Ia jadi kernet angkot, loper koran, hingga tukang asongan. Ia lulus dan melanjutkan kuliah di Universitas Majalengka dengan beasiswa.
Saking susahnya, beberapa kali ia berjalan kaki selama 6 jam dari rumahnya di Maja ke kampus. ”Kalau haus, saya singgah ke masjid untuk minum air keran,” ucap Egi yang dulu sering mengenakan baju dan celana pemberian orang lain meskipun tidak sesuai ukurannya.
Baca juga : Memahami Anak Jalanan
Perjalanan hidup Egi membuatnya tulus mendampingi anak jalanan. Apa yang ia tanam pun mulai berbuah. Pemerintah kecamatan setempat mendukung kegiatannya. Bahkan, pada 2018, Yayasan Pendidikan Sosial dan Atikan Miftahul Huda membantu anak didiknya untuk ikut ujian Paket B dan C sehingga mempunyai ijazah.
Muridnya terus bertambah dan kini mencapai 56 orang. Tidak hanya dari Majalengka dan Cirebon, siswanya pun ada yang berasal dari Bandung dan Bogor. Sebanyak 15 tenaga pendidik dan 18 orang lainya mengajar keterampilan.
Bahkan, ada sukarelawan yang rela pindah kuliah dari Bandung ke Majalengka untuk mengajar anak jalanan.
”Bahkan, ada sukarelawan yang rela pindah kuliah dari Bandung ke Majalengka untuk mengajar anak jalanan,” katanya. Sebanyak 20 organisasi mitra juga turut membantu. Para siswa belajar menjahit, menyablon, tata boga, hingga budidaya ikan.
Para murid sekolah anak jalanan itu tidak dipungut biaya. Pihaknya bersama yayasan menanggung biaya Rp 3,6 juta per siswa hingga lulus. ”Saya juga pakai uang royalti buku,” kata Egi yang menulis tujuh novel, cerpen, dan kumpulan puisi.
Egi juga memberikan modal kepada anak jalanan yang ingin berusaha. ”Ada yang mendapat Rp 5 juta untuk bikin usaha ternak ikan dan warung kecil-kecilan. Mereka juga bikin laporan keuangan meskipun tidak diminta,” paparnya.
Kini, muridnya ada yang berdagang, kerja di pabrik, hingga menjadi instruktur kerajinan tangan yang sempat ke luar negeri. Uniknya, ia pernah membantu menemukan seorang anak yang kabur dari rumah.
Melalui jaringan muridnya, anak itu terdeteksi berada di Cianjur, ”disandera” sejumlah anak jalanan. Namun, keluarga harus menebus Rp 8 juta dan tidak lapor polisi jika ingin anaknya kembali.
Saat tiba di tempat tujuan, para anak jalanan di sana malah mencium tangan Egi dan memohon maaf. Belakangan, kiprahnya diketahui anak jalanan di Cianjur itu. ”Ternyata, mereka juga ingin ada sekolah anak jalanan yang memberdayakan seperti yang kami buat di Majalengka. Selama masih ada anak jalanan, saya akan tetap mendampingi mereka,” ucapnya.
Baca juga : Anak Jalanan Masih Terabaikan
Egi Trialogi
Lahir: Majalengka, 7 Maret 1991
Istri: Eva Puspita Dewi
Pendidikan: Universitas Majalengka
Penghargaan:
- Pemuda Pelopor Bidang Pendidikan Tingkat Nasional 2020
- Pemuda Pelopor Bidang Pendidikan Tingkat Jabar 2020
- Pemuda Pelopor Bidang Pendidikan Tingkat Majalengka 2020
- Guru Berprestasi Madrasah Majalengka 2019
- Nominasi ESA Award 2019