Ketika anak usia sekolah dasar, terutama pada kelas awal, terkendala pembelajarannya di masa pandemi ini, mereka berpotensi gagal belajar membaca. Bank Dunia memprediksi ketidakmampuan belajar ini meningkat.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Penutupan sekolah dan kendala dalam pembelajaran jarak jauh menyebabkan sejumlah anak usia sekolah dasar, terutama dari keluarga miskin, rentan mengalami masalah gagal belajar membaca. Mereka berpotensi mengalami ketidakmampuan belajar atau learning poverty, yaitu kondisi di mana anak tidak dapat membaca dan memahami teks sederhana pada pada usia 10 tahun.
Kajian terbaru Bank Dunia menunjukkan, secara global tingkat ketidakmampuan belajar atau disebut juga kemiskinan belajar di negara berpenghasilan menengah ke bawah diperkirakan meningkat 10 persen, dari 53 persen pada 2019 menjadi 63 persen karena pandemi. Anak usia sekolah dasar yang tidak mampu membaca bertambah 72 juta anak, menjadi 454 juta anak.
Ini menunjukkan krisis pembelajaran semakin dalam. Kemampuan membaca merupakan kemampuan mendasar yang harus dipenuhi anak di tingkat pendidikan dasar. Ketidakmampuan membaca dapat memengaruhi pemahaman mereka terhadap bahan ajar pada level selanjutnya.
Kondisi tersebut diperkirakan juga terjadi di Indonesia. ”Kalau dibuat perbandingan, di masa pandemi ini terjadi learning loss (hilang pengalaman belajar) dan diperkirakan ada penurunan pada skala membaca, pasti terjadi learning poverty,” kata Direktur Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amich Alhumami, Sabtu (26/12/2020).
Sebelumnya, Bank Dunia memperkirakan, penutupan sekolah hingga Juli 2020 menyebabkan pencapaian pembelajaran jarak jauh (PJJ) rata-rata hanya 33 persen dari hasil pembelajaran tatap muka di kelas. Hal ini diperkirakan membuat anak-anak Indonesia kehilangan 11 poin pada skala membaca (literasi) program penilaian siswa internasional (PISA).
Dampak tersebut bisa lebih besar jika sekolah ditutup untuk waktu yang lebih lama tanpa tindakan tambahan untuk mendukung pembelajaran. Penutupan sekolah hingga September diperkirakan membuat anak-anak Indonesia kehilangan 16 poin pada skala membaca dan 21 pon jika sekolah ditutup hingga November 2020.
Hingga Desember 2020, sebagian besar sekolah di Indonesia masih ditutup, kendala PJJ pun relatif masih sama, terutama ketiadaan gawai dan akses internet. Karena itu, dampaknya bukan hanya learning loss, potensi learning poverty atau ketidakmampuan belajar di Indonesia pun bisa meningkat.
Hal senada dikatakan Kepala Departemen Pengembangan Pendidikan Khusus dan Nonformal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Ela Yulaelawati. Kendala dalam PJJ, jika dialami anak kelas I-V, berpotensi membuat anak mengalami buta aksara.
”Kegagalan membaca di kelas awal ini akan berlanjut ketika mereka dewasa kelak,” kata Ella dalam diskusi daring yang diselenggarakan PGRI pada 22 Desember 2020.
Tidak diketahui pasti berapa tingkat ketidakmampuan belajar di Indonesia sebelum pandemi. Menurut perkiraan Bank Dunia pada 2019, sekitar 35 persen anak di Indonesia pada usia akhir sekolah dasar tidak bisa membaca. Angka ini 14,2 persen lebih buruk dibandingkan rata-rata negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, tetapi 19,7 persen lebih baik daripada rata-rata negara berpenghasilan menengah ke bawah.
Dengan kondisi tersebut, peningkatan ketidakmampuan belajar di Indonesia diperkirakan tidak akan mencapai 10 persen. Selain itu, menurut Amich, upaya pemerintah menyediakan sumber-sumber pembelajaran yang dapat digunakan guru ataupun siswa, termasuk kurikulum darurat, selama ini diharapkan dapat menekan potensi ketidakmampuan belajar.
Defisit SDM
Kemampuan membaca merupakan ketrampilan dasar yang menjadi pintu masuk bagi siswa untuk pembelajaran dasar dalam mata pelajaran lain. Jika anak tidak mampu membaca, terhenti pula kemampuan kognitifnya dan ini menjadi penyumbang utama defisit sumber daya manusia (SDM).
Kondisi ini bukan hanya memperparah ketimpangan pendidikan. Lebih dari itu, pada akhirnya ketidakmampuan belajar akan menghambat pencapaian target pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan.
Berdasarkan laporan Bank Dunia yang dirilis pada awal Desember 2020, generasi siswa yang mengalami ketidakmampuan belajar berisiko kehilangan sekitar 10 triliun dollar AS pendapatan seumur hidup di masa depan. Jumlah ini setara dengan hampir 10 persen dari produk domestik bruto global.
Karena itu, menurut Bank Dunia, menghilangkan ketidakmampuan belajar sama pentingnya dengan menghilangkan kemiskinan moneter yang ekstrem, tengkes (stunting), atau kelaparan. Memastikan anak memiliki kemampuan membaca sesuai usianya sama halnya dengan tidak ada tengkes pada anak sebagai penanda perkembangan anak usia dini yang sehat.
”Tanpa tindakan segera, generasi pelajar (yang mengalami ketidakmampuan belajar) ini mungkin tidak akan pernah mencapai kemampuan penuh dan potensi pendapatan mereka, dan negara-negara akan kehilangan sumber daya manusia yang penting untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi jangka panjang,” kata Mamta Murthi, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Pembangunan Manusia dalam laporan Bank Dunia.
Tahun lalu, Bank Dunia mencanangkan target global untuk mengurangi ketidakmampuan belajar hingga separuhnya pada 2030. Kini, pandemi Covid-19 membuat tantangan untuk mengurangi krisis pembelajaran ini semakin besar. Jika sebelum Covid-19 dibutuhkan peningkatan pembelajaran dua kali lipat atau tiga kali lipat, kini akan jauh lebih sulit untuk mencapai target tersebut.
Pembukaan kembali sekolah, jika aman, itu penting untuk mengatasi kerugian akibat PJJ, tetapi itu tidak cukup. Hasil simulasi Bank Dunia menunjukkan, terdapat perbedaan besar dalam potensi dampak krisis terhadap siswa miskin di berbagai wilayah.
Karena itu, tantangan besar saat ini adalah dengan cepat mengidentifikasi dan menanggapi kebutuhan pembelajaran setiap siswa dengan cara yang fleksibel dan adaptif. Selain itu, membangun kembali sistem pendidikan yang lebih tahan terhadap guncangan dengan menggunakan teknologi secara efektif untuk memungkinkan pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
Ketika sekolah dibuka kembali, kata Amich, harus ada upaya mengompensasi apa yang hilang/tertinggal saat PJJ. ”Harus ada upaya sungguh-sungguh ketika masuk sekolah dengan melipatgandakan upaya untuk mengejar apa yang tertinggal selama pandemi ini. Paling tidak, untuk menekan dampak penutupan sekolah tidak sampai drastis. Ajarkan bidang-bidang elementer yang perlu dikuasai siswa,” katanya.
Selain itu juga memperbaiki cara guru mengajar. Menurut Amich, ketidakmampuan belajar terkait praktik pengajaran dan pembelajaran yang tidak mampu memberi stimulus atau rangsangan kemampuan dasar terkait membaca pada anak. ”Guru cenderung ceramah satu arah (saat mengajar) sehingga anak tidak terbiasa mendapatkan rangsangan dalam kognisi, bagaimana mengolah pembelajaran yang diajarkan guru,” katanya.
Tingkat ketidakmampuan belajar, kata Amich, juga terkait dengan pendidikan anak usia dini (PAUD). Anak yang mempunyai pengalaman mengikuti PAUD mempunyai kemampuan membaca lebih bagus daripada anak yang tidak mempunyai pengalaman mengikuti PAUD. Karena itu, orangtua didorong memasukkan anak usia dini ke PAUD, demikian juga pemerintah daerah agar menyediakan PAUD yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.