Perumusan kebijakan pendidikan nasional dinilai tidak memperhatikan realitas kebutuhan sampai ke tingkat daerah.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kebijakan pendidikan nasional sepanjang 2020 dinilai tak dibangun dengan dialog lintas kementerian dan lembaga sampai ke tingkat daerah. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan layanan pendidikan membesar.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anggi Afriansyah di sela - sela diskusi publik "Catatan Akhir Tahun Pendidikan 2020" yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) dan Vox Point, Minggu (27/12/2020), di Jakarta, mencontohkan pengalaman pelaksanaan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) saat pandemi Covid-19.
Berbagai solusi pemakaian teknologi digital cenderung bias kelompok satuan pendidikan mapan. Aneka upaya pembelajaran memakai teknologi digital terkesan diserahkan seluruhnya kepada guru. Pengamatan dia, banyak guru benar-benar mencari jalan keluar sendiri.
Dewan Pakar P2G Jimmy Paat menilai, PJJ yang sekarang berjalan belum sesuai konsep pendidikan jarak jauh yang sebenarnya. Hingga sekarang, anggapan yang masih berkembang adalah PJJ sama seperti pembelajaran tatap muka di kelas, tetapi memakai perangkat media daring.
Indonesia memiliki Universitas Terbuka yang dinilainya piawai mengimplementasikan konsep pendidikan jarak jauh. Hal itu seperti fasilitas komunikasi dua arah, pemanfaatan beragam media pembelajaran, dan intervensi dari institusi penyelenggara sehingga berbeda dengan belajar sendiri di rumah.
Berbagai dinamika permasalahan PJJ coba diselesaikan pemerintah menggunakan pendekatan bantuan paket data internet dengan alokasi anggaran bantuan mencapai sekitar Rp 7,2 triliun. Menurut dia, solusi ini tidak menyelesaikan.
"Dengan anggaran yang sama, pemerintah semestinya bisa memakai untuk membangun sistem pendidikan jarak jauh. Indonesia punya praktisi, seperti Universitas Terbuka. Sudahkah diajak dialog membangun sistem pendidikan jarak jauh?" kata dia.
Dewan Pakar P2G Rakhmat Hidayat mengibaratkan kebijakan pendidikan nasional sepanjang tahun 2020 yang minim dialog bak pemadam kebakaran. Artinya, pemerintah cenderung reaktif melihat persoalan lalu cepat mencari solusi operasional. Persoalan PJJ misalnya lagi, semestinya tidak bisa diselesaikan dengan menganggarkan bantuan paket data internet.
Dia juga mengamati kebijakan pendidikan yang minim dialog menyebabkan tata kelolanya sporadis. Sebagai contoh, kebijakan Organisasi Penggerak yang menuai protes mekanisme perekrutan yang berujung Lembaga Pendidikan Ma\'arif Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan Guru Republik Indonesia mundur. Contoh lain yaitu rencana kebijakan meleburkan mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang memicu kericuhan dan misinformasi publik.
Contoh berikutnya kebijakan asesmen nasional (AN). Rakhmat menilai, kebijakan ini juga tidak melibatkan dialog dengan pelaku pendidikan. Ketika pemerintah mengumumkan AN kepada publik, banyak sekolah dan guru di daerah tidak memahami AN. Di tengah kebingungan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembelajaran tatap muka di sekolah yang diperbolehkan mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021.
"Konsep AN butuh dimatangkan, setelah itu sosialisasi ke satuan pendidikan, siswa, dan orangtuanya. Selain itu, pembelajaran tatap muka butuh waktu transisi dari PJJ. Kalau AN dipaksakan terlaksana pada 2021, kami memperkirakan hasil implementasi kebijakan itu tidak akan maksimal," kata dia.
Rembug nasional
Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan, Feriansyah, berpendapat, gotong-royong membangun pendidikan nasional semestinya direalisasikan. Karena kebutuhan setiap daerah berbeda, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tidak bisa bekerja sendiri. Kemdikbud dapat bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; dan Kementerian Sosial.
Direktur Pendidikan Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji, memandang pentingnya menghidupkan kembali rembug nasional pendidikan dan kebudayaan. Rembug nasional ini mengumpulkan seluruh dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota, lalu membahas kebutuhan sampai rekomendasi.
Meski rembug nasional pernah diwarnai insiden negatif, seperti pergantian kepala dinas usai menyampaikan pendapat, dia menilai tradisi itu tetap perlu digeliatkan kembali. Tujuannya yaitu pemerintah pusat mendapatkan gambaran utuh kondisi di daerah.
Mendikbud Nadiem Anwar Makarim, di sela - sela acara "Salute to Slank:37 Tahun untuk Indonesia", Sabtu (26/12), di Jakarta, mengatakan, pandemi Covid-19 menimbulkan berbagai tantangan baru bagi dunia pendidikan, seperti keterbatasan akses belajar. Sementara saat bersamaan, dunia pendidikan nasional masih mempunyai sejumlah pekerjaan rumah, antara lain perbaikan kemampuan numerasi, literasi, dan birokrasi layanan pendidikan.
Dia mengakui, sistem pendidikan nasional belum merangkul keberagaman kondisi individu siswa dan guru. Ini coba diperbaiki oleh Kemdikbud melalui serangkaian kebijakan Merdeka Belajar.
"Kurikulum, kepemimpinan sekolah, sampai mengelola anggaran harus berubah. Perubahan yang akan kami lakukan menitikberatkan potensi siswa dan guru," kata dia.