Tanpa Terobosan, Bonus Demografi Bisa Berujung Bencana
Keuntungan akan bonus demografi bisa berbalik menjadi bencana bila tak dilakukan terobosan di tengah pandemi Covid-19. Keberhasilan terobosan itu pun tergantung pada keberhasilan mengendalikan Covid-19.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memunculkan berbagai persoalan kependudukan yang mengancam kesejahteraan masyarakat. Repotnya, situasi itu terjadi justru setahun menjelang puncak bonus demografi 2021-2022. Tanpa adanya upaya luar biasa, situasi itu bisa membawa Indonesia mengalami bencana demografi.
”Jika cara-cara yang dilakukan untuk mencapai target-target pembangunan kependudukan masih business as usual (seperti biasa), sumber daya manusia berkualitas tidak akan bisa dicapai,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Hasto Wardoyo dalam diskusi virtual Indonesian Demographic Outlook 2021 dari Jakarta, Selasa (22/12/2020).
Dampak kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 berpengaruh besar dalam upaya peningkatan sumber daya manusia yang berdaya saing dan berkualitas. Keterbatasan layanan kesehatan reproduksi dan meningkatnya kemiskinan dan kesenjangan dikhawatirkan akan menaikkan fertilitas, kehamilan tak diinginkan, tengkes, kematian ibu melahirkan dan kematian bayi, serta kekerasan berbasis jender.
Persoalan sosial yang ditimbulkan berbagai masalah tersebut akan makin mengancam ketahanan keluarga yang ujungnya bisa mengganggu ketahanan bangsa. Karena itu, revolusi mental perlu terus digaungkan sehingga terbentuk masyarakat yang berbudi luhur, berjati diri, bergotong royong, toleran, dan sejahtera.
Besarnya tantangan yang dihadapi membuat target pembangunan kependudukan yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 hanya bisa dicapai jika ada terobosan. Menjaga target dalam RPJMN itu penting agar cita-cita mewujudkan Indonesia Emas 2045 bisa tercapai sekaligus memanfaatkan momentum bonus demografi agar tidak berubah menjadi bencana demografi.
Karena itu, lanjut Hasto, BKKBN fokus untuk menurunkan tingkat fertilitas (TFR) penduduk yang pada 2020 masih mencapai 2,45 anak per perempuan usia subur menjadi 2,1 pada 2024. Penggunaan kontrasepsi modern juga akan terus didorong melalui inovasi penyediaan alat kontrasepsi yang memberi kenyamanan lebih ataupun program pemasangan kontrasepsi pascamelahirkan.
Pernikahan remaja juga perlu ditekan hingga tingkat kelahiran remaja putri umur 15-19 tahun (ASFR 15-19) bisa diturunkan dari 31,9 orang per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun pada 2020 menjadi 18 orang per 1.000 perempuan usia sama. Pendewasaan usia kawin pertama dan penjarakan kelahiran perlu terus didorong sembari menekan jumlah warga yang tak terlayani program kontrasepsi (unmet need) demi menjamin keadilan dan kesetaraan bagi semua.
”Reorientasi kegiatan BKKBN diperlukan hingga mampu menyasar lebih banyak remaja yang menjadi tulang punggung Indonesia mencapai bonus demografi,” tambah Hasto. Jika remaja yang jumlahnya mencapai 64 juta orang bisa diintervensi dengan tepat, mereka akan memberi pengaruh besar bagi pembangunan kependudukan di Indonesia di masa depan.
Kendalikan Covid-19
Repotnya, keberhasilan upaya terobosan itu menurut Sekretaris Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) Turro S Wongkaren harus akan sangat ditentukan oleh kemampuan Indonesia mengendalikan pandemi Covid-19. Program vaksinasi yang akan dimulai Januari 2021 diperkirakan baru akan menjangkau 100 juta penduduk pada semester II 2020.
Selain itu, pelaksanaan berbagai program kependudukan itu harus dilakukan di tengah ketidakpastian kapan akhir pandemi dan kelelahan psikologis masyarakat menghadapi bencana yang berkepanjangan. Karena itu, menjaga kedisplinan warga untuk tetap mematuhi protokol kesehatan juga perlu dilakukan.
Berbagai masalah itu, lanjut Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Herry Yogaswara berlangsung di tengah meningkatkan kemiskinan, berkurangnya pendapatan masyarakat, bertambahnya jumlah pengangguran, melonjaknya jumlah pekerja informal, hingga belum pulihnya sistem kesehatan Indonesia akibat pandemi.
Upaya menjaga kesejahteraan warga selama pandemi dengan berbagai bantuan program perlindungan dan jaminan sosial juga masih terkendala buruknya data kependudukan. Data penduduk penerima bantuan antara kementerian dan lembaga masih belum padu. Pembaruan data juga sangat lambat hingga mengakibatkan seringnya salah sasaran bantuan yang diberikan.