Para Ibu di Balik Ketahanan Masyarakat Saat Pandemi Covid-19
Peran ibu menjaga ketahanan di tengah pandemi Covid-19 telah teruji. Mulai dari Maria Loretha di ladang jagung NTT, Herawati di Eijkman, hingga Adi Utarini dengan bakteri ”Wolbachia”-nya jadi contoh nyata peran itu.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 tahun ini telah menunjukkan pentingnya ketahanan masyarakat. Perempuan Indonesia tidak hanya menjadi fondasi bagi ketangguhan keluarga di masa sulit seperti ini, tetapi juga berperan penting bagi publik lebih luas dengan menjadi ujung tombak dalam penanganan pandemi hingga kemajuan sains.
Dari petani dan penggerak pangan lokal di Flores Timur, Maria Loretha, hingga dokter dan ahli penyakit menular dan kesehatan masyarakat dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Adi Utarini, dan dokter yang juga ahli biologi molekuler dan Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo Supolo, kita bisa melihat perjuangan kaum perempuan yang berdedikasi, tidak hanya kepada keluarga, tetapi juga masyarakat.
Maria Loretha, yang dihubungi pada Senin (21/12/2020), mengatakan, pandemi ini menunjukkan pentingnya kemandirian pangan berbasis sumber daya lokal. ”Hasil panen sorgum saat ini sangat bagus karena cuaca mendukung, demikian juga tangkapan ikan, kelor juga berlimpah. Petani di Flores Timur saat ini mestinya tidak kurang pangan dan gizi asal mau memanfaatkan sumber daya di sekitar,” tuturnya.
Loretha yang menginisiasi penanaman sorgum di Flores dan sekitarnya selama pandemi ini makin aktif mengajak petani kembali ke pangan lokal guna mengatasi tengkes dan gizi buruk pada anak. Tengkes dan gizi buruk masih menjadi masalah besar di Nusa Tenggara Timur (NTT). ”Perempuan, khususnya kaum ibu, berperan sangat penting dalam menghadapi wabah, juga bahaya gizi buruk di keluarga,” ujarnya.
Menurut dia, kaum perempuan dan anak-anak muda terbukti menjadi tulang punggung bagi kesuksesan Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, di Flores Timor mandiri pangan dengan sorgum. ”Banyak anggota tani pangan lokal kita adalah perempuan. Saat ini, selain pangan, kami mengampanyekan protokol kesehatan di jaringan para petani, khususnya perempuan petani,” katanya.
Sementara itu, Herawati Supolo Sudoyo mengatakan, pandemi mengubah rutinitas harian para peneliti di Lembaga Eijkman. Survei lapangan dihentikan untuk sementara waktu dan hampir semua tenaga peneliti dikerahkan untuk membantu menangani Covid-19. Selain pemeriksaan spesimen, saat ini para peneliti Eijkman juga berjibaku mengembangkan vaksin Covid-19.
”Mayoritas peneliti di Eijkman adalah perempuan dan berkeluarga,” kata Herawati.
Mayoritas anggota tim Waspada Covid-19 di Eijkman yang bekerja mulai dari penerimaan sampel, isolasi virus di laboratorium, tes diagnostik, hingga pengurutan genom dan analisis juga perempuan. Dari 70 orang yang dikerahkan untuk menangani Covid-19 di Eijkman, 70 persen merupakan perempuan.
”Mereka harus bekerja dari pukul 09.00 sampai 17.00, kalau tim laboratorium bisa sampai jam 20.00 WIB,” kata Herawati.
Pekerjaan di dalam laboratorium lebih berat lagi karena mereka harus mengenakan pakaian tertutup dan sekali masuk rata-rata tidak keluar lagi sampai waktu istirahat makan. ”Bagus juga, sekalian diet, jadi pada kurus,” ucap Herawati.
Sekalipun bekerja dengan risiko sangat tinggi, menurut dia, saat ini tidak ada peneliti Eijkman yang terpapar virus. Selain menerapkan protokol kesehatan saat bekerja di laboratorium, para peneliti Eijkman juga wajib menerapkannya di rumah ataupun dalam perjalanan. ”Semua peneliti yang masuk kantor dilarang menggunakan kendaraan umum,” katanya.
Sementara bagi Adi Utarini, pandemi Covid-19 yang melanda tahun ini memberi dua hal sekaligus, yaitu kesedihan karena ditinggal kolega dan suami, yaitu Iwan Dwiprahasto, yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, yang meninggal akibat Covid-19. Uut sendiri harus menjalani isolasi mandiri belasan hari.
Namun, di balik duka tersebut, tahun ini juga menjadi salah satu yang terbaik dalam capaiannya sebagai ilmuwan. Guru Besar FKKMK UGM yang biasa dipanggil Uut ini mendapat pengakuan dari Nature, media sains internasional, sebagai salah satu dari 10 orang di dunia yang paling berjasa pada ilmu pengetahuan tahun 2020. Pengakuan ini diperoleh karena di tengah pandemi Covid-19, Uut berhasil memublikasikan hasil penelitian dan eksperimennnya bersama untuk mengeliminasi infeksi tak kalah mematikan: demam berdarah.
Uut berhasil memangkas 77 persen kasus demam berdarah di lokasi penelitiannya di Kota Yogyakarta dengan melepaskan nyamuk yang dimodifikasi dengan memasukkan bakteri Wolbachia pipientis ke tubuh nyamuk Aedes aegypti. Wolbachia diketahui menghambat pertumbuhan virus dengue di tubuh nyamuk ini sehingga tak bisa menularkan DBD kepada manusia.
Ahli epidemiologi dunia memuji hasil kajian ini karena dianggap menjanjikan kemenangan melawan virus yang telah menjangkiti banyak negara, terutama negara-negara berpenghasilan rendah di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Kajian ini juga diharapkan bisa membantu mengatasi wabah demam berdarah yang tiap tahun menewaskan sekitar 1.000 orang dari lebih kurang 140.000 kasus yang terjadi.
Berbeda dengan penelitian-penelitian lain yang biasanya berhenti dari laboratorium ke rumah sakit, riset yang dilakukan Uut dan timnya terimplementasikan di masyarakat. Menurut dia, kunci keberhasilan ini, di antaranya, berkat dukungan dan antusiasme masyarakat untuk terlibat dalam eksperimen ini.
Selama ini, peneliti lebih banyak berpikir bagaimana memasukkan tulisan ke jurnal. Padahal, bagaimana bisa berkomunikasi dengan masyarakat sehingga mereka menjadi bagian dari penemuan sains amat penting.
”Selama ini, peneliti lebih banyak berpikir bagaimana memasukkan tulisan ke jurnal. Padahal, bagaimana bisa berkomunikasi dengan masyarakat sehingga mereka menjadi bagian dari penemuan sains amat penting,” katanya.
Uut menambahkan, dari penelitian ini, ia belajar tentang pentingnya komunikasi dengan masyarakat sehingga riset bisa diterima. Selain juga, peneliti juga belajar membangun relasi dengan media. Dengan komunikasi yang baik, masyarakat terbukti bisa menjadi bagian penting dalam upaya eliminasi penyakit demam berdarah.
Belajar dari pengalamannya riset tetang Wolbachia, Uut berharap agar upaya penanganan pandemi Covid-19 ini juga bisa lebih didasarkan pertimbangan sains serta melibatkan masyarakat sebagai garda depan dalam memutus rantai penularan penyakit menular.