Menko PMK: Kemiskinan dan Kebodohan Menjadi Masalah Keluarga
Ada dua persoalan pokok dalam keluarga yang harus di atasi, yaitu kemiskinan dan kebodohan. Untuk mengatasi hal itu, perlu ada pendidikan keluarga.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada era disrupsi sekarang, membangun keluarga bukanlah persoalan mudah. Tantangan yang dihadapi orangtua saat ini berbeda dengan yang dialami orangtua pada masa lalu. Semua itu menimbulkan kerentanan yang tidak hanya berdampak pada ketahanan keluarga, tetapi juga ketahanan bangsa.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam diskusi interaktif Membangun Keluarga Berkualitas, di Jakarta, Senin (21/12/2020), mengatakan, sebagai unit terkecil masyarakat dan bangsa, keluarga punya peran strategis. Jika keluarga bagus, masyarakat dan bangsa akan bagus.
Meski demikian, saat ini ada dua persoalan pokok dalam keluarga yang harus di atasi, yaitu kemiskinan dan kebodohan. Untuk mengatasi hal itu, pendidikan keluarga yang dimulai dari pendidikan pranikah penting dilakukan guna memberi landasan dalam pembangunan keluarga.
Dengan pendidikan pranikah dan pendidikan keluarga, satu persoalan penting yang jadi fokus pemerintah saat ini ialah mengatasi masalah tengkes (stunting) dapat dilakukan. ”Stunting jadi salah satu faktor yang membuat sumber daya manusia Indonesia tidak terlalu kompetitif, tidak punya kemampuan memadai hingga tidak tingkat kompetensinya rendah,” katanya.
Mengutip Bank Dunia, lanjut Muhadjir, saat ini 54 persen angkatan kerja Indonesia yang merupakan penduduk usia produktif adalah mantan penderita tengkes. Perkembangan otak tidak optimal selama dalam kandungan hingga umur 2 tahun membuat intervensi apa pun, di tingkat pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi, tak akan memberi hasil maksimal dan produktivitasnya pun sulit didorong.
Stunting jadi salah satu faktor yang membuat sumber daya manusia Indonesia tidak terlalu kompetitif, tidak punya kemampuan memadai hingga tidak tingkat kompetensinya rendah.
Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi keluarga Indonesia dan bisa mengatasinya dengan tepat, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) akan mendata 77 juta keluarga Indonesia pada 2021. Data itu akan digunakan untuk menyusun Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) hingga bisa memotret persoalan yang dihadapi keluarga.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, persoalan keluarga Indonesia itu akan dipotret dalam tiga aspek, yaitu ketenteraman, kemandirian, dan kebahagiaan. ”Ini diharapkan bisa melengkapi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengintervensi manusia secara makro,” ujarnya.
Intervensi terhadap persoalan keluarga yang spesifik itu diperlukan sebagai terobosan untuk mengatasi beragamnya masalah yang dihadapi keluarga Indonesia. Penanganan yang bersifat makro, seperti yang telah dilakukan selama ini, dinilai kurang memberikan dampak langsung hingga kurang tepat sasaran.
Penanganan spesifik masalah keluarga berdasar data iBangga itu makin menemukan momentumnya dengan makin rumitnya persoalan yang dihadapi keluarga saat ini. Tingkat perceraian terus meningkat. Data Kementerian Agama menyebut, dari sekitar 2 juta perkawinan setiap tahunnya, hampir seperempat berakhir dengan perceraian. Pandemi Covid-19 diyakini akan meningkatkan kasus perceraian.
Di sisi lain, persoalan anak muda makin pelik. Prevalensi anak muda yang mengalami gangguan mental emosional terus meningkat dari tahun ke tahun. Persoalan keluarga yang muncul turut memicu berbagai masalah anak, mulai dari kenakalan remaja, kekerasan dalam rumah tangga, seks pranikah hingga kehamilan tak diinginkan.
Pengasuhan
Sementara itu, menjadi orangtua pada masa kini juga tidak mudah. Pola pendidikan yang dilakukan orangtua dulu terhadap anak sulit diterapkan untuk saat ini. Padahal, dari keluargalah anak mendapat informasi dan stimulus awal yang menopang usia emas pertumbuhan mereka pada 1.000 hari pertama kehidupan yang akan menentukan perkembangannya hingga dewasa.
Meski peran keluarga sangat penting, psikolog anak dan keluarga Rose Mini Agoes Salim mengatakan, sebagian orangtua hanya berpikir cukup menafkahi anak dengan pangan dan sandang saja. ”Mereka lupa untuk memberi cinta dan stimulus kognitif, afektif, hingga psikomotorik kepada anak mereka,” katanya.
Tuntutan ekonomi dan kehidupan yang keras membuat banyak orangtua terpaksa bekerja dan menyerahkan pengasuhan anaknya kepada orang lain, baik pengasuh anak, neneknya, atau asisten rumah tangga. Meski tak sepenuhnya salah, penyerahan pengasuhan itu bukan berarti orangtua lepas tangan sama sekali hingga tidak tahu perkembangan anak.
”Orangtua selalu mengatakan rela melakukan apa saja demi anaknya. Namun, mereka harus memastikan bahwa apa yang mereka lakukan benar-benar sesuai dengan kebutuhan atau apa yang diinginkan anak,” ujarnya.
Karena itu, kuantitas dan kualitas interaksi orangtua dan anak sama-sama penting. Tidak bisa karena kesibukan kedua orangtua bekerja membuat mereka beralasan yang penting kualitas interaksinya meskipun hanya sebentar. Untuk mengajarkan anak hal-hal praktis, seperti cara makan, memang butuh waktu singkat, tetapi mengajarkan moral, hal baik dan buruk, dan kedisiplinan butuk waktu lama.
Teknologi digital memang sangat membantu meningktkan interaksi anak dan orangtua. Namun, lanjut Rose Mini, kedekatan fisik tetap dibutuhkan. Anak tidak hanya cukup disapa atau ditanya kabarnya, tetapi mereka juga membutuhkan adanya kedekatan fisik, pelukan, hingga ciuman dari orangtua mereka.
Pola kerja dari rumah yang banyak diterapkan selama pandemi ini seharusnya jadi momentum mengikatkan kembali hubungan anak dan orangtua. Kedekatan fisik itu harusnya meningkatkan kehangatan hubungan dalam keluarga. Namun, ikatan itu tidak akan terbentuk jika orangtua justru gagal mengayomi anak karena tidak bisa mengontrol emosinya.