Selama tahun 2020, pemberitaan tentang dinamika pelaksanaan pembelajaran jarak jauh mewarnai pendidikan nasional. Muncul pula narasi masa depan pendidikan berbasis teknologi digital.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Selama sepuluh bulan terakhir, pemerintah mengharuskan pembelajaran jarak jauh (PJJ) diterapkan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Di tengah kekagetan, ketidaksiapan, dan keterbatasan sarana prasarana belajar yang bercampur kekalutan orangtua, pendidik, dan peserta didik, banyak kalangan menilai inilah momen penting untuk membahas pendidikan masa depan.
Ledakan teknologi pendidikan atau education technology (edtech) yang sejatinya secara global dimulai sekitar tahun 2010 seolah semakin mendapatkan tempat. Sebab, masyarakat yang semakin terbiasa PJJ, meski masih berkutat segala keterbatasan karena pandemi tak kunjung usai, dijadikan narasi untuk mempercepat penggunaan edtech. Edtech diyakini sebagai masa depan layanan pendidikan yang permanen.
"Ikut perkembangan atau ketinggalan zaman", kira - kira begitulah tuturan yang banyak beredar.
Secara umum, cakupan varian edtech terdiri dari sistem manajemen pembelajaran (LMS), kursus daring (e-learning), laman yang menyediakan akses online 24 jam ke audio digital, video, dan materi tertulis (e-library), aplikasi berbasis langganan yang dirancang untuk membantu administrator sekolah membuat ruang kerja yang efisien (SaaS), kursus daring terbuka untuk peserta berjumlah besar (MOOC), dan penyedia pinjam-peminjam uang berbasis teknologi informasi khusus pendidikan (fintech for education).
Co-Founder Reedsy, Emmanuel Nataf, seperti dikutip oleh Techcrunch, menyebutkan, total investasi global ke edtech mencapai sekitar 8,15 miliar dollar AS selama sepuluh bulan pertama tahun 2017. Pasar Asia menjadi sasaran utama karena besarnya populasi usia muda.
Per Juni 2020, mengutip laporan DailySocial EdTech Report 2020, terdapat 19 perusahaan rintisan edtech bervaluasi lebih dari satu miliar dollar AS atau unicorn di seluruh dunia yang secara kolektif mengumpulkan lebih dari sembilan miliar dollar AS dari total pendanaan selama sepuluh tahun terakhir. Beberapa diantaranya berasal dari Asia. Ada pula yang telah masuk dan populer di Indonesia, seperti Duolingo, Udemy, dan Cousera.
Perusahaan rintisan edtech Indonesia tumbuh cepat sejak tahun 2012. Holon IQ menyebutkan, sejumlah perusahaan rintisan edtech Indonesia masuk dalam daftar 50 besar di Asia Tenggara, antara lain RuangGuru, HarukaEdu, Bahaso, Quintal, dan Zenius. Target utama mereka umumnya adalah siswa usia wajib belajar.
Kesimpulan riset DailySocial EdTech Report 2020 menyampaikan narasi yang senada, bahwa pandemi Covid-19 mampu mempercepat adopsi layanan edtech. Kebanyakan peserta didik, pendidik, dan orangtua yang mulanya cenderung terpaksa, diyakini bisa terbiasa. Kondisi ini menjadi momentum bagi para pemain edtech untuk menstabilkan diri.
Pemerintah Indonesia tampaknya ikut mengamini. Hal itu bisa dilihat di dokumen Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 yang disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Isi dokumen itu menyebutkan pentingnya platform teknologi untuk mendorong kolaborasi pemangku kepentingan, meningkatkan keefektivan pembelajaran. "Platform" pendidikan nasional ditingkatkan dalam lima tahun dan dimulai dari laman pemasaran bantuan operasional sekolah. Asesmen berkala semakin mudah dilakukan karena adanya personalisasi dan segmentasi pembelajaran yang digerakkan oleh pemakaian digital.
Dalam dokumen itu juga tertulis, pendidikan yang berbasis teknologi memerlukan sarana dan prasarana memadai di setiap sekolah. Maka, salah satu upaya akan dilakukan pemerintah adalah negosiasi perusahaan telekomunikasi untuk memperoleh harga paket data murah.
Untuk menuju pendidikan berbasis teknologi, pemerintah juga telah memulai kerja sama dengan perusahaan edtech. Akun pembelajaran dengan domain belajar.id, misalnya. Belajar.id didukung penuh dan berjalan di sistem Google. Salah satu alasan memilih Google adalah keamanan terjamin. Lalu, sejumlah aplikasi mudah diakses, seperti RuangGuru dan Quipper. Meski katanya opsional, pemerintah mengatakan bahwa akun pembelajaran dengan domain belajar.id akan dipakai sebagai sumber penerima penting info - info kebijakan pendidikan.
Langkah itu mengundang kekhawatiran. Ikatan Guru Indonesia berpendapat dukungan sistem Google diresahkan bisa memicu monopoli. Sementara itu, peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anggi Afriansyah memiliki pandangan lebih makro. Menurutnya, peluncuran akun pembelajaran belajar.id sebagai langkah yang tidak sensitif di tengah masih adanya persoalan keterbatasan fasilitas untuk PJJ.
Fenomena internasional
Apa yang terjadi di Indonesia sekarang sejatinya telah terjadi negara-negara lain. Director of Education Policy Studies di American Enterprise Institute Frederick Hess dalam tulisannya No, Covid-19 Is Not A Swell Chance To Market Your Ed-Tech Solution di Forbes (2020), mengatakan, pada awal kuncitara, dia menerima surel tak terhitung banyaknya mengenai tawaran produksampai ahli untuk berbagi ilmu penggunaan edtech. Dia mengaku sudah memikirkan kembali masa depan layanan pendidikan, tetapi pandemi Covid-19 bukan ajang promosi produk.
Profesor riset dari Monash University, Neil Selwyn, dalam studinya Digital Education in the Aftermath of Covid-19:Critical Concerns and Hopes, menyebut pakar edtech Sal Kahn yang cepat mengatakan sisi positif pandemi Covid-19. Gubernur negara bagian New York, Andrew Cuomo, juga menyampaikan hal senada dan memandang pandemi sebagai momentum untuk berpindah ke PJJ yang canggih.
Selwyn memang telah lama menaruh perhatian terhadap perkembangan edtech, bahkan sebelum pandemi Covid-19. Dia pernah mengutip sejumlah pertanyaan refleksi dari kritikus media massa Neil Postman tahun 1997 saat dihadapkan dengan teknologi baru. Misalnya, apakah klaim yang dilontarkan oleh teknologi adalah sebuah solusi dari persoalan kita, masalah siapa itu, apa masalah yang akan muncul dengan menyelesaikan persoalan dengan teknologi, serta orang atau institusi apa yang paling dirugikan oleh teknologi itu.
Neil Postman meninggal tahun 2003 atau sebelum ledakan edtech sekitar 2010-an. Meski demikian, Selwyn percaya bahwa pertanyaan - pertanyaan refleksi almarhum masih relevan untuk dipakai di tengah narasi dominan mengenai edtech sekarang.
Chancellor\'s Fellow di Centre for Research in Digital Education dan Edinburgh Futures Institute, Ben Williamson, juga menawarkan pandangan menarik tentang edtech. Melalui hasil studinya Who Owns Education Theory?Big Data, Algorithms, and The Expert Power of Education Data Science (2017), Williamson mengkhawatirkan, dampak penggunaan edtech menggeser epistemologi pendidikan, cara mengajar-belajar, riset keilmuan pendidikan, hingga produksi pengetahuan. Mahadata aktivitas pembelajaran dapat diolah teknologi personalisasi dan mungkin bisa "dijual" ke satuan pendidikan.
Meski demikian, menyikapi bijaksana teknologi pendidikan-seperti Selwyn mengutip pertanyaan reflektif Neil Postman dan Williamson dengan kekhawatirannya terhadap mahadata hasil olahan penyedia edtech-amat diperlukan. Dalam konteks Indonesia, barangkali pertanyaannya adalah apa yang sesungguhnya dibutuhkan pendidikan nasional kita sekarang?
Terlepas dari polemik yang ada, pada akhirnya perubahan zaman adalah keniscayaan, begitu pula dengan era transformasi digital teknologi pendidikan yang kini sudah berada di depan mata.