Pantun telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada 17 Desember 2020. Upaya pelestarian kolektif ke dalam dan luar Indonesia akan dioptimalkan pemerintah bersama masyarakat.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pantun ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada sesi ke-15 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage tanggal 17 Desember 2020. Dengan demikian, pantun menjadi tradisi budaya Indonesia ke-11 yang masuk daftar warisan budaya tak benda yang diakui dunia.
Nominasi pantun diajukan bersama Indonesia dan Malaysia. Komite Warisan Budaya Tak Benda UNESCO menilai pantun memiliki arti penting bagi masyarakat yang bukan hanya sebagai alat komunikasi sosial, melainkan juga panduan moral. Pesan yang disampaikan melalui pantun umumnya menekankan keseimbangan dan harmoni hubungan antarmanusia.
Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO, Surya Rosa Putra, dalam siaran pers, menyampaikan, pantun adalah tradisi budaya nominasi Indonesia pertama yang diajukan bersama dengan negara lain, yaitu Malaysia. Substansi pantun memiliki arti penting bagi Indonesia dan Malaysia karena merefleksikan kedekatan dua negara serumpun yang berbagi identitas, budaya, dan tradisi.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid, dalam konferensi pers, Jumat (18/12/2020), di Jakarta, menjelaskan, pantun bukan hanya hidup di Malaysia dan Indonesia. Di Brunei Darussalam, sebagian Thailand, dan Filipina juga berkembang pantun.
Bersama dengan Malaysia, Indonesia intensif berkomunikasi mengumpulkan dokumen kajian yang dibutukan persyaratan nominasi selama dua tahun terakhir. Di Indonesia, pemerintah bersama komunitas terkait pantun terlibat mengurus data kajian yang dibutuhkan untuk pengajuan.
Misalnya, Asosiasi Tradisi Lisan, Lembaga Adat Melayu, Komunitas Joget Dangdung Morro, Komunitas Joget Dangdung Sungai Enam, Komunitas Gazal Pulau Penyengat, Sanggar Teater Warisan Mak Yong Kampung Kijang Keke, dan Universitas Maritim Raja Ali Haji. Sejumlah individu dan pemantun Indonesia juga turut berperan aktif, seperti maestro pantun Indonesia, HM Ali Achmad dan OK Nizami Jamil.
”Upaya pelestarian menjadi urusan masing-masing negara. Kalau Indonesia, kami ingin langkah pelestarian menyasar ke internal dan eksternal,” kata Hilmar.
Untuk internal Indonesia, dia menyebut salah satu upaya adalah mendorong peran serta dunia pendidikan. Hilmar mencontohkan di Riau, pantun selalu masuk jadi materi dalam pelajaran. Siswa dibiasakan menyenangi pantun sebagai bagian literasi sekaligus media komunikasi yang menghibur. Upaya lainnya memperkuat riset tradisi pantun.
Sementara upaya pelestarian ke eksternal, Hilmar menyebut akan membawa pantun sebagai bagian dari upaya diplomasi budaya lintas negara. Pemerintah Provinsi Riau dan Bangka Belitung, misalnya, aktif membuka komunikasi kebudayaan dengan Malaysia.
Setelah pantun, dia mengatakan, Indonesia akan mengajukan gamelan untuk mendapatkan pengakuan UNESCO. Gamelan telah menjadi alat musik yang punya pengaruh besar dunia, bahkan sejak abad ke-19 musisi di Eropa telah menggunakannya.
Generasi muda
Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pudentia MPSS saat dihubungi terpisah memandang perlunya aura berpantun dihidupkan di kalangan generasi muda dengan membuat program berjenjang dimulai dari lokakarya, pentas pantun serumpun, dan penayangan tradisi berpantun di media massa. Lalu, pengembangan pantun ke produk ekonomi kreatif dapat dilakukan, seperti kaus dan musik.
”Upaya yang perlu dilakukan juga adalah menghidupkan kembali acara Titian Muhibah yang dulu pernah jadi tayangan populer berpantun di televisi,” katanya.
Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra menilai, pengakuan UNESCO itu sebagai penguat semua langkah pelestarian pantun yang sudah dilakukan masyarakat Betawi. Misalnya, pentas pertunjukan gambang rancag dan tradisi palang pintu.
Menurut dia, komunitas perpantunan Betawi saat ini masih banyak, bahkan orang tua merawat kuat tradisi pantun. Jika mereka diminta berpantun, mereka akan spontan langsung menyampaikan. Ketentuan berpantun tradisi masih dipahami dan digabungkan dengan konteks isu kekinian.
”Menyampaikannya secara spontan, tetapi rima tengah dan akhir amat diperhatikan. Jadi, kami yang menonton dan mendengarnya asyik. Hal seperti ini patut ditiru generasi muda,” katanya.
Yahya menceritakan, saat pantun diumumkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda, seluruh komunitas Betawi serumpun Jabodetabek segera berkumpul. Mereka membahas langkah-langkah agar pantun tetap lestari.
Sanggar-sanggar yang punya program pelestarian tradisi Palang Pintu akan dioptimalkan. Menurut dia, di antara pegiat tradisi palang pintu ditemukan penyampaian pantun yang masih berantakan. Ini akan diperbaiki terlebih dulu.
Terkait pelestarian melalui jalur dunia pendidikan, Yahya setuju bahwa saluran itu pintu masuk agar generasi muda ikut berpartisipasi. Meski demikian, dia memandang harus ada sinergi pengajar muatan lokal dan bahasa Indonesia dalam mengajarkan pantun.
”Tradisi pantun mempunyai ciri khas ketentuan penulisan naskah ataupun penyampaiannya. Ini juga harus diketahui dan disampaikan ke siswa,” imbuhnya.