Doktor Didorong Aktif Kembangkan Riset Inovasi Kolaboratif
Pemerintah berupaya mencari cara agar kuantitas dan kualitas doktor di Indonesia naik secara bersamaan.
JAKARTA, KOMPAS - Krisis doktor masih menjadi isu. Pemerintah berupaya memperbaiki baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Menurut data Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti), pada tahun 2017, jumlah doktor di seluruh Indonesia berjumlah 31.000 orang. Jika dibuat menjadi perbandingan doktor per satu juta penduduk, maka setiap satu juta penduduk memiliki 143 doktor.
Mengutip data pangkalan data pendidikan tinggi (PDDikti), jumlah dosen aktif berdasarkan jenjang pendidikan tinggi saat ini yaitu 2.313 orang berlatar diploma empat, 30.612 orang strata satu, 207.586 orang magister, 42.825 orang doktor, 3.093 orang pendidikan spesialis 1, 2.431 orang dari profesi, dan 5.844 orang tanpa jenjang.
Salah satu upaya yang ditempuh, kata Direktur Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Moh Sofwan Effendi adalah terus menjalankan program Pendidikan Magister Menuju Doktor Sarjana Unggulan (PMDSU). PMDSU yang dirintis sejak 2013 mengeksplorasi dan mendidik sarjana unggul untuk menempuh jenjang pendidikan magister dan doktor. Masa belajar di dua jenjang itu maksimal empat tahun. Selama mengikuti program, mahasiswa ditarget menghasilkan satu riset per tahun dan bisa dipublikasikan di jurnal bereputasi internasional terkemuka yang telah masuk Scopus.
Mahasiswa peserta program PMDSU dibimbing oleh promotor yang sudah berstatus guru besar. Hingga sekarang, PMDSU telah masuk angkatan kelima dengan total keseluruhan peserta 875 orang. Di antara mereka adalah penerima beasiswa Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidikmisi). Selain dosen, mereka menjadi peneliti, profesional bidang penelitian dan pengembangan di industri, dan wirausaha.
"Dari sisi kualitas, kami memang selalu mendorong agar para doktor dengan inovasinya bisa dipatenkan ataupun mendukung hilirisasi komersial,"kata Sofwan di sela-sela pameran daring hasil inovasi peserta PMDSU (Expo PMDSU), Jumat (18/12/2020), di Jakarta.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam mengatakan, kemajuan ekonomi setiap negara salah satunya ditentukan oleh kemampuannya melakukan inovasi. Sebuah negara tidak mempunyai banyak pilihan. Dia menyadari bahwa riset suatu inovasi memerlukan infrastruktur tidak murah, sehingga keterbatasan itu semestinya mendorong para doktor menyinergikan kampus, industri, dan lembaga penelitian.
Baca juga: Perguruan Tinggi, Riset dan Inovasi: Perlu “Sandbox” Industri
Expo PMDSU diarahkan agar sinergi itu tercipta. Pelaku industri dan lembaga penelitian nasional ataupun internasional yang berkunjung bisa membaca hasil studi peserta. Jika tertarik pengembangan lebih jauh, seperti hilirisasi, mereka dapat segera mengontak peserta program. Pemerintah bahkan telah memiliki penawaran insentif berupa super tax deduction kepada industri yang mau terlibat.
Menurut Nizam, agenda riset inovasi para doktor semestinya semakin berbasis kebutuhan, baik industri, masyarakat, maupun pemerintah daerah. Selain eksakta, dia yakin rumpun ilmu sosial humaniora memiliki banyak hal yang menarik dijadikan riset inovasi.
"Saat ini pun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) punya kebijakan perekrutan aparatur sipil negara harus berlatar doktor. Perguruan tinggi negeri berbadan hukum juga butuh lebih banyak doktor. Saya hanya mengingatkan agar terus mengakselerasi inovasi demi menggerakkan ekonomi sehingga negara semakin maju," kata dia.
Direktur Utama PT Tekad Mandiri Citra-produsen dan distributor obat hewan-Gowinda Sibit mengatakan, sejak resertifikasi dan skala usaha meningkat, perusahaan memutuskan menggandeng pusat penelitian yang ada di beberapa perguruan tinggi negeri untuk memudahkan riset dan pengembangan. Perusahaan yang dia pimpin pun mencari pakar, seperti profesional berlatar doktor, untuk membantu inovasi produk.
Hanya saja, dia memandang, hilirisasi inovasi tidak mudah. Pelaku industri seperti dirinya yang sudah menggandeng kampus dan merekrut doktor tetap butuh peran pemerintah. Misalnya, kemudahan importasi material riset.
Kampus Merdeka
Sementara itu, Rektor Universitas Padjajaran (Unpad) Rina Indiastuti menilai, kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka yang dicanangkan Kemendikbud sudah tepat menjawab dinamika zaman. Unpad akan mulai menerapkan Kampus Merdeka secara penuh mulai tahun 2021. Berbagai kolaborasi dengan mitra nasional dan internasional akan terus dilakukan. Salah satunya adalah memperkuat kemitraan dengan Inggris. Lima perguruan tinggi besar di Inggris telah bekerja sama dengan Unpad.
"Sejak mahasiswa menempuh jenjang pendidikan sarjana, kami berupaya membiasakan dan mengarahkan mereka terlibat dalam aneka proyek riset dan sosial," ujar dia saat pameran realisasi aksi sosial mahasiswa tingkat satu. Aksi sosial merupakan bagian dari mata kuliah "Olah Kreativitas dan Kewirausahaan". Mata kuliah ini diadopsi dari program Active Citizen milik British Council.
Sebanyak 6.000 mahasiswa tingkat satu dan lintas fakultas mengikuti mata kuliah "Olah Kreativitas dan Kewirausahaan". Mereka dibagi ke dalam kelompok, lalu membuat proyek aksi sosial yang berangkat dari masalah masyarakat. Misalnya, rendahnya literasi menyikapi infodemik dan pemakaian pupuk alami.
Sementara itu, Guru Besar Institut Teknologi Bandung Hendra Gunawan berpendapat, jumlah doktor di Indonesia yang masih rendah dipengaruhi dan mempengaruhi sejumlah faktor. Pendidikan tinggi di Indonesia masih cenderung menjadi further education bukan higher education. Sekitar 4.000 perguruan tinggi di Indonesia memiliki tingkat kualitas beragam. Pengembangan ilmu pengetahuan pun jadi tertinggal.
Baca juga: Pemerintah Rumuskan Syarat Menjadi Guru Besar dan Lektor Kepala
"Ujung tombak riset kan doktor. Rasio doktor per satu juta penduduk jauh dari kurang, belum bicara kualitas. Ini isu lama yang pemerintah (Ditjen Pendidikan Tinggi) sadari dan berupaya diatasi," kata dia.