”Mangan ora mangan kumpul”. Slogan Jawa ini praktis mati selama masa pandemi Covid-19. Kebiasaan masyarakat berkumpul, ngobrol ”ngalor-ngidul”, dan berkegiatan bersama terpaksa harus ditahan selama hampir sembilan bulan.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Dalam ekosistem budaya, pertemuan dan dialog adalah aktivitas vital, ”darah” kreativitas. Apalah artinya budaya tanpa adanya perjumpaan. Barangkali, ini adalah siksaan luar biasa bagi para pelaku budaya.
Sampai awal November 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mendata 59 ribuan pelaku budaya yang terdampak pandemi. Dari jumlah itu, 10 ribuan di antaranya telah menerima bantuan uang tunai Rp 1 juta melalui program Apresiasi Pelaku Budaya.
Dengan kondisi pandemi yang tidak jelas kapan berakhirnya, para pelaku budaya tentu saja tidak bisa terus-menerus berdiam diri dan menggantungkan nasib pada pemberian bantuan. Pada akhirnya, roda seni budaya tetap harus bergulir dengan pola dan tatanan baru.
Inisiator Artjog, Heri Pemad, misalnya, sejak 7 September hingga 10 Oktober 2020 lalu tetap menggelar pameran luring Artjog 2020. Artjog membuka tiga sesi kunjungan pada hari Senin-Kamis dan empat sesi pada hari Jumat-Minggu dengan durasi dua jam di setiap sesi. Jumlah pengunjung di setiap sesi juga dibatasi maksimal hanya 60 orang.
”Ketika membuat Artjog kemarin, saya takut juga didatangi banyak orang. Namun, saya membuktikan bahwa Artjog bisa diselenggarakan. Pengunjung didata dan ketika di dalam (ruang pameran) diatur flow-nya,” katanya.
Meski tak seramai pameran-pameran Artjog sebelumnya, Heri tetap mengajak para seniman dan pekerja seni agar tidak berhenti berkarya di tengah pandemi, tetapi harus terus membuat sesuatu asalkan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Tahun ini, Artjog mengangkat tema ”Resilience”. Meski pameran luring sudah ditutup pada 10 Oktober 2020, publik tetap bisa menikmati video pameran dan film Expanded Artjog secara daring. ”Pemaknaan Artjog tahun ini lebih kepada peristiwanya, bagaimana menggerakkan semangat dan motivasi para seniman dan ekosistem seni yang melingkupinya di tengah pandemi,” papar Heri.
Beralih ke daring
Pandemi juga bukan alasan untuk berhenti berkarya bagi para seniman di Ngawi, Jawa Timur. Pada Sabtu (31/10/2020) lalu, para seniman yang tergabung dalam Kraton Ngiyom beserta jaringannya tetap menggelar seni kejadian berdampak Upacara Kebo Ketan (UKK) V secara daring yang disiarkan langsung melalui Facebook Kraton Ngiyom. Tema UKK V tahun 2020 adalah ”Suburlah Tanahnya, Suburlah Jiwanya” yang merupakan penggalan syair lagu ”Indonesia Raya” stanza kedua karya WR Soepratman.
Satu hal menarik dari seni kejadian berdampak kali ini, karena pandemi Covid-19, Kraton Ngiyom sebagai penyelenggara memutuskan untuk tidak memakai dana pemerintah.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, UKK V tetap mengupayakan dampak kohesi sosial untuk difokuskan pada upaya pelestarian alam dan lingkungan hidup serta pelestarian budaya dan penguatan kesenian lokal. Satu hal menarik dari seni kejadian berdampak kali ini, karena pandemi Covid-19, Kraton Ngiyom sebagai penyelenggara memutuskan untuk tidak memakai dana pemerintah, baik Pemerintah Kabupaten Ngawi maupun pemerintah pusat, untuk menggelar UKK V.
”Kami benar-benar hanya bermodalkan kekayaan jiwa semata karena seni upacara pada hakikatnya adalah sebuah doa. Maka, makna dan jiwa upacara tidaklah ditentukan oleh gebyar materinya,” kata inisiator sekaligus anggota tim sutradara UKK V, Bramantyo Prijosusilo, yang mengomando seni kejadian berdampak ini dari Armidale, Negara Bagian New South Wales, Australia.
Pandemi juga mengubah total format kegiatan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) yang tahun 2019 lalu dikunjungi sekitar 250.000 orang. Tahun ini, semua program dalam PKN 2020 diselenggarakan dalam format daring.
Meski digelar secara daring, PKN 2020 mampu melibatkan 4.791 seniman serta pekerja seni dengan 27 tema konferensi di dalamnya, 93 pergelaran, dan 1.477 karya seni visual yang dipamerkan. PKN 2020 mengusung tema utama besar ”Ruang Bersama Indonesia Bahagia” dengan narasi yang menekankan pada penguatan tubuh dalam perspektif kebudayaan (culture resilience).
”Tema yang diangkat tersebut memang berangkat dari kondisi pandemi yang membawa tantangan sekaligus refleksi. Maka, bertemulah kita dengan khazanah kekayaan budaya Nusantara. Protokol-protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah dan WHO memiliki banyak kaitan dengan akar tradisi di Nusantara. Tradisi mencuci tangan, tolak bala, mengisolasi diri, bersih desa, semua mengajarkan tentang relasi manusia dengan alam dan pengaruhnya kemudian pada kesehatan dan kekuatan tubuh manusia dan lingkungan sosialnya,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid.
Secara prinsip, segala aktivitas seni budaya memang bisa dialihkan dari format luring ke daring. Namun, bagi sebagian pelaku budaya, pameran seni rupa tetap membutuhkan bentuk fisik karya.
”Pameran seni rupa bukan sekadar pameran yang bisa dipindahkan begitu saja ke platform virtual. Pameran seni rupa membutuhkan emosi penikmat saat mengapresiasi karya. Pamerannya tetap fisik (luring), hanya didokumentasikan secara daring,” kata Heri Pemad.
Maka, hilangnya aktivitas meraba, mencium, juga mengecap (kalau ada) setelah -beralihnya aktivitas seni budaya dari luring ke daring merupakan kehilangan besar dalam proses perhelatan kebudayaan. Namun, mau tidak mau inilah tatanan baru yang mesti dilalui di tengah situasi krisis pandemi.
Aktivitas kebudayaan pada prinsipnya bisa digelar dalam dua format sekaligus, baik luring maupun daring. Namun, penerapan protokol kesehatan ketat wajib dijalankan, seperti yang sudah diterapkan di Artjog. Nikmat tidak nikmat, inilah era budaya tanpa raba.