Pendekatan Kebudayaan, Kunci Pendampingan Masyarakat Pemilik Naskah Kuno
Upaya pelestarian dan pemajuan kebudayaan terhadap naskah-naskah kuno di Tanah Air mesti dilakukan dengan pendekatan kebudayaan, terutama kepada masyarakat pemilik atau pewaris naskah kuno.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mendampingi masyarakat merawat manuskrip nusantara bukan hal mudah. Tantangannya adalah, upaya pemajuan kebudayaan dari peninggalan-peninggalan manuskrip mesti berakar dari kearifan lokal.
Sekretaris Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Pramono mengatakan telah 20 tahun menelusuri manuskrip di Sumatera Barat, kecuali wilayah Kepulauan Mentawai. Selama kurun waktu itu, dia menemukan bahwa persebaran naskah kuno bukan semata-mata di Pariaman, seperti orientasi kebanyakan peneliti selama ini. Wilayah Kabupaten Sijunjung adalah tempat terbesar manuskrip Minangkabau.
"Masing-masing wilayah di Sumatera Barat mempunyai karakter berbeda. Kami selalu datang menelusuri dengan prinsip membantu menyelamatkan manuskrip, bukan memberikan fasilitas. Pendekatan kultural bisa memakan waktu cepat dan lama," ujar dia saat menjadi pembicara Webinar Series on Indonesian Digitised Manuscripts, Rabu (16/12/2020), di Jakarta. Webinar ini diselenggarakan bagian dari program Digital Repository of Endangered Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA) dan Manassa.
Waktu paling cepat masyarakat mengizinkan komunitas budaya untuk mendigitalkan manuskrip bisa hitungan hari. Akan tetapi, dia juga pernah mengalami masyarakat atau individu pemilik naskah kuno baru mengizinkan digitalisasi setelah enam tahun pendekatan. Ini terjadi pada manuskrip yang tersimpan di salah satu surau di Sumani, Solok, Sumatera Barat. Padahal, semakin lama alih media baru dilakukan, semakin tinggi potensi kerusakan.
Dia pernah pula menjumpai pemilik manuskrip yang bersikap terbuka untuk digitalisasi seluas-luasnya dan masih mau membaca isi naskah. Ini terjadi di Surau Simaung.
Moto kami adalah kalau bisa segera digitalisasi sekarang mengapa harus menunggu hari esok. Kami pernah digitalisasi sampai larut malam. Sebab, pemilik naskah kuno kadang suka berubah-ubah sikap.(Pramono)
"Moto kami adalah kalau bisa segera digitalisasi sekarang mengapa harus menunggu hari esok. Kami pernah digitalisasi sampai larut malam. Sebab, pemilik naskah kuno kadang suka berubah-ubah sikap," kata Pramono.
Menurut dia, digitalisasi manuskrip baru menyelamatkan isi. Bahan atau alas naskah tetap berpotensi rusak jika tidak dirawat.
Setelah alih media, substansi naskah kuno dapat dipakai sebagai bahan literasi ataupun kegiatan kreatif lainnya sehingga mendukung pemajuan kebudayaan. Hal seperti itu juga perlu disampaikan kepada masyarakat dan pemerintah daerah setempat.
Pegiat Mocoan Lontar Yusuf Milenial, Banyuwangi, Wiwin Indiarti, menceritakan, manuskrip di Banyuwangi umumnya terdiri dari naskah pra Islam, babad lokal, naskah Islam dan pesantren yang ditulis oleh kiai lokal, serta naskah komunitas etnik. Apabila masyarakat menyebut "lontar di Banyuwangi", ini merujuk kepada manuskrip bukan bahan.
Kebanyakan pemilik manuskrip adalah warga yang sehari-hari bermata pencaharian sebagai petani. Untuk proses pelestarian, Wiwin biasanya mulai dengan pendekatan personal. Apabila pemiliknya adalah petani perempuan, Wiwin biasanya suka berkunjung sambil membawa gula.
"Petani tulen punya keinginan tidak ambisius. Ketika naskah kuno bersedia didigitalkan, mereka bilang ke saya bahwa manuskrip itu dipinjamkan. Mereka tahunya saya yang akan bertanggung jawab," kata dia.
Wiwin menceritakan, hingga sekarang, masyarakat masih percaya bahwa manuskrip berperan sebagai pusaka, harta waris, sarana ritual, dan media seni tradisional. Ketika dirinya dan tim akan mendigitalkan, kegiatan upacara tradisi diikuti.
Dia menambahkan, perpustakaan daerah di Banyuwangi mau terlibat yang dibuktikan dengan adanya alokasi anggaran untuk akuisisi manuskrip dan transliterasi.
Lentur
Pimpinan Sanggar Aksara Jawa Cikedung, Indramayu, Jawa Barat, Ki Tarka Sutarahardja, menceritakan, berdasarkan pengalamannya berkecimpung di dunia manuskrip sejak 1995, kunci kesuksesan pendekatan dengan masyarakat pemilik naskah adalah bersikap lentur.
Dia pernah berhadapan dengan warga pemilik manuskrip di Desa Drunten. Warga lainnya menyebutnya sebagai "orang pintar". Sebelum diserahkan dilestarikan, Tarka mengamati langsung pemiliknya kesurupan. Tarka diminta masyarakat sekitar menghormati.
"Banyak pemilik naskah kuno di Indramayu menganggap mistik, tetapi mereka tidak tahu isinya," ujar Tarka.
Lebih dari 200 dari 2.000 manuskrip yang terdata mempunyai kondisi memprihatinkan. Selain meyakinkan warga pemilik naskah kuno, dia mengaku sampai mendekati pemerintah daerah, seperti dinas kebudayaan dan pariwisata dan perpustakaan umum daerah.
"Setelah alih media dilakukan, kami bersama masyarakat setempat dan pemerintah daerah sekarang saling berbagi informasi temuan manuskrip. Kami pun berbagi wawasan isi manuskrip di media sosial agar masyarakat generasi muda tertarik ikut memajukan budaya," imbuh Tarka.