Kekerasan berbasis jender daring yang mengintai perempuan dan anak-anak tidak bisa dibiarkan. Karena itu, sikap berhati-hati dan waspada perlu terus disampaikan kepada masyarakat agar tidak terjerat menjadi korban.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Media sosial memberikan kemudahan bagi siapa pun untuk berkomunikasi dengan siapa pun. Tanpa batas. Tidak kenal jarak, waktu, dan tempat. Namun, jika tidak berhati-hati dan waspada, kemudahan berkomunikasi tersebut bisa menjadi jerat dan jebakan, bahkan berujung menjadi ”teror” baru, terutama bagi perempuan, anak perempuan dan laki-laki.
Sebagian besar korban, bahkan, tidak menyadari jika dia menjadi korban kekerasan berbasis jender daring, yang di kalangan organisasi masyarakat sipil dikenal dengan sebutan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Padahal, tindak kekerasan yang menggunakan teknologi digital di dunia maya yang berhubungan dengan ketubuhan perempuan—yang dianggap sebagai obyek seksual—bisa berdampak panjang dalam kehidupan pribadi korban.
Selain dapat berakibat pada penderitaan fisik, psikis, dan ekonomi, kekerasan berbasis jender daring juga memengaruhi kehidupan sosial. Sebagian besar korban berada pada tekanan psikologis yang berat karena merasa dipermalukan, bahkan direndahkan harga dirinya melalui dunia maya.
Pertemanan yang kemudian berlanjut menjadi hubungan dekat, bahkan berpacaran, baik secara daring maupu berlanjut di luar jaringan (pertemuan fisik), bisa menjadi petaka baru bagi perempuan korban. Bagi korban usia anak-anak (remaja), dampak kekerasan berbasis jender daring ini bisa lebih luas. Tidak hanya dieksploitasi seksual (diperbudak oleh pelaku), tetapi juga dieskploitasi secara ekonomi, bahkan bisa masuk dalam lingkaran perdagangan orang.
Kekerasan berbasis jender daring sebenarnya bukan hal yang baru. Semenjak media sosial hadir, kejahatan ini sudah mulai membayangi perempuan. Dalam beberapa kasus, awalnya korban dan pelaku saling mengenal, berpacaran, bahkan suami-istri. Kekerasan berbasis jender daring terjadi ketika hubungan berakhir atau bercerai.
Dalam berpacaran, misalnya. komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi, mencontohkan, pola yang digunakan hampir sama, yakni kekerasan oleh mantan pacar. Misalnya korban diancam oleh pelaku dengan menyebarkan foto atau video korban yang bernuansa seksual di media sosial ketika korban menolak berhubungan seksual dengan pelaku, atau ketika korban mau lagi berhubungan dengan pelaku/memutuskan hubungan pacaran.
KDRT berlanjut
Di lain pihak, kekerasan berbasis jender daring juga mengikat perempuan korban mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berlanjut. Misalnya, ada seorang perempuan/istri, korban KDRT ketika mengajukan permohon cerai, suaminya mengirimkan foto-foto privasi dirinya kepada beberapa rekan kerjanya. Akhirya, demi meredam tindakan suami, sang istri terpaksa mencabut gugatan dan kembali lagi ke rumah.
Kasus yang lain, ketika seorang istri mengajukan permohonan pembatalan pernikahan, setelah mengetahui suaminya menikah dengan perempuan lain, suaminya membuat akun media sosial (Facebook dan Instagram) palsu dengan nama dan foto-foto istri. Suaminya kemudian mengancam, video seks mereka berdua juga akan disebar di akun-akun ini. Karena ketakutan, permohonan pembatalan pernikahan ini pun dicabut.
Pada masa pandemi Covid-19, situasi kekerasan berbasis jender daring semakin marak. Ini terbukti dengan meningkatnya pengaduan ke Komnas Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, dan lembaga layanan perempuan korban kekerasan lainnya. LBH APIK Jakarta, selama periode Maret-November 2020, menerima sebanyak 196 pengaduan, dan Komnas Perempuan sebanyak 659 kasus. Sebelumnya, jumlah pengaduan di bawah jumlah tersebut.
Kendati kasus kekerasan berbasis jender daring, penanganan kasus tersebut tidaklah mudah. Sejumlah kasus diproses lanjut secara hukum karena terbatasnya bukti, apalagi ada korban yang sama sekali tidak mengetahui identitas asli pelaku karena akunnya palsu.
’Menurut aparat penegak hukum, biaya untuk memperoleh alat bukti dan proses kasus lainnya mahal karena tidak semua kepolisian sektor dan kepolisian resor memiliki teknologinya,” ujar Direktur LBH APIK Jakarta Siti Mazumah.
Di sisi lain, tidak banyak korban yang berani bicara, mengadu/melaporkan kasusnya karena takut foto/video yang memuat dirinya banyak yang melihat/mengakses sehingga membuat dirinya terkena stigma negatif. Bahkan, ada korban tidak berani mengadukan kasusnya karena takut keluarganya tahu dan dia akan dikucilkan.
Padahal, menurut psikolog dari Yayasan Pulih, Danika Nurkalista, berbagai reaksi emosional yang muncul, seperti bingung, marah, dan takut, adalah wajar. Namun, meskipun terasa sulit, korban bisa mencari pihak yang bisa mendengarkan dia, seperti lembaga-lembaga penyedia layanan korban kekerasan yang bisa diakses secara daring.
Akan tetapi, yang paling penting, melihat maraknya KBGO, marilah kita bermedia sosial dengan hati-hati. Jangan mudah percaya dengan orang yang belum dikenal.