Pandemi Memaksa Anak Beradaptasi Cepat
Lebih dari sembilan bulan pandemi Covid-19 berlangsung, keadaan ini mengubah kehidupan masyarakat. Anak-anak ikut terdampak dari krisis. Kesehatan dan pendidikan menjadi taruhan, terutama anak-anak dari keluarga rentan.
Pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari sembilan bulan sangat memengaruhi, bahkan mengubah situasi dan kondisi anak-anak di Tanah Air, termasuk situasi tumbuh kembang anak. Tak hanya orang dewas, krisis pandemi memaksa anak-anak untuk beradaptasi secepat mungkin.
Perubahan yang cepat, dalam kondisi ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir, membuat sejumlah anak-anak berada dalam kondisi rentan atas berbagai risiko, baik dari sisi perkembangan mental maupun aspek tumbuh kembang lainnya.
Bahkan, dari Catatan Akhir Tahun Situasi Hak Anak Indonesia 2020, yang diluncurkan Save the Children Indonesia pada Selasa (15/12/2020), diungkapkan selama masa pandemi, beberapa layanan untuk anak terganggu. Yang paling terlihat adalah layanan kesehatan dan pendidikan serta perlindungan anak yang mengalami persoalan atau terganggu.
Layanan posyandu dan puskesmas ditutup sementara dan dibatasi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Layanan imunisasi dan monitoring tumbuh kembang anak juga tertunda sehingga harus diantisipasi risiko pandemi ketika anak tidak mendapatkan imunisasi dasar.
”Layanan posyandu dan puskesmas ditutup sementara dan dibatasi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Layanan imunisasi dan monitoring tumbuh kembang anak juga tertunda sehingga harus diantisipasi risiko pandemi ketika anak tidak mendapatkan imunisasi dasar,” ujar Tata Sudrajat, Deputy Chief Program Impact and Polucy Save the Children Indonesia.
Di sisi lain, layanan pendidikan terganggu, menyusul sekolah ditutup, anak-anak tidak dapat bersekolah. Orangtua dan anak menjalani kebiasan baru belajar dari rumah, dengan risiko muncul kekerasan pada anak dan juga anak terpapar pada konten negatif. Sebagian anak tidak dapat mengakses internet.
Baca juga: Anak-anak Kecanduan Internet pada Masa Pandemi Covid-19
Selain itu, angka kekerasan pada anak meningkat, termasuk yang terjadi di rumah. Survei Save the Children menemukan, sebanyak satu dari lima (23 persen) orangtua melakukan pengasuhan negatif (kurang tenang/sabar, sering berteriak, lebih agresif, dan memberikan hukuman fisik). Kondisi ini terjadi khususnya orangtua yang anaknya berusia di atas 10 tahun.
Tak hanya itu, sebanyak 16 persen orangtua/anak mengakui telah terjadi kekerasan. Sebanyak 1 dari 4 (25 persen) terlaporkan ada kekerasan pada keluarga dengan pengurangan pendapatan, dan naik menjadi 40 persen pada keluarga yang kehilangan pendapatan. Beberapa anak dibebani tugas rumah. Ketika sekolah terganggu, anak-anak rentan dieksploitasi menjadi pekerja, bahkan menjadi korban perkawinan anak.
Tujuh risiko
Secara umum, Save the Children Indonesia memetakan tujuh risiko utama yang dihadapi anak-anak di Indonesia semenjak pandemi berlangsung Februari 2020 lalu. Ketujuh risiko tersebut adalah anak yang kehilangan orangtua karena Covid-19; anak yang orangtuanya kehilangan mata pencarian/pendapatan; sulit mengakses layanan pendidikan yang berkualitas, anak yang rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi; anak yang sulit mengakses layanan kesehatan dasar dan gizi, anak yang tinggal di kawasan bencana dan rawan bencana; serta terbatasnya dukungan bagi anak dengan disabilitas.
”Ketujuh risiko yang dihadapi oleh anak-anak tersebut telah membuat upaya pemenuhan hak-hak anak sepanjang tahun 2020 dipenuhi oleh tantangan. Sejumlah pihak dari pemerintah hingga masyarakat melakukan berbagai upaya untuk membantu anak-anak,” ujar Fandi Yusuf, Organisational Communication Manager Save the Children Indonesia.
Risiko-risiko tersebut ditemukan Save the Children dari laporan global mengenai dampak tersembunyi Covid-19 pada anak serta sejumlah kajian selama pandemi.
Dari sisi kesehatan dan nutrisi, Save the Children menemukan kondisi umum sejumlah kondisi melanda anak-anak di beberapa wilayah dalam keadaan memprihatinkan. Misalnya, asupan gizi anak terganggu (4 persen anak makan lebih sedikit dari sebelum pandemi, lebih dari 50 persen orangtua mengurangi jenis/variasi makanan anak). Bahkan, sepertiga (36 persen) rumah tangga mengatakan bahwa bahan pangan selama pandemi terlalu mahal.
Baca juga: Cegah Gangguan Psikososial Anak di Masa Pandemi
Akses keluarga terhadap layanan kesehatan sangat terganggu. Sebanyak tiga dari delapan orangtua tidak dapat mengakses pengobatan. Bahkan, secara global, 76 persen orangtua dengan disabilitas lebih sulit mendapatkan bahan pangan yang beragam daripada yang lain.
Dari kajian-kajian dan survei yang dilakukan, ditemukan untuk menghadapi kondisi kesulitan ekonomi pada masa pandemi Covid-19, sejumlah keluarga memilih makanan yang lebih murah/tidak disukai (76 persen). Bahkan, di atas 50 persen orangtua mengurangi variasi makanan anak atau orangtua makan dengan porsi lebih sedikit dan mengurangi frekuensi makan.
Perlebar kesenjangan pendidikan
Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia sejak Maret 2020 yang mengakibatkan lebih dari 646,000 sekolah tutup membuat lebih dari 60 juta anak di Indonesia harus belajar di rumah.
Tidak hanya anak yang dipaksa beradaptasi, guru dan orangtua pun harus cepat dan mau tiak mau harus menyesuaikan dengan aktivitas pendidikan ke pembelajaran jarak jauh (PJJ), baik secara daring maupun luar jaringan (luring).
Penutupan sekolah yang berlangsung sekitar sembilan bulan hingga akhir tahun 2020 ini dikhawatirkan semakin memperlebar jurang kesenjangan. Terbatasnya akses hingga berkurangnya efektivitas pembelajaran berdampak besar bagi pendidikan, terutama anak-anak dari kelompok termarjinalkan.
Data dari Studi Global Save The Children pada Juli 2020 menemukan 8 dari 10 (80 persen) anak tetap merasa kesulitan untuk mendapatkan bahan belajar yang memadai dan 20 persen orangtua kesulitan untuk menyediakan bahan belajar bagi anaknya sehingga lima kali lebih tidak mampu membantu anaknya belajar. Tak hanya itu, sebanyak tujuh dari sepulih orangtua dan 73 persen anak mengatakan bahwa anak belajar jauh lebih sedikit pada saat ini dibandingkan dengan sebelum masa pandemi. Bahkan, sebanyak 1 persen (dari 60 juta pelajar) di Indonesia merasa mereka tidak belajar apa pun.
”Semakin lama anak tidak bersekolah, semakin kecil harapan anak dan orangtua untuk kembali ke sekolah. Semua kondisi di atas dirasakan lebih buruk terjadi pada anak dengan disabilitas, juga anak dengan orangtua (khususnya ibu) dengan disabilitas,” papar Fandi.
Baca juga: Pandemi Mengikis Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Kualitas hasil belajar anak-anak di Tanah Air pun menjadi taruhan meskipun pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri memperbolehkan sekolah untuk buka kembali pada Semester Genap (mulai Januari 2021). Keputusan terakhir anak boleh bersekolah atau tidak memang tetap berada di tangan orangtua.
”Kami merekomendasikan kampanye tetap belajar di rumah dan kembali ke sekolah saat aman secara partisipatif dan inklusif, termasuk aktivasi PAUD dan pendidikan infomal bagi anak terpinggirkan, agar semua anak berkesempatan bersekolah,” ujar Tata.
Akan tetapi, melihat kondisi Indonesia sendiri belum melewati masa puncak pandemi tahap 1, serta beberapa sekolah yang telah melakukan uji coba pembukaan malah menjadi kluster baru penularan Covid-19 patut menjadi perhatian semua pihak.
Tantangan nyata
Pandemi memang mengubah situasi anak. Kendati demikian, berdasarkan Konvensi Hak Anak, negara harus memastikan hak anak-anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang optimal, baik dalam segala situasi, baik itu kondisi normal maupun bencana. Itu karena, masa depan kita tergantung dari bagaimana kita memastikan hal ini.
Baca juga:Perlindungan bagi Anak yang Rentan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengakui, masa pandemi Covid-19 merupakan salah satu tantangan nyata yang saat ini. Bencana non-alam tersebut memberikan dampak masif bagi berbagai aspek kehidupan, terutama anak-anak.
”Kita tidak bisa memungkiri, saat ini rutinitas kehidupan sehari anak-anak pun menjadi berubah. Kondisi ini memberikan tantangan baru, seperti ancaman stres pada anak, pendidikan yang kurang efektif, bahkan isu kekerasan kepada anak,” kata Bintang.
Oleh karena itu, Bintang menegaskan, kualitas pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak tidak dapat dikesampingkan dalam kondisi apa pun. Pembangunan inklusif yang mengedepankan hak-hak anak harus tetap menjadi prioritas utama.