Akreditasi Sekolah Tak Sebatas Menilai Administrasi
Proses akreditasi satuan pendidikan diharapkan bukan sebatas pemenuhan administrasi semata.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Instrumen akreditasi satuan pendidikan mulai menitikberatkan penilaian mutu lulusan, proses pembelajaran, guru, dan manajemen sekolah/madrasah. Hal ini menandai pergeseran paradigma akreditasi dari sebatas menilai administrasi menjadi berbasis kinerja.
Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) Toni Toharudin, Rabu (16/12/2020), di Jakarta, menyampaikan, perubahan tersebut untuk menjawab kritik terhadap instrumen akreditasi sebelumnya yang dinilai terlalu menekankan sisi tata usaha. Sementara kondisi sebenarnya sekolah ataupun madrasah tidak tergambar, misalnya, peringkat akreditasi cenderung naik tetapi capaian skor Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) turun.
Instrumen akreditasi satuan pendidikan (IASP) yang menitikberatkan komponen penilaian mutu lulusan, proses pembelajaran, guru, dan manajemen dicetuskan pada 2020. Secara legal, kata dia, IASP itu tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1005/P/2020 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi Pendidikan Dasar dan Menengah.
Prinsip sistem akreditasi terbaru itu mencakup beberapa hal. Misalnya, setelah berstatus terakreditasi, satuan pendidikan wajib melapor indikator-indikator kinerja setiap tahun ke dashboard Sistem Informasi Satuan Terakreditasi. Lalu, proses pemantauan dilakukan secara otomatis atau machine generated dan tidak melibatkan asesor guna mencegah konflik kepentingan.
Status akreditasi dapat diperpanjang secara otomatis tanpa melalui visitasi ulang, jika data yang ada di dashboard Sistem Informasi Satuan Terakreditasi tidak menunjukkan penurunan. Akreditasi ulang bisa dilakukan paling cepat dua tahun setelah terbitnya sertifikat akreditasi.
”Dashboard pemantauan tergantung integrasi data sekunder dari Kemendikbud dan Kementerian Agama. Data sekunder yang kami maksud yaitu data pokok pendidikan (dapodik), data pokok pendidikan Islam (EMIS), survei karakter, survei lingkungan belajar, dan asesmen nasional,” ujar Toni.
Menurut dia, tahun 2020 masih menjadi masa transisi penerapan IASP-2020 BAN-S/M. Pihaknya menggunakan masa transisi untuk uji coba IASP-2020 kepada 5.018 sekolah/madrasah, yang terdiri dari 4.017 sekolah/madrasah dan 201 satuan pendidikan kerja sama (SPK).
Dari sisi pemenuhan komponen IASP-2020, Toni lantas menggambarkan jenjang sekolah dasar (SD). Tingkat pemenuhan komponen tertingginya secara berturut-turut adalah mutu proses pembelajaran (85,34 persen), manajemen sekolah (84,26 persen), lulusan (81,58 persen), dan guru (79,72 persen).
”Dari semua jenjang yang kami teliti, rata-rata mutu guru butuh diperbaiki. Kalau ditanya perbandingan hasil akreditasi memakai sistem terbaru dan lama, hasil uji coba menunjukkan 59,29 persen sekolah/madrasah tidak mengalami perubahan peringkat, 12,98 persen naik peringkat, dan 27,73 persen turun peringkat,” katanya.
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) periode 2019-2023, Doni Koesoema, berpendapat sikap sekolah/madrasah harus punya integritas. Kalau pencarian data dan dokumen dikondisikan, perubahan satuan pendidikan yang terakreditasi tidak akan terjadi.
Akreditasi perlu dipahami sekolah/madrasah sebagai penilaian formatif, bukan sumatif. Realitas di lapangan selama bertahun-tahun menunjukkan satuan pendidikan cenderung menganggap ”selesai” setelah tim asesor datang menilai dan hasil peringkat akreditasi keluar. Mengubah paradigma ini jadi tantangan. (Doni Koesoema)
”Akreditasi perlu dipahami sekolah/madrasah sebagai penilaian formatif, bukan sumatif. Realitas di lapangan selama bertahun-tahun menunjukkan satuan pendidikan cenderung menganggap ’selesai’ setelah tim asesor datang menilai dan hasil peringkat akreditasi keluar. Mengubah paradigma ini jadi tantangan,” ujarnya.
Dia mendukung perubahan yang dilakukan BAN-S/M bahwa akreditasi berfokus pada kualitas hasil, bukan kesesuaian administrasi. Meski demikian, dia mengaku ada pembobotan penilaian komponen di IASP terbaru yang masih kurang pas.
”Bagi asesornya, kebijakan baru bisa jadi tantangan. Mereka dulunya mungkin hanya checklits, lalu tahun depan harus wawancara, angket, observasi lapangan, dan analisis dokumen. Kalau asesornya tidak terampil, akreditasi bisa tidak sesuai kondisi dan fakta di satuan pendidikan,” ujarnya.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Iwan Syahril mengatakan, hal terpenting adalah sistem akreditasi sekolah dapat mendukung visi merdeka belajar, terciptanya profil pelajar Pancasila, dan guru penggerak.
”Merdeka belajar bertujuan menghasilkan pendidikan berkualitas dari sisi proses sampai distribusi belajar merata. Pendekatan belajar fokus kepada anak. Pelajar Pancasila yang kritis, bernalar, dan kreatif mendukung target sumber daya manusia unggul 2045,” ujarnya.
Education Advisor INOVASI, Yaya Kardiawan, berpendapat, ketika berbicara mengenai kinerja manajemen sekolah, ada standar pendidikan nasional yang bukan menjadi beban sekolah. Misalnya, guru belum bersertifikat profesi bukan tanggung jawab kepala sekolah.
”Pergeseran paradigma akreditasi yang dilakukan sekarang berujung pada perbaikan mutu lulusan. Harus diingat bahwa banyak faktor memengaruhi mutu lulusan, begitu pula dengan ukuran mutu beragam,” ujarnya.