Berapakah dana atau uang yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk menangkal wabah yang berkecamuk? Pada awal pandemi diberitakan bahwa pemerintah telah menggelontorkan anggaran untuk mengatasi Covid-19 melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp 405 triliun lebih (Kompas.com, 31/3/2020). Selain dinyatakan dengan angka, isyarat tentang seberapa besar jumlah dana itu diperkuat kata menggelontorkan. Tak masalah jika kata itu tergolong kasar (lihat KBBI) karena sangat efektif untuk membahasakan hal-hal penting, dan mungkin rumit, bagi khalayak luas.
Mulanya verba gelontor biasa dipakai untuk memerikan aliran air dalam volume besar hingga apa saja di sekitarnya bisa hanyut. Bendung Katulampa di Bogor, contohnya, kerap disebut menggelontorkan air bah kala hujan deras mengguyur. Jadi, aliran dana/uang dalam jumlah besar, seturut perian dan contoh tersebut, dibayangkan bagai luapan banjir. Gambaran uang sebagai benda cair juga terlihat dalam ungkapan ”dana sudah cair” ketika duit dalam jumlah tertentu dikeluarkan dari bank, brankas, atau bendahara—misal dana-dana proyek pembangunan, penelitian, dan beasiswa.
Diimajin asikan sebagai air (minum, mandi, dan sebagainya), uang berlebih memberi efek bugar, seperti terbaca dalam idiom ”dana segar”. Apabila dibubuhi kata suntik atau turunannya, percayalah, uang itu menyehatkan—ingat ungkapan ”suntikan dana segar” yang bisa berarti tambahan modal, bantuan likuiditas, atau penyelamatan usaha ekonomi dari kebangkrutan. Metafora uang dan air juga tersua dalam paribasan Jawa adus duit ”mandi uang”, dan keceh duit atawa main basah-basahan dengan uang. Peribahasa itu menandai kesejahteraan materiil berkah kepemilikan uang yang sangat melimpah.
Kata kucur dan turunannya juga lazim difungsikan sebagai cara penyaluran uang. Rasa bahasa menafsirkan bahwa dalam frase ”dana yang dikucurkan” tersirat nominal lebih kecil ketimbang yang digelontorkan, tetapi kontinu dalam jangka waktu tertentu. Ibarat air yang dialirkan dari ketinggian melalui pipa pancuran. Dana operasional pendidikan, umpamanya, biasa dikatakan ”telah dikucurkan” ke sekolah-sekolah saban tahun. Tamsil duit yang terus datang mengucur mirip paribasan Jawa mbanyu mili, seperti ungkapan ”rejekine mbanyu mili”, yang berarti keuntungan finasial yang terus mengalir ke pundi-pundi.
Jika uang yang tersalur bernilai kecil, lazim dikatakan ”menetes” atau netes dalam ragam lisan. Pedagang kecil di pasar tradisional biasa mengiaskan ikhtiarnya cuma menanti ”rezeki netes”—untuk mengatakan pendapatan yang tak seberapa. Menarik, verba menetes mendapat legitimasi akademik, terbaca sebagai konsep trickle-down effect dalam disiplin ekonomi pembangunan (Paul Streeten, The Frontiers of Development Studies, 1972). Namun, konsep itu dikritik jadi ironi ketika gagasan besarnya tentang kemakmuran yang bakal terwujud dari hasil pembangunan ternyata berupa tirisan tipis yang merembes di dapur rakyat ramai.
Suatu kali, tanpa sengaja, saya nguping obrolan ibu-ibu kompleks perumahan yang lagi belanja sayuran keliling. ”Kok, uang seperti air saja, ya,” ujar seorang ibu lirih. Tidak sedang merujuk ”dana segar,” ibu-ibu itu bermetafora bahwa biaya kebutuhan sehari-hari mengalir keluar dari dompet begitu deras lantaran harga-harga nan mahal.
KASIJANTO SASTRODINOMO
Alumnus FIB Universitas Indonesia