Menakar Komitmen Pendidikan 12 Tahun
Dokumen Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, angka partisipasi kasar sekolah di semua jenjang harus meningkat. Narasi wajib belajar 12 tahun pun ikut tersirat.
Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang terpelajar, luhur, adaptif, dan kolaboratif. Kebutuhan ini diperlukan guna mencapai visi Indonesia 2045 yang berdaulat, maju, adil, dan makmur.
Dalam dokumen Peta Jalan Sistem Pendidikan 2020-2035 yang disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) disebutkan, salah satu input yang harus terpenuhi lebih dulu ialah tenaga kerja Indonesia berpendidikan formal minimal 12 tahun.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam dokumen itu, mematok angka partisipasi kasar (APK) sekolah semua jenjang agar meningkat terlebih dulu. Untuk jenjang prasekolah, APK 2019 sebesar 39 persen harus naik lebih dari 85 persen pada 2035. APK jenjang SD sampai SMA ditargetkan 100 persen pada 2035.
Pada 2019 hanya jenjang SMA memiliki APK di bawah 100 persen, yaitu 93 persen. Adapun APK perguruan tinggi naik dari 30 persen pada 2019 menjadi 50 persen pada 2035.
Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru Satriwan Salim, Jumat (11/12/2020), di Jakarta, berpendapat, ambisi itu, terutama input pendidikan formal, harus tuntas minimal 12 tahun bukan hal baru. Pada 2012, rencana wajib belajar 12 tahun pernah dikumandangkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Baaca juga: Anggaran Pendidikan Perlu Mempertimbangkan Mitigasi Risiko
Sayangnya, saat itu, ikhtiar mewujudkannya dinilai belum diikuti dengan regulasi terarah. Bahkan, semangat Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yakni rezim wajib belajar sembilan tahun.
Menurut data Badan Pusat Statistik, rata-rata lama sekolah naik tak signifikan. Pada 2014, rata-rata lama sekolah 7,73 tahun, lalu 2015 naik menjadi 7,84 tahun, 2016 sebesar 7,95 tahun, 2017 jadi 8,10 tahun, dan 2018 menjadi 8,17 tahun. Artinya, anak sekolah baru sampai jenjang kelas satu-dua SMP.
Politik anggaran
”Membaca target wajib belajar 12 tahun tidak bisa parsial. Banyak faktor saling berkelindan dan kementerian/lembaga harus terlibat. Selain regulasi, hal utama yang harus dipersiapkan pemerintah ialah politik anggaran,” ujar Satriwan.
Politik anggaran mendukung komponen fasilitas belajar 12 tahun bisa tercapai. Dia lantas menggambarkan dari alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dana pendidikan yang cenderung meningkat tiap tahun.
Baca juga: Tak Semua Pemda Sanggup Alokasikan Anggaran Pendidikan 20 Persen
Rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berusaha mewujudkan pendidikan gratis sembilan tahun melalui pemberian biaya operasional sekolah yang kini bernama bantuan operasional sekolah (BOS) untuk siswa SD dan SMP negeri.
Membaca target wajib belajar 12 tahun tidak bisa parsial. Banyak faktor saling berkelindan dan kementerian/lembaga harus terlibat. Selain regulasi.
Kemudian, sejumlah pemerintah daerah mempunyai kebijakan ikut menggratiskan biaya pendidikan sampai jenjang SMA/SMK. Di DKI Jakarta, misalnya, mulai menggratiskan biaya pendidikan (SPP) SMA/SMK negeri pada tahun ajaran 2012/2013. Upaya ini diikuti Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
”Komponen biaya bersekolah bukan hanya SPP, melainkan ada biaya infrastruktur fisik gedung sampai peralatan layanan belajar-mengajar. Belum lagi, ada biaya pembangunan akses ke infrastruktur dasar menuju ke sekolah,” tuturnya.
Mengutip laman npd.kemdikbud.go.id, Satriwan menyebutkan sudah ada daerah-daerah mempunyai anggaran pendidikan, di luar transfer daerah, telah mencapai 20 persen atau lebih dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Daerah yang dimaksud meliputi Nusa Tenggara Timur, Kota Tangerang, Kota Yogyakarta, Kabupaten Pandeglang, Kepulauan Riau, Kota Bandung, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Wonogiri, Kota Palembang, dan Kabupaten Limapuluh Kota.
Sejumlah daerah lain yang memiliki anggaran pendidikan 20 persen atau lebih dari APBD meliputi Kabupaten Subang, Mandailing Natal, Tasikmalaya, Banyuwangi, Ogan Komering Ulu Timur, Klaten, Blora, Nganjuk. Kemudian, Kabupaten Lahat, Banyuasin, Ogan Ilir, Lebak, Kota Padang, Dumai, Provinsi Sumatera Barat, dan Riau.
”Komitmen anggaran pendidikan dalam APBN membesar, bahkan alokasi transfer ke daerah dominan. Sejumlah pemerintah provinsi ataupun kabupaten/kota bahkan telah berkomitmen anggaran pendidikan, di luar transfer daerah, sebesar 20 persen atau lebih. Namun, upaya memerangi putus sekolah yang besar masih dibutuhkan di daerah tertentu," kata Satriwan.
Pandemi Covid-19
Pandangan senada diutarakan dosen Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat. Input pendidikan formal minimal 12 tahun untuk mewujudkan SDM terpelajar, luhur, adaptif, dan kolaboratif sesuai visi Indonesia 2045 dinilai belum menyinggung efek pandemi Covid-19. Putus sekolah warga miskin tak terelakkan.
"Alasan putus sekolah mereka adalah membantu ekonomi keluarga yang terdampak pandemi Covid-19. Bagi mereka, biaya pembelajaran jarak jauh metode daring juga menambah beban berat,” tuturnya.
Alasan seperti itu, lanjut Rakhmat, bahkan terjadi sebelum pandemi Covid-19. Di beberapa kelompok masyarakat menengah ke bawah, anak diminta putus sekolah untuk membantu orangtua bekerja. Ada pula alasan kultural, seperti anak tidak perlu sekolah sampai ke jenjang tinggi dan didorong lekas menikah.
Menurut dia, tuntas pendidikan formal 12 tahun atau wajib belajar 12 tahun adalah kebijakan khusus (extra ordinary). Realisasinya pun harus holistik dan multpemangku kepentingan terlibat. Hal itu dimulai dari merealisasikan kemudahan akses semua warga, tak terkecuali kelompok menengah ke bawah, untuk bersekolah.
Rakhmat memaparkan, biaya memudahkan akses bersekolah terdiri dari berbagai komponen. ”Bahkan, bisa sampai menyangkut komponen biaya yang harus individu keluarkan, seperti buku pelajaran, seragam, paket data, dan listrik. Anak (dari keluarga) kelas menengah atas mungkin mudah memenuhinya, tetapi bagaimana dengan kelompok miskin?” ucapnya.
Dalam diskusi daring ”Wajib Belajar: Kuantitas atau Kualitas?” yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI), 22 November 2020, juga mengemuka opini serupa. Misalnya, BOS yang diberikan belum mencukupi semua kebutuhan biaya sekolah sehingga siswa tetap dipungut biaya. Mekanisme penerimaan siswa baru di SMP negeri masih belum ramah kaum miskin.
Baca juga: Pandemi, Tantangan Pendidikan di Indonesia Makin Rumit
Persoalan lain terkait dengan keterbatasan daya tampung justru diatasi menaikkan daya tampung melalui mendirikan SMP baru, alih-alih mendorong pengembangan SMP swasta yang telah lama ada di daerah itu. Hal itu merupakan persoalan lama dan mewarnai kebijakan wajib belajar sembilan tahun yang lebih dulu ditetapkan.
Dari sisi kualitas, hasil diskusi daring PHI juga menyentil minimnya evaluasi substansi program wajib belajar, seperti sejauh mana keberhasilannya membuat siswa lebih cendekia, kreatif, inovatif, produktif, dan progresif.
Kartu Indonesia Pintar
Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemwndikbud Abdul Kahar membenarkan narasi kebijakan wajib belajar 12 tahun bersifat berkelanjutan. Strategi merealisasikannya yang sudah baik tetap dilanjutkan, seperti BOS. Ada pula bantuan dana Kartu Indonesia Pintar (KIP) ikut dihadirkan supaya mendukung terlaksananya kebijakan itu.
”BOS merupakan dana penyelenggaraan pendidikan. Apakah BOS bisa menjamin anak tidak putus sekolah? Belum tentu sebab ada komponen biaya bersekolah yang bersifat personal, lebih besar, dan tak semua anak dapat memenuhinya,” katanya.
Karena itu, pemerintah menghadirkan KIP agar dimaknai sebagai jaring pengaman sosial sehingga dapat dipakai mencegah anak putus sekolah. Melalui KIP pula, anak putus sekolah dan masih masuk usia wajib belajar 12 tahun dikembalikan belajar ke pendidikan formal atau kesetaraan.
Baca juga: Pemerintah Didorong Bangung Sistem Jaminan Dasar Pendapatan Semesta
Kini, total dana KIP bagi jenjang SD menyentuh 41 persen dari semua siswa. Untuk SMP, dana KIP mencapai 42 persen dari semua siswa. ”Persentase 40 persen itu asumsi meng-cover (mencakup) siswa miskin. Tantangannya di jenjang SMA dan SMK, yakni dana KIP baru menyentuh 28 dan 32 persen,” tutur Abdul.
Baca juga: Membantu Pendidikan Anak Miskin Akan Bermanfaat Juga bagi Siswa Lain