Kekerasan Seksual di Dunia Virtual Mengincar Perempuan
Kekerasan berbasis jender dalam ranah daring semakin menakutkan. Sejumlah perempuan terjerat dalam tipu daya pelaku, hingga akhirnya menjadi korban kekerasan seksual dan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Aplikasi media sosial bisa menjadi pintu masuk kejahatan secara daring jika masyarakat tidak bijaksana dan berhati-hati ketika mengakses berbagai akun yang terhubung dengan internet. Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah perempuan dan anak-anak perempuan menjadi korban kekerasan fisik, seksual, dan ekonomi, secara daring.
Modus kejahatan di ranah daring yang juga sering disebut sebagai kekerasan berbasis jender online (KBGO) makin canggih dan menjerat perempuan seiring meningkatnya penggunaan gawai yang terhubung dengan jaringan internet.
Kemudahan berinteraksi dengan orang lain lewat media sosial (medsos) membuat sejumlah perempuan bisa berkenalan dengan seseorang tanpa harus bertemu langsung. Bahkan, ada yang menjalin hubungan dekat meskipun tidak mengetahui identitas pasangannya.
Pada masa pandemi Covid-19, sejumlah perempuan (yang aktif menggunakan media sosia) menjadi korban kekerasan berbasis jender secara daring. Namun, sebagian besar korban tidak berani melapor kepada pihak kepolisian.
Para korban terjerat bujuk rayu pelaku melalui media sosial sehingga dieksploitasi secara seksual ataupun ekonomi. Ketika kasus dilaporkan kepada kepolisian, beberapa pelaku tidak diketahui identitas aslinya sehingga pelaku sulit dilacak.
Laporan di sejumlah lembaga yang menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukan tren kasus kekerasan berbasis jender secara daring pada masa pandemi Covid-19 meningkat. Misalnya, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, selama periode Maret-November 2020 pihaknya menerima 196 pengaduan.
”Kami sedang menangani kasus KBGO dengan korban anak perempuan umur 16 tahun, anak SMA yang menjadi korban di Twitter. Bahkan, orangtuanya sampai sekarang enggak tahu kalau kasus ini menimpa dia. Modusnya, dia dipacarin oleh pemilik salah satu akun, kemudian dimintain kirim gambar-gambar setengah telanjang dan tanpa busana,” ujar Direktur LBH APIK Jakarta Siti Mazuma, Minggu (13/12/2020).
Setelah itu, korbannya diperas, diminta menyerahkan uang, pelaku yang belakangan diketahui juga bagian dari sindikat kejahatan siber, memaksa korban untuk berhubungan intim. Ketika korban menolak, pelaku mengancam akan menyebarkan foto-fotonya. ”Anak ini begitu ketakutan sampai beberapa bulan. Hingga akhir dia mengetahui LBH APIK Jakarta saat sedang mengadakan diskusi KBGO di Instagram,” ujar Mazuma.
Baca juga: Kekerasan Daring seperti Puncak Gunung Es
Selama pandemi Covid-19, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga menerima pengaduan kasus kekerasan berbasis jender daring 659 kasus, terdiri dari 341 kasus (ranah kekerasan dalam rumah tangga/personal) dan 318 kasus (ranah komunitas). Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kasus tahun sebelumnya. Pada tahun 2018 (97 kasus) dan 2019 (281 laporan).
”Laporan KBGO selama pandemi ini memperlihatkan telah terjadi pola kekerasan terhadap perempuan yang harus segera direspons negara. Salah satunya, dengan mengatasi penyebab mendasar dari KBGO dan menyatakan bahwa KBGO tidak pernah dapat diterima atau dimaafkan keadaan apa pun,” ujar Siti Aminah Tardi, komisioner Komnas Perempuan, Minggu petang.
Obyek seksual
Di kalangan organisasi/lembaga masyarakat sipil, KBGO didefinisikan sebagai tindak kekerasan menggunakan teknologi digital di dunia maya berhubungan dengan ketubuhan perempuan yang dianggap sebagai obyek seksual. Umumnya, KBGO dilakukan melalui aplikasi media sosial yang sangat dekat dengan masyarakat, Facebook, Whatsapp, Instagram, Twitter, Tinder, dan lain-lain.
Laporan KBGO selama pandemi ini memperlihatkan telah terjadi pola kekerasan terhadap perempuan yang harus segera direspons negara.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan berbasis jender online yang dilaporkan, antara lain, ialah pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan daring (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), pengelabuan (phising), dan perekrutan online (online recruitment).
Modusnya, misalnya, pelaku mengajak korban berkenalan melalui media sosial/aplikasi kencan tanpa pernah bertemu secara langsung. Pelaku mengajak untuk melakukan phone sex atau aktivitas seks secara daring, lalu pelaku secara diam-diam merekam atau mendokumentasikan aktivitas itu.
Pelaku mengancam akan menyebarkan foto atau video berbau pornografi yang direkam diam-diam jika korban tidak mau diajak melakukan hubungan seksual dan memeras korban dengan meminta barang-barang berharga dan uang.
KBGO bisa berlanjut di ranah luar jaringan (luring) sehingga korban atau penyintas mengalami kombinasi penyiksaan fisik, seksual, dan psikologis, baik secara daring maupun langsung di dunia nyata.
Baca juga: Lawan Kekerasan Daring lewat Laporan
Pemantauan lembaga End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia tahun 2019 menemukan ada 40 kasus kekerasan seksual di ranah daring dengan sekitar 100 anak yang menjadi korban. Namun, dari data itu, polisi hanya mampu mengidentifikasi 21 anak perempuan dan dua anak laki-laki yang menjadi korban.
”Kami melihat masih banyak anak dijadikan obyek seksual di ranah daring. Banyaknya penyebaran materi kekerasan seksual anak dan kasus grooming yang terus terjadi, dan anak menjadi korban,” papar Andy Ardian, Manajer ECPAT Indonesia.
Menurut Kepala Sub-Divisi KBGO SAFEnet Ellen Kusuma, sepanjang 2019, SAFEnet menerima 60 aduan kasus, 44 kasus di antaranya merupakan dari rujukan Komnas Perempuan dan 16 aduan lain masuk melalui kanal komunikasi SAFEnet. Dari jumlah itu, 53 korban yang mengadu, yakni perempuan dan 7 lainnya tidak menyebut jendernya.
Bentuk kekerasan paling banyak dilaporkan adalah penyebaran konten intim tanpa persetujuan (45 kasus), pelanggaran privasi (seperti doksing, pengawasan nonkonsensual, penyadapan, akses tanpa otorisasi) sebanyak 7 kasus, dan pembuatan akun peniru atau impersonasi (2 kasus).
Valentina Ginting, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengungkapkan, upaya mengatasi kekerasan berbasis jender di ranah daring harus dilakukan semua pihak, terutama kepolisian serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Kepala Bareskrim Mabes Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam Cyber Police Festival menyambut Hari Ulang Tahun Ke-74 Korps Bhayangkara, beberapa waktu lalu, menyebut tingkat kejahatan di media sosial naik signifikan dalam lima tahun terakhir. Jumlah kejahatan siber meningkat 75,73 persen dari tahun 2015 hingga 2019. Pada tahun 2015 tercatat 2.609 kasus. Jumlah itu melonjak jadi 4.585 kasus pada 2019.
Dalam kurun waktu itu, polisi menyelesaikan 624 kasus pada 2015 dan 2.282 kasus tahun 2019. ”Kami terus mengakselerasi diri terhadap dunia siber meskipun kejahatan berkembang lebih pesat,” ucap Listyo.
Reni Kartikawati, pengajar di Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, menuturkan, KBGO bisa dialami siapa saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan golongan meskipun perempuan berada dalam posisi paling rentan.
Kerentanan perempuan bertambah karena kurangnya daya dukung infrastruktur, pemahaman literasi digital, dan dampak penggunaan teknologi, seperti perlindungan platform kepada pengguna.
”KBGO menjadi kejahatan yang sulit penangannya karena amat cepat proses penyebarannya melalui kanal media sosial dan lainnya. Tidak mengenal batas ruang dan waktu, artinya bisa dalam 24 jam nonstop tersebar serta dampak jejak digital untuk korban yang susah dihilangkan sehingga perlu penanganan khusus,” ucap Reni.
Rata-rata korban terjerat rasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri atas kasus yang terjadi. Bahkan, tidak jarang perasaan itu menimbulkan trauma psikologis mendalam sehingga muncul keinginan bunuh diri, menarik diri dari lingkungan sosialnya karena takut dihujat, takut mengalami stigma negatif dari keluarga, teman, dan lingkungan sosialnya.
Psikolog Riliv Erwinda Tri Satya mengatakan, dampak psikologi kekerasan seksual dan jender berbasis daring berbeda-beda. Beberapa korban merasa stres, depresi, trauma dengan berbagai tipe, gangguan kecemasan, dan ingin bunuh diri.
Apabila seseorang menJadi korban kekerasan, dia menyarankan agar menyampaikan perasaannya kepada orang terdekat. ”Hindari memakai kalimat menjurus ke toxic positivy sebab bukan itu yang korban inginkan,” ujarnya di sela-sela webinar ”#FreetobeOnline:Girls Support Girls”, Sabtu (12/12/2020), di Jakarta. (MEL)