Digitalisasi Pendidikan Memperhatikan Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
Pengembangan digitalisasi layanan pendidikan anak usia dini bisa dilakukan secara kreatif tanpa meninggalkan peran penting orangtua dan guru.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi layanan pendidikan anak usia dini dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan fase tumbuh kembang anak. Guru dan orangtua pun tetap memegang peranan sentral dalam proses pembelajaran.
Hal itu mengemuka dalam Kompas Talks ”Digitalisasi PAUD, Perlukah?”, Jumat (11/12/2020), di Jakarta. Diskusi daring ini digelar harian Kompas dengan Tanoto Foundation.
Ketua Pengurus Pusat Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) Netti Herawati mengatakan, digitalisasi layanan pendidikan anak usia dini (PAUD) semakin berkembang selama masa pembelajaran jarak jauh (PJJ) akibat pandemi Covid-19. Berdasarkan survei Himpaudi pada September 2020, sepanjang tenggat waktu belajar dari rumah, model pembelajaran yang dipakai guru terdiri dari luring (19 persen), kunjungan ke rumah (51 persen), daring (87 persen), dan tidak belajar (2 persen).
Sebelum pandemi, digitalisasi layanan PAUD sebenarnya telah berkembang. Ini dibuktikan dengan arahan meningkatkan kompetensi teknologi informasi komunikasi (TIK) guru PAUD di Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini.
Netti mengatakan, digitalisasi layanan PAUD memiliki dampak positif dan negatif. Untuk dampak positif, pada saat normal, pendistribusian layanan tidak harus dilakukan di lembaga PAUD. Guru keliling ataupun kunjungan ke rumah siswa pun tidak diperlukan.
Sementara dampak negatif digitalisasi, dia menyebutkan, beberapa potensi permasalahan bisa muncul. Misalnya, pembelajaran tidak sesuai dengan prinsip PAUD dan penggunaan media digital yang tidak berizin.
Apabila orangtua ataupun guru belum piawai dan terliterasi media digital, layanan PAUD menjadi tidak optimal. Akibatnya, anak malah terkena kekerasan fisik dan psikis.
”Kelemahan digitalisasi layanan PAUD adalah cuma mengandalkan mata dan telinga, sedangkan indra anak usia dini yang lain tidak,” katanya. Padahal, salah satu prinsip pembelajaran PAUD yaitu stimulasi terpadu.
Netti menambahkan, belajar di usia dini itu ialah mengembangkan enam aspek perkembangan anak yang terdiri dari nilai agama dan moral, fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, dan seni secara seimbang. Optimalisasi aspek tersebut dapat dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan main yang sesuai tujuan, komunikasi efektif saat mendampingi anak serta memerdekakan anak mengambil keputusan sendiri jenis dan ragam main yang dipilihnya. Karena itu, guru dan orangtua tetap punya peran sentral.
Kreatif
Psikolog anak dan remaja Amanda Margia Wiranata mempunyai pandangan senada. Guru dan orangtua tetap harus kreatif menyajikan materi-materi pembelajaran meskipun saat ini telah berkembang aneka layanan pendidikan berbasis digital.
Selama masa PJJ yang memakai model pembelajaran daring, kesiapan guru dan orangtua pun merupakan keutamaan. Mereka harus punya pengetahuan pembelajaran model daring, fasilitas gawai, dan internet.
Kalaupun guru harus menerapkan PJJ, guru mesti membuat video pembelajaran yang menekankan prinsip pembelajaran PAUD. Jadi, orangtua yang tidak paham pedagogi pendidikan bisa paham.
Anak usia dini amat membutuhkan latihan-latihan simulasi motorik dan logika berpikir.
”Anak usia dini amat membutuhkan latihan-latihan simulasi motorik dan logika berpikir. Anak dengan kelompok usia itu juga butuh sosialisasi dan interaksi tatap muka dengan seumuran guna mendukung tumbuh kembangnya,” kata Amanda.
Pembatasan
Koordinator Fungsi Penilaian Direktorat PAUD Direktorat Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Lestari Yuniarti menambahkan, anak usia dini membutuhkan ruang mengembangkan kemampuan sosial, emosi, bahasa, dan kognitíf. Ia memberikan saran usia anak terkait penggunaan gawai.
Anak usia 0-2 tahun sangat tidak disarankan memakai gawai. Anak usia 2-4 tahun diperbolehkan menggunakan gawai untuk bermain gim sederhana dengan alokasi waktu maksimal satu jam sehari. Adapun anak usia 4-7 tahun diberikan kesempatan mengeksplorasi gawai dengan pendampingan orang dewasa.
”Penggunaan teknologi informasi komunikasi (TIK) untuk layanan PAUD mesti menekankan prinsip memberikan pengalaman mendalam kepada anak. Guru ataupun orangtua memakai gawai untuk menggali berbagai informasi demi pengembangan tema dan memperkuat penyajian pendidikan ke anak,” tuturnya.
Lestari menambahkan, digitalisasi layanan PAUD akan didukung oleh pemerintah. Salah satunya melalui dukungan perangkat pembelajaran.
Asisten Manajer Program Siapkan Generasi Anak Berprestasi (SIGAP) DKI Jakarta Benedikta Dina Fibriani menceritakan, paket anak SIGAP yang berisi kegiatan memadukan luring dan daring. Anak tetap melakukan aktivitas yang memakai perangkat atau hands on learning. ”Peralatan tersebut membantu anak mengeksplorasi, bereksperimen, dan berani mencoba,” katanya.