Berbagai kasus kekerasan seksual membuka mata semua pihak bahwa kekerasan seksual harus diperangi dan dihentikan. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dinantikan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Kekerasan seksual menjadi mimpi buruk yang menghantui korban sepanjang hidupnya. Tidak hanya perempuan dan anak perempuan, kekerasan seksual juga menyasar laki-laki. Kendati telah berlangsung lama, kekerasan seksual sulit terhapus dalam ingatan, bahkan meninggalkan trauma panjang bagi korban.
Sejumlah korban tak sanggup buka mulut dan bersuara. Mereka menyimpannya sepanjang hayat. Hanya sedikit yang mampu bersuara, membuka luka yang tersimpan sekian lama.
Namun, seiring menguatnya gerakan masyarakat sipil yang mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang, para korban pun perlahan-lahan bersuara.
”Tengah malam buta atau menjelang matahari terbit, dia: ayah saya, beberapa kali datang ke kamar saya. Ia lalu membujuk saya untuk berhubungan intim dengannya. Ia selalu bilang, ’Setiap kali melihat kamu, saya seperti melihat istri saya sendiri’.
Kalau saya menolak, dia akan mengancam. Jadi, saya terpaksa membiarkan dia melakukannya. Suatu kali, dia juga memaksa saya melakukannya saat ibu sedang tidak ada di rumah. Ibu melaporkan kejadian ini ke kantor polisi dan sekarang ayah saya dipenjara. Keluarga kami menjadi omongan para tetangga, kampung kami menjadi gempar. Apakah seharusnya saya diam dan menyimpan semua cerita ini?”
Peristiwa kekerasan seksual yang dialami seorang anak perempuan dengan pelaku ayahnya merupakan salah satu suara para korban kekerasan seksual yang dinarasikan dalam pameran seni rupa instalasi atau Shoes Art Installation ”The Body Shop®️ Indonesia: Semua Peduli Semua Terlindungi Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”.
Karya seni rupa instalasi itu ditampilkan di Kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Jakarta, Selasa (8/12/2020).
Pameran seni yang digelar bersamaan Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) mulai tanggal 26 November hingga 10 Desember 2020 ini untuk mendorong pembahasan dan pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dengan menggunakan instalasi 150 sepatu yang dipajang di lorong dan selasar Kantor Komnas Perempuan, sejumlah kisah penyintas diangkat.
Kampanye ini merupakan lanjutan dari aksi pada November 2020 di Kompleks DPR yang menampilkan sekitar 500 sepatu. Aksi tersebut bertujuan untuk mengumpulkan 500.000 tanda tangan petisi Stop Sexual Violence sampai Maret 2021.
Masing-masing sepatu mewakili suara korban dan situasi yang dialaminya, bahkan jenis sepatunya juga disesuaikan dengan latar belakang penyintas. Tak hanya sepatu, beberapa pakaian yang mewakili sejumlah penyintas pun ditampilkan.
Suara penyintas yang mewakili berbagai generasi, bahkan suara korban kekerasan seksual pada 1970-an, ikut ditampilkan. Contohnya, kejahatan seksual yang dilakukan oknum aparat keamanan terhadap sejumlah perempuan di Timor Leste (dulu Timor Timur) yang hingga kini membekas di ingatan korban meski terjadi puluhan tahun.
”Saya kini sudah berusia 50 tahun, tapi tetap tidak bisa melupakan kepahitan hidup bertahun-tahun yang lalu. Saya dipaksa menyerahkan ’tubuh’ untuk kepuasan seksual beberapa tentara. Suatu malam, saya dipanggil seorang tentara. Saya dimasukkan ke sebuah kamar kecil dan di situlah mereka memperkosa saya, bergantian hampir sepanjang malam.”
Seperti penyintas lainnya, perempuan korban ini pun mengungkapkan, ”Ini bukan hanya kisah saya sendiri. Banyak perempuan lain mengalami, menjadikannya ’rahasia pribadi’ tanpa pernah bisa diusik hingga mati.”
Tak hanya cerita duka dari dua penyintas, beberapa kisah yang selama ini disimpan penyintas secara pribadi juga diungkap, seperti kekerasan yang dilakukan guru les, aktor senior, penjual pulsa, teman sekelas, teman kuliah, dan sebagainya. Kisah penyintas yang diangkat tak hanya penyintas perempuan, tetapi juga laki-laki.
Oleh karena itu, Dian Ina Mahendra, pekerja seni yang dipercayakan mendesain pameran instalasi sepatu itu, mengungkapkan, ketika membangun instalasi sepatu tersebut, dia berusaha memastikan instalasi itu berpihak dan menggunakan perspektif penyintas.
”Kita mau ada di sisi penyintas, mereka yang selama ini maju dan menyampaikan sendiri cerita dan duka mereka yang mungkin kita hanya bisa dengarkan dan berempati ketika kita sendiri belum mengalami. Mereka maju karena tidak ingin ada korban-korban berikutnya,” katanya.
Tingkatkan pemahaman publik
Tak hanya pameran instalasi, Dian ataupun pihak The Body Shop berharap pesan-pesan yang disampaikan lewat pameran itu meningkatkan pemahaman publik atas darurat kekerasan seksual di Indonesia. Pameran itu juga mendorong para penyintas makin berani bersuara menyampaikan cerita kekerasan seksual yang dialami melalui media secara anonim.
Kita mau ada di sisi penyintas, mereka yang selama ini maju dan menyampaikan sendiri cerita dan duka mereka.
Lebih jauh dari itu, ketika ada kejadian kekerasan seksual, sesungguhnya pada setiap korban, ada orangtua, pasangan, saudara, dan sahabat yang ikut merasakan kepedihan ketika orang terdekat mereka mengalami kekerasan.
Suzy Hutomo, Owner and Executive Chairwoman The Body Shop Indonesia, mengungkapkan, The Body Shop sejak awal didirikan seorang aktivis perempuan dari Inggris bernama Anita Roddick mengusung nilai-nilai untuk membawa perubahan positif bagi lingkungan hidup dan sosial.
Selama 28 tahun, The Body Shop tidak hanya dikenal sebagai merek kosmetik, tetapi juga yang aktif memperjuangkan kesetaraan hak asasi manusia bagi semua, khususnya perempuan dan anak, hingga ke ranah hukum.
Oleh karena itu, pameran tersebut diharapkan bisa membuka mata banyak orang bahwa sesungguhnya kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, tanpa mengenal waktu, tempat, usia, jenis kelamin, situasi, latar belakang pendidikan, bahkan strata sosial.
Ratu Ommaya, Public Relations and Community Manager The Body Shop Indonesia, menambahkan, medium sepatu amat kuat karena bisa mewakili masyarakat dari beragam unsur, jender, profesi, selera, latar belakang sosial, dan ekonomi. Publik yang mengirimkan sepatu-sepatu mereka mewakilkan dukungan mereka pada penyintas kekerasan dan menitipkan suara mereka untuk didengarkan.
Pada akhirnya, Shoes Art Installation juga diharapkan mampu menggerakkan hati para legislastor dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sehingga menghentikan praktik-praktik tidak beradab, menibulkan efek jera bagi para pelaku, dan meningkatkan perhatian negara terhadap pemulihan para korban kekerasan seksual.