Situasi pandemi Covid-19 yang terjadi lebih dari sembilan bulan membawa perempuan dalam situasi sulit, bahkan rentan menjadi korban kekerasan berbasis jender.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aktivitas di rumah selama masa pandemi Covid-19 berdampak serius kepada perempuan dan anak. Perubahan pola hidup yang mendadak, ancaman kesehatan, kesulitan ekonomi, serta masalah stabilitas dan keamanan berpotensi terjadinya kekerasan berbasis jender.
Selain berpotensi menambah beban ganda perempuan, situasi selama pandemi yang berakibat sejumlah keluarga mengalami himpitan ekonomi dan beban mental yang berat membuat perempuan menjadi sasaran kekerasan. Bahkan, sejumlah perempuan rentan mendapatkan diskriminasi ganda, seperti perempuan penyandang disabilitas, warga lansia, dan perempuan prasejahtera.
”Situasi pandemi Covid-19 yang melanda kita lebih dari sembilan bulan ini semakin memperdalam jurang ketidaksetaraan yang bahkan sudah terjadi sebelumnya,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati pada Peluncuran Panduan Perlindungan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Pandemi, Rabu (9/12/2020).
Situasi pandemi Covid-19 yang melanda kita lebih dari sembilan bulan ini semakin memperdalam jurang ketidaksetaraan yang bahkan sudah terjadi sebelumnya. (I Gusti Ayu Bintang Darmawati)
Kegiatan tersebut digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), The United Nations Population Fund (UNFPA), dan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women) dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Bintang Darmawati menegaskan, potensi kekerasan berbasis jender di masa pandemi dikhawatirkan semakin besar karena ketimpangan jender masih terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Budaya patriarki yang masih mengakar di dalam kehidupan masyarakat menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Hal itu sejalan penyataan UN Women bahwa krisis selalu memperparah ketidaksetaraan jender. ”Sebagai gambaran banyaknya korban jiwa, khususnya laki-laki, meningkatkan jumlah perempuan kepala keluarga baru,” kata Bintang.
Meningkatnya risiko kekerasan berbasis jender di masa pandemi Covid-19 merupakan fenomena global yang menjadi perhatian serius dunia. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), selama pandemi Covid-19 pada tanggal 29 Februari- 27 November 2020, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa tercatat 4.477 kasus dengan 4.520 korban.
Mayoritas korban kekerasan terhadap perempuan dewasa adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yaitu 59,82 persen. Adapun korban kekerasan terhadap anak perempuan 4.472 anak, lebih banyak dari korban anak laki-laki 1.778 anak. Dari 6.250 anak korban kekerasan, 20,93 persen korban KDRT.
”Rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman malah menjadi ancaman bagi kelompok rentan, terutama perempuan dan anak. Dapat kita bayangkan dalam situasi pandemi, di mana masyarakat diharuskan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah demi menjaga jarak, akan menjadi lebih sulit bagi korban untuk menyelamatkan diri ataupun meminta pertolongan,” kata Bintang.
Ratna Susianawati, Staf Ahli Bidang Komunikasi Pembangunan dan Juru Bicara Kementerian PPPA menambahkan, Panduan Perlindungan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Pandemi diharapkan dapat menjadi acuan dan rujukan bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi masyarakat, penyelenggara program dan layanan khusus yang berkaitan dengan perempuan dan anak perempuan, serta penanganan kekerasan berbasis jender dalam situasi pandemi di Indonesia.
Bersama memerangi kekerasan
Valerie Julliand, Koordinator PBB di Indonesia, mengatakan, penghapusan kekerasan terhadap perempuan, kekerasan berbasis jender sangat penting dilakukan semua pihak. ”Kita harus terus menerus memerangi kekerasan,” ujar Valerie.
Oleh karena itu, Valerie menyerukan agar semua pihak jangan hanya melihat saja kekerasan yang menimpa perempuan tapi harus melakukan sesuatu untuk mencegah kekerasan tersebut terjadi terhadap para perempuan di dunia. Hal itu sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk mewujudkan kesetaraan jender.
Pada peluncuran panduan tersebut, juga digelar diskusi public dengan narasumber Livia Iskandar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Anindya Restuviani (Co-Director Hollaback! Jakarta), Nur Hasyim (Co-Founder Aliansi Laki-Laki Baru), Kartika Yahya (musisi, pendiri Yayasan Bersama Project dan Ruang Selatan), dan Kalis Mardiasih (kolumnis dan gender equality campaigner).