Art and Peace, Ide Orisinal Made Wianta yang Terus Bergerak
Setelah 21 tahun berlalu, gema dari pergelaran kolosal bertajuk ”Art and Peace” pada 10 Desember 1999 masih terdengar. Ide orisinal dari Made Wianta itu akan terus digerakkan meskipun ia telah berpulang.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Setelah 21 tahun berlalu, gema dari pergelaran kolosal bertajuk ”Art and Peace” pada 10 Desember 1999 masih terdengar. Bahkan, semangat dari Art and Peace yang diakui sebagai ide orisinal dari seniman Made Wianta itu akan terus digerakkan meskipun Wianta sudah berpulang pada 13 November 2020.
Komitmen untuk terus menggemakan semangat Art and Peace dan merealisasikan warisan Wianta itu dimunculkan beberapa mantan panitia dan pendukung pergelaran kolosal Art and Peacedalam sebentuk acara peringatan 21 tahun ”Art and Peace, Made Wianta” di Hotel Griya Santrian Resort, Sanur, Kota Denpasar, Kamis (10/12/2020). Acara peringatan budaya itu juga dihadiri istri dan seorang putri almarhum Wianta, yakni Intan Kirana dan Sanjiwani.
”Kami sepakat melanjutkan cita-cita Made Wianta dengan berbagai kegiatan yang akan berkontribusi bagi kebaikan bangsa,” kata Ketua Panitia Art and Peace 1999 Putu Suasta, Kamis (10/12/2020).
Pergelaran Art and Peace yang digagas Wianta dan ditampilkan secara kolosal di kawasan Pantai Padanggalak, Sanur, pada 10 Desember 1999, menjadi sebentuk respons kreatif dari seniman terhadap konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia saat itu.
Sebanyak 2.000 orang terlibat dalam pergelaran seni gerak dengan membentangkan 2.000 meter kain yang bertuliskan kalimat atau kutipan dari tokoh dunia tentang pesan perdamaian.
Kami sepakat melanjutkan cita-cita Made Wianta dengan berbagai kegiatan yang akan berkontribusi bagi kebaikan bangsa. (Putu Suasta)
Suasta menyebutkan, Wianta adalah sosok pendobrak. Wianta, menurut pemerhati sosial politik itu, berpandangan seniman Bali seharusnya mampu tampil dan bersaing di kancah internasional. Pengalaman Wianta tinggal di luar negeri membuat seniman yang berasal dari Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, itu mampu berpandangan demikian.
Kritikus seni rupa dan pengamat budaya Jean Couteau menambahkan, Wianta selalu menekankan seniman Bali harus menjadi bagian dari dunia modern tanpa kehilangan akar budaya. Menurut Jean, serangan globalisasi tidak terelakkan, termasuk bagi Bali.
”Daripada seniman pasif menerima atau berdiam dengan membuat lukisan eksotis, salah satu caranya adalah menjadi bagian dari kemodernan yang menimpa Bali,” kata Jean yang mengenal Wianta sejak 1980-an.
Pergelaran seni kolosal Art and Peace yang ditampilkan Wianta di Pantai Padanggalak, Sanur, 21 tahun lalu, menurut Jean, adalah bentuk kesadaran pemikiran Wianta yang melampaui Bali, bahkan melampaui Indonesia pada saat itu. Wianta menampilkan pergelaran seni Art and Peacesebagai penyatuan dari lintas kultur, bahkan lintas bangsa.
Butuh gerakan
”Sekarang, menurut saya, kita lebih membutuhkan gerakan semacam art and peace itu dibandingkan 21 tahun lalu,” ujar Jean. Jean menambahkan, gerakan budaya dan seni dengan semangat dan visi Art and Peace yang digagas Wianta menjadi kebutuhan dan upaya menghadapi gejala yang menimpa dunia, di antaranya berkembangnya nasionalisme ekstrem atau ideologi ekstrem lainnya.
Seniman dan produser seni Restu Imansari Kusumaningrum mengaku mendukung ide dan gagasan Wianta untuk menggelar pentas kolosal Art and Peace pada 21 tahun lalu.
Menurut Restu, seni akan semakin berarti apabila menyentuh kehidupan dan berarti bagi kemanusiaan. ”Wianta adalah pribadi yang terpilih,” kata Restu yang terlibat sebagai koreografer pada pergelaran Art and Peace garapan Wianta itu.
Ia menambahkan, Wianta adalah sosok seniman besar yang tidak membeda-bedakan orang. Pendiri Yayasan Bali Purnati itu menilai Wianta mencerminkan Indonesia. ”Art and Peace harus dilanjutkan sebagai gerakan untuk kemanusiaan, untuk lingkungan, dan untuk kehidupan. Semangat Art and Peace terus digulirkan untuk generasi mendatang,” kata Restu.
General Manager Hotel Griya Santrian, yang juga Ketua Yayasan Pembangunan Sanur, Ida Bagus Gede Sidharta Putra mengungkapkan, Wianta adalah aset yang bukan hanya dimiliki Bali, melainkan juga internasional.
Ia setuju semangat Art and Peace dilestarikan dan digerakkan sehingga bergulir dan membumi. Sidharta menambahkan, pihaknya mendukung dan akan memfasilitasi gerakan budaya Art and Peace yang digagas seniman besar itu.