Tekanan Kebebasan Akademik Telah Menjadi Fenomena Global
Tekanan terhadap kebebasan akademik terjadi di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Adapun, bentuk serangan terhadap kebebasan akademik bermacam-macam.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan terhadap kebebasan akademik yang makin kuat telah menjadi fenomena global. Ini dipengaruhi menebalnya otoritarianisme di negara-negara, termasuk Indonesia.
Berdasarkan riset Free to Think 2019 yang dirilis oleh Scholars at Risk menunjukkan terdapat 324 kasus tekanan dan serangan kebebasan akademik di perguruan tinggi di 56 negara, termasuk Indonesia sepanjang September 2018-Agustus 2019. Ketua Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, Senin (7/12/2020), mengatakan, bentuk tekanan ataupun serangan yang dipaparkan di riset itu serupa dengan data kasus yang dihimpun Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).
Bentuk serangan itu meliputi: serangan siber terhadap aktivitas akademik, penundukan kampus ataupun lembaga riset oleh otoritas negara, serangan terhadap pers mahasiswa, kriminalisasi dengan dalih pencemaran nama baik, eskalasi penangkapan/penahanan dalam aksi, skorsing, dan ofensif ke mahasiswa.
Koordinator KIKA Herlambang P Wiratraman mengatakan, dari jejaring itu diketahui, tekanan dan serangan terhadap kebebasan akademik dialami juga oleh perguruan tinggi di Thailand dan Filipina. Dia mencontohkan, kritik kampus terhadap rezim Rodrigo Duterte berakhir dengan serangan balik berupa pemenjaraan akademisi dan pembubaran diskusi.
Dia menyampaikan, secara global, eskalasi kasus terjadi selama lima tahun terakhir. Sementara di Indonesia, eskalasi kasus terjadi pascaperistiwa 1965.
Sepanjang tahun 2020, terdapat 20 kasus tekanan ataupun serangan kebebasan akademik terjadi Indonesia. Ragam bentuknya pun masih mengulang kejadian tahun-tahun sebelumnya, seperti penundukan kampus ataupun lembaga riset oleh otoritas negara, serangan terhadap pers mahasiswa, dan kriminalisasi dengan dalih pencemaran nama baik.
Sebagai contoh, pada Juli 2020, sejumlah mahasiswa Universitas Nasional mendapat sanksi akademik berupa skorsing hingga dikeluarkan setelah menggelar aksi unjuk rasa menuntut pemotongan biaya kuliah karena pandemi Covid-19. Contoh lain adalah penahanan sejumlah aktivis mahasiswa yang mengkritik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
”Kebebasan akademik meliputi elemen kebebasan individual setiap insan sivitas akademika dan otonomi institusi perguruan tinggi. Undang-Undang Pendidikan Tinggi mengakui kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujar Herlambang. KIKA sendiri berjejaring dengan Southeast Asian Human Rights Studies Network (SEAHRN).
Nurani
Akan tetapi, tantangan jaminan kebebasan akademik semakin banyak dipengaruhi oleh bekerjanya oligarki kekuasaan dan masih kuatnya kekuatan antidemokratis. Pada saat bersamaan, kebijakan Merdeka Belajar yang dicetuskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), seperti episode Kampus Merdeka, tidak menyentuh elemen dasar kebebasan akademik.
Herlambang berpendapat, orientasi Kampus Merdeka cenderung menyasar kelembagaan perguruan tinggi daripada membawa perubahan mendasar dan paradigmatis dalam ekosistem riset dan kebebasan mengembangkan keilmuan yang lebih kuat.
Peneliti sosial Riwanto Tirtosudarmo memandang, negara harus menjamin kebebasan akademik sehingga kampus bisa berkontribusi maksimal kepada negara. Jika jaminan itu tidak ada, itu berarti mengekang kemerdekaan pendidikan tinggi.
Dia mengakui, semaju apa pun suatu negara kini, perguruan tinggi selalu dihadapkan pada menegakan kebebasan akademik atau ikut kepentingan kekuasaan tertentu.
”Kepentingan negara (penguasa) selalu berusaha mengooptasi akademik. Bagi akademika yang berhadapan langsung dengan situasi seperti itu, saya rasa perlu dia kembali ke nurani ataupun compassion,” kata Riwanto.
Meski tekanan kebebasan akademik telah jadi isu global, dia mengamati masih ada gerakan masyarakat sipil di luar badan-badan negara yang masih peduli menyuarakan.
SDM unggul
Seperti diketahui, kebijakan Merdeka Belajar episode Kampus Merdeka terdiri atas empat penyesuaian kebijakan di lingkup pendidikan tinggi. Pertama, otonomi bagi perguruan tinggi untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru, kedua program reakreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat, ketiga Kemendikbud akan mempermudah persyaratan bagi perguruan tinggi negeri badan layanan umum dan satuan kerja untuk menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum tanpa terikat status akreditasi, dan penyesuaian keempat menyangkut hak belajar mahasiswa.
Mahasiswa berhak mengambil satu semester atau setara 20 satuan kredit semester (SKS) di luar prodi di kampus sama. Lalu, paling lama dua semester atau setara 40 SKS belajar pada prodi sama di perguruan tinggi berbeda, pembelajaran pada prodi berbeda di perguruan tinggi berbeda atau pembelajaran di luar perguruan tinggi. Pembelajaran di luar perguruan tinggi meliputi delapan bentuk, antara lain, magang atau praktik kerja di industri atau organisasi, pertukaran pelajar, dan pengabdian masyarakat.
Setelah itu, pada awal November 2020, Kemendikbud mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar episode Transformasi Dana Pendidikan Tinggi. Kebijakan ini mencakup tiga skema pendanaan, yakni insentif khusus bagi perguruan tinggi negeri (PTN), dana penyeimbang kontribusi mitra, dan dana program kompetisi Kampus Merdeka (competitive fund).
Kemendikbud akan menaikkan anggaran kepada PTN dan perguruan tinggi swasta (PTS) 70 persen, dari Rp 2,90 triliun pada 2020 menjadi Rp 4,95 triliun pada 2021. Anggaran itu dialokasikan untuk skema matching fund (Rp 250 miliar), competitive fund (Rp 500 miliar), serta insentif khusus PTN, tambahan bantuan operasional PTN, dan bantuan pendanaan PTN badan hukum (Rp 1,3 triliun).
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam saat dikonfirmasi di sela-sela konferensi pers virtual skema competitive fund, Senin (7/12/2020) sore, menegaskan, keluaran kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka adalah lulusan yang kompetitif, lebih relevan, kreatif, adaptif terhadap perkembangan dunia kerja, dan profesional. Produktivitas yang mereka hasilkan diharapkan mampu berdampak ke pertumbuhan ekonomi.
”Kampus Merdeka diharapkan bisa menghasilkan lulusan yang mempunyai hardskill lebih siap, softskill lebih terasah, empati lebih tinggi, pelajar Pancasila, insan profesional, dan wirausaha andal. Singkatnya, kebijakan Merdeka Belajar mendukung visi mencetak sumber daya manusia unggul,” tegasnya.
Nizam menyampaikan, pihaknya sedang mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Merdeka Belajar episode Kampus Merdeka yang sudah berjalan 10 bulan. Bentuk evaluasinya adalah survei kepada mahasiswa, dosen, industri, dan forum diskusi grup. Dari dua aktivitas itu, Kemendikbud berharap mendapat masukan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud juga sedang mengumpulkan dan mengompilasi cerita praktik-praktik baik implementasi Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. Hasilnya dapat menginspirasi perguruan tinggi yang belum menerapkan.
Terkait kebijakan Merdeka Belajar episode Transformasi Dana Pendidikan Tinggi, dia menyampaikan secara khusus skema competitive fund sudah dibuka registrasi pada 30 November 2020. Proposal perguruan tinggi yang mau ikut skema itu ditunggu paling lambat 4 Februari 2021. Pengumuman akan dilakukan sekitar awal April 2021.
Kriteria penilaian proposal meliputi tingkat inovasi dalam menghadapi tantangan masa depan, kesesuaian dan kelayakan program mencapai delapan indikator kinerja utama, dan rekam jejak institusi. Hingga sekarang, baru ada 40 perguruan tinggi mendaftar ikut skema competitive fund.