Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Kurang Diperhatikan
Sebelum pandemi, perempuan penyandang disabilitas berada dalam situasi rentan mengalami kekerasan. Masa pandemi semakin meningkatkan kerentanan perempuan disabilitas dari berbagai kekerasan dan diskriminasi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan terhadap perempuan penyandang disabilitas hingga kini tidak banyak mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat. Padahal, sejumlah perempuan disabilitas memiliki kerentanan berlapis terhadap kekerasan, terutama kekerasan seksual diskriminasi. Kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah membuat hidup perempuan disabilitas bergantung kepada orang lain sehingga semakin rentan mengalami berbagai kekerasan.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, laporan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas dalam tiga tahun terakhir meningkat, yakni 34 kasus (2017), 57 kasus (2018), dan 69 kasus (2019). Bahkan, dalam Catatan Tahun (Catahu) tahun 2018 dan 2019 ditemukan perempuan dengan disabilitas intelektual, tuli wicara, dan psikososial adalah kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan seksual.
Pada 2019, misalnya, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas intelektual mencapai 41 kasus, disabilitas tuli wicara (19 kasus), dan disabilitas psikososial (18 kasus).
”Dari data ini dapat disimpulkan, ketiga ragam disabilitas itu memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ragam disabilitas lainnya. Perlu ada kebijakan pelindungan yang lebih ketat dan kuat bagi penyandang disabilitas intelektual, tuli wicara, dan psikososial agar terhindar dari kekerasan di lingkungannya,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat dalam keterangan pers, Kamis (3/12/2020).
Bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2020 tanggal 3 Desember 2020, Komnas Perempuan melalui pernyataan berjudul ”Urgensi Mengintegrasikan Perspektif Disabilitas dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dengan Disabilitas” mendesak Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah segera mewujudkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan. Sebab, UU tersebut mengintegrasikan hak-hak korban kekerasan seksual penyandang disabilitas.
Rainy bersama Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad dan Fajri Nursyamsi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), mengungkapkan, selain mengalami kekerasan berlapis dalam kehidupan keseharian dalam lingkungan keluarga, perempuan disabilitas korban kekerasan juga menghadapi berbagai hambatan saat berhadapan dengan hukum.
Bahrul menyatakan, HDI 2020 diharapkan menjadi momen bagi pemerintah dan semua pihak untuk memberikan perhatian pada kondisi perempuan dengan disabilitas yang semakin rentan mengalami kekerasan karena situasi pandemi yang berkepanjangan.
”Perempuan disabilitas mengalami kerentanan ganda, yaitu karena disabilitas dan situasi Covid-19, terutama perempuan disabilitas yang hidup keseharian bergantung kepada orang lain. Misalnya, tidak bisa mandi sendiri dan harus dibantu orang lain, apalagi laki-laki kemungkinan mengalami kekerasan seksual sangat tinggi, ” kata Bahrul.
Kajian cepat
Rainy mengungkapkan, sejak September hingga November 2020, Komnas Perempuan melakukan kajian cepat bertajuk ”Pemenuhan Hak Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Seksual: Capaian dan Tantangan, melalui diskusi fokus bersama lembaga-lembaga penyedia layanan/organisasi-organisasi disabilitas dan kementerian/lembaga negara”.
Kajian tersebut untuk memetakan kekerasan yang dialami perempuan penyandang disabilitas, pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas, hambatan-hambatan perempuan disabilitas korban kekerasan seksual dalam mengakses keadilan, capaian-capaian instrumen hak-hak asasi internasional, serta perundang-undangan dan peratuan-peraturan terkait pelindungan khusus perempuan dengan disabilitas dan pemenuhan hak dalam mengakses keadilan.
”Keluarga dan masyarakat tak memandang penting kekerasan seksual yang dialami perempuan penyandang disabilitas. Bahkan penyandang disabilitas (dianggap) aseksual atau tak memiliki hasrat seksual. Keluarga juga merasa malu melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dengan disabilitas dan pesimistis aparat penegak hukum akan menangani kasusnya,” tuturr Rainy.
Dari sisi penegakan hukum, menurut Fajri, hingga kini perempuan penyandang disabilitas dalam mengakses keadilan masih menghadapi berbagai hambatan karena masih minimnya petugas layanan dan aparat penegak hukum yang belum memahami keragaman disabilitas dan kebutuhan-kebutuhan khususnya.
”Dari instrumen hukumnya sebenarnya sudah kuat. Regulasi sudah ada, tetapi masih sebatas di atas kertas, belum terinternalisasi dalam sistem dan sumber daya manusia,” ujar Fajri.
Tahun ini, pemerintah menggelar peringatan HDI dengan cara berbeda melalui berbagai kegiatan daring dengan mengusung tema ”Membangun Kembali Kehidupan yang Lebih Baik, Lebih Inklusif, Lebih Aksesibel dan Berkelanjutan Pasca-Pandemi Covid-19”. Rangkaian HDI 2020 dibuka Menteri Sosial Juliari P Batubara sejak 18 November 2020.