Implementasi UU Penyandang disabilitas hingga kini masih menghadapi hambatan dan tantangan. Selain perubahan paradigma, pelibatan penyandang disabilitas dalam berbagai kebijakan sangat penting.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Situasi dan kondisi penyandang disabilitas di Tanah Air masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah dan semua pemangku kebijakan. Pengakuan terhadap penyandang disabilitas melalui penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak disabilitas masih menjadi pekerjaan rumah.
Hingga kini berbagai upaya untuk meningkatkan peran dan kontribusi penyandang disabilitas dalam pembangunan yang inklusif masih menghadapi sejumlah tantangan. Peluang dan akses penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaran negara dan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, masih jauh dari harapan.
Tak hanya pendidikan yang masih jauh dari inklusif, kesempatan disabilitas dalam mengakses pendidikan dan pekerjaan yang layak, pun baru sebatas jargon. Amanat UU Penyandang Disabilitas agar pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja, dan swasta sedikitnya 1 persen, tak kunjung terwujud.
Ari Ariyanto (43) dari Yayasan Mitra Netra, Jakarta, masih ingat pengalamannya sekitar tahun 2018 lalu, ada pengumuman seleksi dari sebuah badan usaha milik negara (BUMN) untuk merekrut penyandang disabilitas. Itu mendorong penyandang disabilitas beramai-ramai mendaftar.
Akan tetapi, kenyataannya tidak sesuai pengumumannya. Memang ada yang diterima, tapi bukan di tempatkan di BUMN dan gajinya pun tidak seperti yang dijanjikan.
Istri saya yang juga tunanetra melamar di sebuah BUMN, ikut seleksi dan diterima. Kenyataannya tetap bekerja tetapi tidak diterima di BUMN itu tetapi di anak perusahaan BUMN tersebut. Janji gaji yang dinyatakan pada saat wawancara jauh sekali dengan apa yang pernah diucapkan.(Ari Ariyanto)
“ Istri saya yang juga tunanetra melamar di sebuah BUMN, ikut seleksi dan diterima. Kenyataannya tetap bekerja tetapi tidak diterima di BUMN itu tetapi di anak perusahaan BUMN tersebut. Janji gaji yang dinyatakan pada saat wawancara jauh sekali dengan apa yang pernah diucapkan,” kata Ari, akhir November 2020 lalu.
Pelibatan disabilitas dalam berbagai kebijakan pun minim. Bahkan, suara dan aspirasi, eksistensi para penyandang disabilitas belum diperhitungkan. Sejauh ini, kebijakan inklusif sebatas regulasi, baru sebatas slogan dan jargon.
“Kehadiran komunitas disabilitas hanya sebagai justifikasi, sekadar pelibatan. Usulannya tidak dipakai karena cara pandang belum berubah, tidak ada trust (kepercayaan )atas suara komunitas,” papar Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu.
Karena itu, sudah saatnya memberikan ruang dan memastikan partisipasi penuh dari organisasi disabilitas sebagai mitra pemerintah, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga dengan pemantauan dan evaluasi. Hal ini penting untuk memastikan teks, konteks, dan kredibilitas dalam kebijakan serta program pemerintah selaras dengan aspirasi dan kebutuhan penyandang disabilitas.
Ubah paradigma
Oleh karena itu, kalangan komunitas disabilitas berharap Hari Disabilitas Internasional (HDI) yang diperingati setiap tanggal 3 Desember, tak hanya menjadi penanda, tetapi menjadi momen untuk memperbaiki paradigma dan sikap terhadap penyandang disabilitas.
Selain perubahan paradigma, perlu ada kemajuan berarti dalam bentuk langkah konkret, sehingga penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas tidak sekadar slogan.
HDI 2020 hendaknya tidak menjadi agenda rutin pemerintah untuk seremoni saja, tetapi sebagai tekad bersama agar disabilitas makin bermartabat. Cara memandang dunia disabilitas dan non disabilitas berbeda harus ditinggalkan, terutama yang masih melihat disabilitas sebagai kaum yang termarjinal, melarat, tidak bisa berbuat apa-apa, dan perlu dikasihani.
Sebaliknya, semua pihak hendaknya mendorong dan membuka ruang bagi disabilitas untuk berdaya, mandiri, dan menentukan masa depannya.
“Kita jangan selebrasi, tapi juga ada refleksi apa yang sudah kita lakukan dan apa yang masih harus kita lakukan ke depan, supaya Indonesia ada kemajuan tidak berjalan di tempat. Ini harus dilakukan semua pihak, masyarakat disabilitas dan nondisabilitas. Partisipasi juga lebih banyak, termasuk dari para pengambil kebijakan, pemerintah dan DPR,” ujar Aria Indrawati, Ketua umum Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni).
Peneguhan komitmen
Pada tahun 2020, pemerintah menggelar peringatan HDI dengan cara berbeda melalui berbagai kegiatan secara daring dengan mengusung tema “Membangun Kembali Kehidupan yang Lebih Baik, Lebih Inklusif, Lebih Aksesibel dan Berkelanjutan Pasca-Pandemi Covid-19”. Rangkaian HDI sudah dibuka Menteri Sosial Juliari P Batubara sejak 18 November 2020 lalu.
Selain pengakuan akan eksistensi penyandang disabilitas, HDI 2020 sekaligus sebagai peneguhan komitmen seluruh bangsa untuk membangun kepedulian bagi perwujudan kemandirian, kesetaraan dan kesejahteraan penyandang disabilitas yang tidak boleh tertinggal dalam proses pembangunan.
Tak hanya itu, upaya menghilangkan hambatan, dan membuka peluang pemulihan kondisi ekonomi para penyandang disabilitas pasca pandemi Covid-19, untuk memastikan kualitas kehidupan penyandang disabilitas lebih baik, menjadi semangat HDI 2020.
Dalam diskusi “Sistem Pendataan Nasional yang Terintegrasi sebagai Tindak Lanjut Implementasi dari UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas” pada Rabu (2/3/2020), petang, Nurul Saadah Andriani, Direktur Sentra Advokasi Perempuan dan Anak Disabilitas menilai kebijakan pendataan penyandang disabilitas, belum sepenuhnya mengakomodir data penyandang disabilitas. Bahkan di masa pandemi saat ini masih ada sistem pendataan tumpang tindih, seperti dalam bantuan sosial.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kemensos, Harrry Hikmat menegaskan pemerintah terus berupaya keras mengimplementasikan UU Penyandang Disabilitas dalam pendataan penyandang disabilitas, serta berkoordinasi dengan berbagai kementerian/lembaga.
“Data terpilah penyandang disabilitas saat ini masih menggunakan konsep lama dengan istilah ‘cacat’. Karena itulah, Kemensos berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri agar menyesuaikan istilah sesuai dengan UU Penyandang Disabiltas,” katanya.
Sejak tahun 2018, Kemensos berinisiatif menerbitkan Kartu Penyandang Disabilitas (KPD) dalam bentuk e-KPD, yang datanya tidak berbeda dengan kartu tanda penduduk. Di dalam e-KPD ada keterangan tentang ragam disabilitas apakah fisik, intelektual, mental, atau pun sensorik.