Konten Tetap yang Terutama
Pesatnya disrupsi teknologi digital dialami industri perbukuan. Dikotomi format buku luring dan daring dianggap semakin tak relevan. Disrupsi ini pada akhirnya melahirkan persaingan soal konten dan kekayaan intelektual.
Dalam diskusi Jasa dan Dosa Platform Digital pada Sastra oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta, awal November 2020, penyair Joko Pinurbo membuka pengakuan bahwa dirinya tergolong terlambat mengikuti teknologi. Misalnya, membeli ponsel pintar, komputer jinjing, punya akun media sosial. Dia tidak memungkiri dirinya kalah cepat dibandingkan kebanyakan orang pada umumnya.
Dia baru mempunyai akun Twitter tahun 2012 dan itu pun karena ”provokasi” sejumlah rekan. Dia memiliki akun Instagram baru-baru ini di tengah situasi pandemi Covid-19.
Meski demikian, Jokpin begitu Joko Pinurbo biasa disapa, mengatakan bahwa dia akhirnya tetap bisa eksis. ”Saya lahir saat Orde Lama, diasuh Orde Baru, dan dikenal sebagai penyair pada masa reformasi. Dari zaman media untuk publikasi karya sastra masih terbatas hingga sekarang sangat terbuka,” ujarnya.
Pada awal 2000-an, Jokpin mengaku mengalami masa berdiskusi dan berlatih bersama dengan sesama penulis puisi di Yahoo Messenger. Dia pernah ”diculik” di jam-jam tertentu untuk menilai karya penulis muda. Dari Yahoo Messenger pula, dia mengenal berbagai komunitas sastra di ruang maya.
Baca juga: Model Bisnis Buku Bergeser Semakin Personal
Ketika mempunyai akun Twitter, Jokpin menggunakannya untuk berinteraksi sekaligus membaca kegelisahan-kegelisahan warganet. Dari iseng mengunggah kalimat-kalimat menyerupai puisi pendek hingga lahir buku puisi yang serius dia garap. Misalnya, buku puisi "Perjamuan Khong Guan".
"Saya menyadari karya saya semakin dikenal orang. Orang penasaran dengan puisi saya yang dibicarakan di Twitter, lalu beli buku puisi saya. Buku puisi saya bisa dicetak berulang-ulang sejak tahun 2016 dan untuk pertama kalinya saya merasa royalti itu nyata berkat promosi yang dilakukan tangan-tangan tak kelihatan di Twitter,” kata Jokpin.
Persoalan royalti
Pendiri Nulisbuku.com dan Storial.co, Brilliant Yotenega, membenarkan, masalah klasik yang sering disampaikan penulis yaitu pendapatan rendah karena persentase royalti kecil, yaitu sekitar 10 persen. Sementara mereka umumnya harus menunggu 6-12 bulan agar karyanya terbit jadi buku ”fisik”.
Dari sisi penerbit, masalah mereka yaitu margin profitabilitas rendah karena porsi besar yang masuk ke distributor dan toko buku. Masalah berikutnya, ketidakmampuan mereka untuk mengidentifikasi konten terlaris berikutnya berdasarkan selera pasar.
Selain penerbit, pembaca buku juga punya masalah, misalnya keterbatasan akses, variasi konten, dan daya beli. Harga buku fisik dikeluhkan mahal.
”Komposisi biaya penerbitan buku fisik terdiri dari 40 persen untuk toko buku, distributor 15 persen, penerbit 35 persen, dan royalti penulis 10 persen. Ini estimasi. Jika toko buku berada di pusat perbelanjaan, porsi biaya lebih besar,” ujar Yotenega.
Pada tahun 2005, permasalahan-permasalahan itu terus jadi perbincangan. Saat bersamaan, teknologi digital untuk memudahkan berkomunikasi mulai muncul. Sejalan dengan perkembangan itu, mesin cetak digital sudah masuk Indonesia dan dipakai sebagai proofreading alias mencetak draf awal karya tulis. Sebagai orang yang berlatar belakang desain produk, Yotenega telah mempunyai dugaan bahwa mesin cetak digital dapat dipakai untuk penerbitan buku secara mandiri atau self publishing.
Lima tahun kemudian, yakni 2010, bersamaan dengan meledaknya Twitter, dia meluncurkan Nulisbuku.com. Nulisbuku.com menjadi platform yang memungkinkan bisa menulis karya fiksi. Cetak buku fisik sesuai permintaan konsumen. Royalti penulis yang umumnya sekitar 10 persen bisa naik menjadi 17,6 persen.
Yotenega meluncurkan Storial.co pada tahun 2015 untuk beradaptasi dengan logika cara kerja teknologi digital yang semakin matang, yakni interaksi langsung penulis-pembaca. Siapa pun penulis fiksi yang tergabung di Storial.co dapat mengunggah dan menjual karya per bab, kemudian segera dapat komentar pembaca. Kesejahteraan penulis semakin lebih baik sebab royalti yang diterima penulis bisa mencapai 50 persen.
Baca juga: Industri Perbukuan Nasional Berada di Persimpangan Jalan
Penerbitan buku di Storial.co bisa berupa elektronik, yakni e-book dan audiobook. Saat ini, Storial.co mempunyai 70.000 judul, 290.000 bab, 25.000 penulis, dan pengguna terdaftar 300.000 orang. Rata-rata orang membaca karya sekitar 25 menit dan setiap hari rata-rata terdapat 70 judul baru masuk.
”Visi kami jangka panjang adalah bisa membuat penulis memperoleh royalti yang adil, proses penerbitan lebih cepat, jangkauan pembaca lebih luas, pembaca tersedia banyak pilihan jenis buku, dan harga terjangkau. Pembaca bisa membaca sampel karya sebelum beli, bahkan mau buku fisik maupun elektronik,” kata Yotenega.
Generasi muda
Senior Editor Gagas Media Ry Azzura mengingatkan bahwa bersamaan dengan booming teknologi digital untuk komunikasi dan mesin cetak digital, lahir generasi pembaca usia muda. Mereka memang masih mengalami persoalan mengakses buku seperti yang disampaikan Yotenega, seperti harga buku fisik mahal dan keterbatasan akses beli buku fisik. Di luar itu, mereka umumnya mau baca buku berdasarkan rekomendasi teman dan sosok yang dikenal di media sosial.
Dia malang melintang dari media sosial, blog, YouTube, sampai platform yang menampung berbagai genre tulisan, seperti Wattpad dan Storial.co. Dari sanalah dia menemukan blogger-influencer Gita Savitri (penulis buku Rentang Kisah), penyair-influencer Rintik Sedu (penulis buku Geez & Ann #1), hingga blogger-Youtuber Kevin Anggara (penulis buku Student Guidebook for Dummies).
”Jadi, penulis sekarang tidak harus punya pengikut berjumlah banyak di media sosial. Saya menemukan penulis horor di salah satu platform yang menampung tulisan, pengikutnya sedikit, tetapi karyanya bagus. Tugas saya sebagai editor (dan penerbit) adalah membuatnya meningkatkan konsistensi kualitas tulisan sehingga semakin layak diterima pembaca,” kata Ry.
Baca juga: Penerbit Lokal Menuju Panggung Global
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman mempunyai pandangan senada. Digitalisasi memperluas akses terhadap naskah. Penerbit apa pun skala usahanya semakin banyak peluang mengakuisisi naskah, bahkan sebagian di antara naskah sudah terukur tingkat penerimaannya dari pembaca.
”Tinggal kejelian penerbit untuk memilih naskah dan mengalihkannya ke dalam format buku,” ujarnya.
Di negara dengan kultur baca yang baik, penurunan penjualan buku format cetak tergantikan dengan kenaikan penjualan buku elektronik. Kendati mengalami kenaikan jumlah pengguna buku elektronik, survei justru menunjukkan bahwa preferensi terhadap buku format cetak jauh lebih besar dan semakin besar.
Di Indonesia, baik penjualan buku format cetak maupun buku elektronik sama-sama merosot sejak 2010 hingga 2017, lalu sama-sama naik sedikit pada 2018-2019. Ketika pandemi Covid-19 datang, buku format cetak kertas terpuruk, sedangkan buku format elektronik melonjak meskipun belum mampu menggantikan pendapatan penerbit dari buku kertas.
”Nilai penjualan buku elektronik tidak sampai 5 persen buku cetak, bahkan ada penerbit besar dengan produksi ribuan judul per tahun hanya mencatatkan 1 persen pangsa buku elektroniknya,” katanya.
Kerja sama dengan lokapasar daring berhasil mendongkrak penjualan buku format cetak, terutama untuk buku-buku kategori umum, tetapi tidak terlalu berhasil bagi para penerbit buku sekolah atau buku teks. Tingkat keberhasilan penjualan dengan cara itu juga bergantung pada kesiapan penerbit.
Bagi penerbit yang sudah terbiasa berjualan secara daring dan memiliki kapasitas pemasaran digital yang sudah terbangun sangat terbantu. Apalagi, bagi penerbit yang sudah lebih maju mengembangkan basis penggemar atau pengikut di media sosial, mereka mudah beradaptasi dengan disrupsi digital.
Dunia konten
Dengan disrupsi teknologi digital yang semakin canggih, baik di bidang komunikasi maupun perangkat cetak, perubahan perilaku masyarakat terjadi. Generasi konsumen usia muda juga semakin bertambah banyak.
Ketua Yayasan 17.000 Pulau Imaji Laura Bangun Prinsloo memandang ”buku” pun akhirnya diperlakukan sebagai konten kreatif. Penulis dan penerbit bisa sepakat berbagai opsi penyajian, seperti buku format cetak kertas, format elektronik berupa e-book, dan format elektronik audiobook.
Dari format-format tersebut dapat dikembangkan lagi, semisal menjadi konten film. Hal seperti itu mendorong penerbit tidak lagi melulu ke sesama penerbit, tetapi dengan pengelola penyaji atau distributor konten kreatif lainnya.
Jakarta Content Week 2020 (JakTent) yang berlangsung beberapa waktu lalu, misalnya, telah menyediakan platform Frankfurt Rights dan JakTent Go Invest. Platform Frankfurt Rights memungkinkan siapapun penulis bisa mengunggah naskah buku mereka. Penerbit dan agen akan membeli hak kekayaan intelektual atas karya penulis. Sementara platform JakTent Go memungkinkan penulis buku dan kreator konten lainnya ”bersaing” untuk mendapatkan pendanaan.
”Kualitas penulis Indonesia, seperti penulis sastra, dicari dan diakui dunia internasional. Dalam ajang JakTent 2020, salah satu rights agent terbesar di dunia ikut hadir,” kata Laura saat dihubungi 16 November 2020.
Baca juga: Perkembangan Film Didukung Konten
Sastrawan Martin Suryajaya yang dihubungi Minggu (29/11/2020) mempunyai pandangan senada dengan Laura. Penulis sastra ataupun penerbit semestinya tidak bersikap defensif terhadap teknologi digital. Justru sebaliknya, disrupsi itu menyingkapkan hakikat sebenarnya dari industri perbukuan. Dengan disrupsi 4.0 itu, inti bisnis perbukuan bukanlah buku, melainkan konten.
”Dan bukan hanya produksi konten, melainkan juga pengelolaan konten, yaitu keseluruhan rantai-nilai mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi konten menjadi konten yang baru,” ujarnya.
Martin mencontohkan almarhum sastrawan Sapardi Djoko Damono yang difasilitasi Gramedia untuk kolaborasi dengan penyair-influencer Rintik Sedu. Dalam konteks ini, Gramedia bukan sekadar menjalankan bisnis perbukuan, melainkan bisnis konten dan kekayaan intelektual dengan merek ”Sapardi Djoko Damono”.
Tidak dikotomi
Kritikus sastra Dewi Anggraeni menambahkan, sudah saatnya tidak lagi mendikotomikan ”luring” dan ”daring”. Ranah digital memungkinkan keragaman, mulai genre buku yang saling berkelindan hingga bentuk telaah kritisnya.
Definisi degradasi mutu karya sastra yang sering ditanyakan publik, kata Dewi, perlu diperinci. Jika maksud degradasi mutu adalah edit-an atau mengubah tulisan, Dewi menilai hal itu urusan editor dan penulis. Apabila degradasi mutu yang dimaksud menyangkut tema penulisan, seperti selera pasar atau bukan, Dewi berpendapat hal itu tidak pas diperdebatkan.
”Ranah digital memudahkan warga atau pembaca mencocokkan konten mana yang sesuai dengan selera mereka,” tutur Dewi.
Menurut Martin, aneka ajang penghargaan sastra di Indonesia semestinya juga mulai membuka diri terhadap gejala baru industri konten tersebut. Sebagai contoh, penghargaan bagi kekayaan intelektual sastra yang telah dimanfaatkan dalam wahana lain, seperti film, gim video, dan musik. Sebagai bagian dari industri konten, ajang penghargaan seperti itu sudah sepatutnya memberikan penghargaan bagi karya dengan efek pelipat-ganda.
Jaga kualitas karya
Yotenega menyampaikan, Storial.co mempunyai penulis-penulis dengan aneka genre berkualitas, baik dari sisi kebaruan tema maupun eksekusi penulisan karya. Setiap bulan, Storial.co menggelar kompetisi menulis dan penjuriannya pun tidak memilih berdasarkan opini pasar, tetapi tema dan eksekusi.
”Jangan khawatir buku format cetak kertas akan menghilang. Di ranah digital seperti sekarang, eksperimen pemasaran dan format buku bisa dimainkan. Buku Rahasia Salinem laris dibeli format elektronik sekaligus cetak kertas,” tutur Yotenega.
Salah seorang editor di Teroka Press, Fariq Alfaruqi, menyampaikan, sebagai penerbit kecil yang lahir di tengah perkembangan ranah digital, Teroka Press konsisten mengangkat buku sastra. Tren genre buku yang kini terus berkembang semakin bervariasi akan mempunyai ekosistem peminatnya masing-masing. Buku-buku sastra yang diterbitkan Teroka Press, seperti novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang, memiliki segmennya sendiri.
Baca juga: Buku, antara Pembajakan dan Pemajakan
Novel Burung Kayu memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2020. Novel ini berangkat dari hasil penelitian lapangan dan riset-riset antropologi tentang kehidupan etnis asli Mentawai yang dikumpulkan Niduparas Erlang.
Niduparas menceritakan, tema masyarakat asli Mentawai terakhir kali ditulis oleh sastrawan Balai Pustaka A Damhoeri dan itupun sarat stereotipe negatif. Dia mencoba dengan pendekatan berbeda, yakni mengangkat kebenaran sesuai masyarakat asli Mentawai. Pembaca mudah mencari dan membeli novel itu melalui lapak-lapak daring.
”Meski novel saya ditulis di tengah disrupsi digital, saya tidak memikirkan target pasar. Saya cuma membayangkan buku saya disukai orang-orang yang tertarik dengan sastra bertemakan kebudayaan. Saya pun kemungkinan akan tetap konsisten dengan pendekatan ini untuk karya-karya berikutnya,” ujar Niduparas.
Baca juga: Menanti Ketegasan Negara Membela Perbukuan
Sementara Jokpin menganggap ranah digital memang punya jasa besar terhadap penyair, baik lama maupun pendatang baru. Dia, secara pribadi, memperoleh banyak inspirasi untuk bahan penulisan karya-karyanya serta bisa berinteraksi langsung dengan pembacanya. Telaah-telaah kritis yang semakin bervariasi format ataupun bentuk bermanfaat bagi pembaca untuk mendalami karya sastra, sedangkan bagi penulis bisa membangun kualitas karyanya semakin baik.
Akan tetapi, dia mengingatkan ranah digital juga punya kekurangan yang tidak boleh diabaikan, yakni semakin memudahkan aksi pembajakan kekayaan intelektual. Selain itu, alih media konten pun rentan dengan manipulasi.