Temuan repihan kuno memperkuat dugaan posisi penting Situs Sumberbeji di Kesamben, Ngoro, Jombang, Jawa Timur, sebagai petirtaan suci dalam peradaban klasik masa Kahuripan-Majapahit.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
JOMBANG, KOMPAS – Temuan repihan kuno antara lain jaladwara, koin, pecahan keramik dan tulang selama ekskavasi tahap ketiga kurun 23-30 November 2020 memperkuat dugaan posisi penting Situs Sumberbeji di Kesamben, Ngoro, Jombang, Jawa Timur, sebagai petirtaan suci dalam peradaban klasik masa Kahuripan-Majapahit.
Selama ekskavasi tahap ketiga oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim dibantu Pemerintah Kabupaten Jombang melalui aparatur Desa Kesamben, petirtaan yang sebelumnya merupakan embung untuk pengairan persawahan di Dusun Sumberbeji, tertutup dari kunjungan masyarakat.
Penutupan bertujuan agar aktivitas penggalian dengan target memperlihatkan dasar lantai pemandian itu sesuai dengan permintaan penerapan protokol kesehatan dalam masa wabah Covid-19.
Senin (30/11) merupakan hari terakhir ekskavasi dengan kegiatan pengurasan air, pembuatan saluran pembuangan air, dan parit darurat untuk mencegah air masuk ke kolam dari daratan sekelilingnya. Tahun depan, meski belum dipastikan bulan, perlindungan terhadap situs kuno itu akan dilanjutkan dengan kegiatan penggalian mengungkap struktur saluran tertutup ke mata air dan ujung pembuangan, dan studi rencana pemugaran.
Kalau tulang itu perlu diteliti lebih jauh apakah punya manusia atau hewan dan apakah dari masa silam atau bukan (Wicaksono Dwi Nugroho)
Dalam delapan hari ekskavasi, tim arkeologi menemukan temuan antara lain jaladwara atau kepala pancuran air dari batu andesit yang terlepas dari struktur tepi kolam kuno itu. Juga ditemukan koin kuno dan pecahan keramik dari abad ke-14. Selain itu, anting lonceng, gelang tembaga diduga bagian dari kekang kuda, dan gelang dari emas tetapi sudah penyok yang sempat terkubur material lumpur.
“Kalau tulang itu perlu diteliti lebih jauh apakah punya manusia atau hewan dan apakah dari masa silam atau bukan?,” kata arkeolog BPCB Jatim Wicaksono Dwi Nugroho di sela pemantauan hari terakhir ekskavasi di Sumberbeji.
Setelah ekskavasi, Situs Sumberbeji akan diserahkan kembali ke Pemerintah Kabupaten Jombang dan Desa Kesamben. Kepala Desa Kesamben WS Yudha mengatakan, setelah diserahkan oleh BPCB, pemerintah akan membuka petirtaan itu kembali sebagai objek wisata. Namun, karena masih dalam masa pagebluk, di lokasi juga akan diterapkan protokol kesehatan secara ketat.
“Terpaksa akan ada pembatasan, pengunjung harus disiplin protokol, dan sebagainya,” kata Yudha.
Menurut Wicaksono dan Yudha, situs itu bisa didatangi kembali oleh publik dengan protokol paling cepat pada Selasa (1/12) atau Rabu (2/12).
Struktur bata kuno di Situs Sumberbeji ditemukan oleh kalangan warga ketika membersihkan dan menggali endapan lumpur dari embung atau sendang yang selama ini menjadi sumber air untuk persawahan di sekitarnya pada pekan keempat Juni 2019.
Temuan
Temuan itu kemudian dilaporkan dan ditindaklanjuti dengan survei, ekskavasi, dan penelitian geolistrik dan georadar. Sejauh ini telah ditemukan belasan arca jaladwara atau kepala pancuran dan banyak repihan kuno lainnya terutama pecahan keramik dan uang logam dari abad ke-14 atau masa Majapahit.
Namun, di sini juga ditemukan arca garuda dari batu andesit yang ditafsirkan oleh kalangan arkeolog merupakan perwujudan Airlangga, Raja Kahuripan. Ukuran bata di petirtaan berukuran panjang sampai 38 sentimeter (Cm), lebar sampai 20 Cm, dan tinggi atau tebal sampai 7 Cm. Dimensi bata ini lebih besar daripada masa Majapahit. Situasi ini memunculkan indikasi bahwa Sumberbeji merupakan tinggalan masa Airlangga dari abad ke-11.
Mirip situs
Petirtaan ini mirip dengan situs Candi Tikus di Trowulan, Mojokerto, yang diyakini merupakan pemandian bagi keluarga bangsawan. Kemiripan ini, menurut Wicaksono, ditambah banyak temuan repihan yang semasa Majapahit mengindikasikan ada keterkaitan dengan imperium kuno itu.
Sekitar 2 kilometer di utara Sumberbeji pada 2016 dan 2017 pernah ditemukan struktur bata kuno yang mengindikasikan adanya kompleks peradaban dari masa Majapahit.
Lokasi itu berada dalam wilayah antardesa di Jombang yakni Dusun Kedaton, Desa Bulurejo, Diwek dengan Dusun/Desa Sugihwaras, Ngoro. Sekitar 10 Km di timur Sumberbeji terdapat Candi Rimbi/Arimbi di Pulosari, Bareng, Jombang yang diinterpretasikan merupakan penghormatan bagi sosok Rani Majapahit Tribhuwana Wijayatunggadewi (Bhre Kahuripan).
Tribhuwana sebelum dinobatkan sebagai penguasa ketiga Majapahit berkuasa sebagai Bhre Kahuripan. Di Candi Rimbi yang diyakini dibangun oleh Hayam Wuruk untuk penghormatan terhadap ibundanya yakni Tribhuwana juga terdapat arca garuda. Dasar candi adalah bata merah pra-Majapahit tetapi susunan bangunan dari batu andesit.
Wicaksono mengajukan hipotesis bahwa keberadaan struktur bata kuno yang diduga kompleks di Kedaton-Sugihwaras merupakan bagian peradaban Kahuripan yang ditunjang oleh Sumberbeji sebagai pentirtaan. Amat mungkin di Jombang inilah Airlangga mendirikan Kahuripan yang peradabannya dilanjutkan di masa Tribhuwana.
Gelar Bhre Kahuripan pada Tribhuwana memperjelas bahwa Kahuripan tetap ada dari masa Airlangga sampai Majapahit. Begitu pula nama Bhre Wengker dan Bhre Dhaha dimana Wengker dan Dhaha merupakan kerajaan yang sudah eksis jauh sebelum Majapahit.