Cara mengajar konvensional dengan sebatas meminta siswa mengerjakan soal masih jamak ditemukan selama praktik pembelajaran jarak jauh.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cara pembelajaran konvensional masih dominan dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar dari rumah akibat pandemi Covid-19. Hal itu menyebabkan proses belajar siswa tidak efektif.
Berdasarkan hasil survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ”Belajar dari Rumah Tahun Ajaran 2020/2021, Perubahan dalam Proses Kegiatan Belajar-Mengajar (Agustus 2020)”, pemberian tugas melalui soal-soal masih dominan dipakai guru jenjang dasar-menengah pada semester gasal tahun ajaran 2020/2021. Sebanyak 92,3 persen responden guru yang disurvei menyebutkan hal itu.
Pada semester sebelumnya yang juga sudah terjadi pandemi Covid-19, pemberian tugas berupa soal dominan dipakai. Sebanyak 80,7 persen responden guru jenjang dasar hingga menengah menyampaikannya saat disurvei.
Dari sisi siswa yang disurvei, mereka menyebutkan cara belajar selama semester gasal tahun ajaran 2020/2021 lebih beragam meskipun aktivitas mengerjakan tugas melalui soal-soal masih dominan. Sebanyak 79,9 persen responden siswa yang disurvei menyebutkan semester sekarang dominan mengerjakan tugas dari guru berupa soal-soal.
Pada semester sebelumnya yang juga masuk masa pandemi Covid-19, cara belajar dengan mengerjakan tugas guru berupa soal-soal dipilih 86,6 persen responden siswa.
Survei tersebut dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan dan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemedikbud. Survei ini mengambil sampel 384 guru dari jenjang PAUD hingga SMA/SMK dan 384 siswa SD hingga SMA/SMK. Survei dilakukan dengan cara wawancara via telepon dan daring pada 8-15 Agustus 2020.
Koordinator Peneliti Pendidikan di Pusat Penelitian Kebijakan Balitbangbuk Kemendikbud Nur Berlian mengatakan, setelah memberikan tugas berupa soal, cara mengajar dominan yang dipakai guru pada semester gasal 2020/2021 yaitu meminta siswa belajar menggunakan buku teks. Lalu, meminta siswa belajar menggunakan sumber elektronik, diikuti pemberian materi interaktif melalui media daring, baca buku pengayaan, dan terakhir membuat proyek kreativitas. Kondisi tersebut mirip dengan semester sebelumnya.
”Media sosial masih menjadi saluran komunikasi paling populer yang guru gunakan untuk berinteraksi dengan siswa,” ujar Nur saat menghadiri acara Temu Inovasi #10 ”Kreativitas Guru dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ): Bagaimana Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi di Masa Pandemi Covid-19?”, Kamis (26/11/2020), di Jakarta.
Selain media sosial, responden guru yang mengaku tinggal di daerah tertinggal berkomunikasi dengan siswa melalui kunjungan ke rumah dan tatap muka di sekolah. Sementara di daerah nontertinggal, responden guru mengaku memanfaatkan aplikasi kelas daring dan video konferensi untuk berkomunikasi.
Lama belajar
Secara nasional, rata-rata lama interaksi guru dan siswa sedikit mengalami penurunan dibandingkan semester lalu. Nur mengatakan, rata-rata lama interaksi guru ke siswa mencapai 8,1 jam per minggu pada semester gasal 2020/2021. Pada semester sebelumnya, rata-rata lama interaksi mencapai 9,3 jam per minggu.
Dari sisi cara penilaian kepada siswa, dia menyebutkan lebih dari setengah dari responden guru mengombinasikan pendekatan kualitatif-kuantitatif pada semester gasal 2020/2021. Kondisi ini berbeda dibandingkan semester sebelumnya.
Berdasarkan frekuensi belajar dalam seminggu, saat semester gasal tahun ajaran 2020/2021, sebanyak 59,9 persen responden siswa menyebut setiap hari belajar. Sementara semester sebelumnya, 44,4 persen responden guru belajar 2-4 hari seminggu.
Menurut dia, secara umum, sebagian besar siswa merasa proses belajar dari rumah cukup efektif meskipun tidak sedikit siswa yang ragu-ragu atau berpendapat sebaliknya.
Nur menambahkan, temuan survei merekomendasikan agar Kemendikbud memberikan pendampingan guru sehingga pembelajaran konvensional yang membebani siswa dapat diminimalkan. ”Pendampingan yang sama juga diperlukan agar lebih banyak guru dapat melakukan asesmen diagnostik sehingga variasi kemampuan siswa dapat dipetakan terlebih dulu. Tujuannya agar proses belajar efektif sesuai kebutuhan dan tingkat kemampuan siswa,” kata Nur.
Guru Besar Pendidikan Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Anita Lie, mengatakan, dirinya percaya guru beradaptasi dengan kondisi pandemi Covid-19. Dari pengamatannya, sejumlah guru mau mengubah cara mengajar konvensional menuju terpusat pada kebutuhan siswa dan mengadopsi teknologi digital.
Guru tidak boleh menyerah menghadirkan cara-cara belajar sesuai kondisi.
”Teknologi digital tidak akan mengubah peran guru, yakni memfasilitasi pembelajaran kolaboratif dan berpikir kritis. Kondisi siswa dan keluarganya berbeda-beda. Guru tidak boleh menyerah menghadirkan cara-cara belajar sesuai kondisi,” katanya.
Guru kelas 4 SD Negeri Repok Puyung, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Yulia Hidayati, menceritakan, selama masa praktik PJJ akibat pandemi Covid-19, dia memilih metode guru kunjung. Cara pembelajaran yang diambil adalah interaktif sesuai kebutuhan siswa, Misalnya pembuatan media peraga berhitung yang berbahan kain.
Dia memilih mengadopsi kurikulum darurat yang dibuat oleh Kemendikbud karena kompetensi isi dan dasar sudah disederhanakan. Apabila masih ada siswa mengalami kesulitan, dia memutuskan akan tinggal lebih lama untuk mengajar anak bersangkutan.
”Kebanyakan siswa saya adalah anak dari orangtua pekerja migran Indonesia di luar negeri. Kalau sebatas memberikan tugas soal, saya tidak tega. Saya memilih tetap berkunjung dan menerapkan cara belajar interaktif agar mereka senang dan dapat perhatian,” ujar Yulia.
Guru Fisika SMA Negeri 1 Kendari, Sulawesi Tenggara, Nafarudin, menceritakan, sebelum tahun ajaran 2020/2021, interaksi guru dan siswa berkutat di media sosial. Dia mengajar sampai memberikan tugas melalui aplikasi itu.
Dia mengajar tujuh kelas dengan total siswa sebanyak 250 orang. Akibatnya, cara pembelajaran melalui aplikasi media sosial dirasa kurang efektif. Setelah itu, dia coba memakai beberapa platform edukasi, seperti Google Classroom. Dengan cara ini, dia berkreasi membuat soal yang bisa memancing kemampuan berpikir kritis siswa.