Kian Didera Kekerasan, Korban Tetap Tak Berani Bersuara
Kekerasan dalam rumah tangga menjadi momok bagi sejumlah perempuan, terutama di masa pandemi Covid-19. Namun, hanya sedikit yang berani bersuara. Dukungan psikologis sangat penting untuk membuat korban bersuara.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Diam di rumah bukan berarti aman dan nyaman untuk perempuan. Sebelum dan saat pandemi Covid-19 berlangsung, sejumlah perempuan telah hidup di lingkaran kekerasan dalam rumah tangga. Pandemi memperburuk situasi kekerasan terhadap perempuan. Tak tahan dengan kekerasan berlapis yang diterima, sejumlah perempuan akhirnya memutuskan keluar dari rumah untuk menghindari pelaku.
Beberapa di antaranya memberanikan diri menghubungi atau mendatangi lembaga layanan korban untuk mendapatkan perlindungan. Namun, jumlah yang tidak berani melangkah keluar dari rumah karena tidak berdaya serta tidak tahu harus mengadu atau melapor ke mana masih banyak, terutama perempuan yang berada di wilayah pelosok yang jauh dari jangkauan lembaga layanan korban.
Di Jakarta dan sekitarnya, para perempuan korban kekerasan mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta. Di masa pandemi, jumlah pengaduan terus meningkat. Sejak adanya pembatasan sosial, kerja dari rumah (work from home) periode 16 Maret-November 2020, LBH APIK Jakarta menerima 710 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan, baik melalui hotline, media sosial, maupun surat elektronik (e-mail).
Jumlah tersebut cukup tinggi dibandingkan pada tahun 2019 yang dalam satu tahun mencapai 794 pengaduan. Sementara pada tahun 2020, hanya dalam waktu 9 bulan jumlah pengaduan sudah mencapai 700-an, atau meningkat sekitar 85 persen kasus dari tahun sebelumnya.
Dari jumlah tersebut, kasus yang paling banyak dilaporkan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yaitu 225 kasus, menyusul kekerasan berbasis gender online (KBGO) 196 kasus, kekerasan seksual (80 kasus), kekerasan dalam pacaran (71 kasus), dan pidana umum (41 kasus). ”KGBO meningkat di masa pandemi,” ujar Tuani S Marpaung, anggota staf Bagian Hukum LBH APIK Jakarta, pada Selasa (24/11/2020), menyambut Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2020: ”Gerak Bersama Ciptakan Ruang Aman di Masa Pandemi”.
Tingginya pengaduan kasus KDRT di tahun 2020 dan 2019 sesungguhnya membuktikan betapa rumah belum menjadi tempat aman untuk perempuan. Bahkan, di masa pandemi, posisi perempuan semakin berat. Tidak hanya rentan tertular virus korona jenis baru, tetapi juga rentan menjadi korban kekerasan karena berbagai faktor, seperti ekonomi, psikologis, dan kesehatan.
Pada saat menjadi korban kekerasan, perempuan lebih sulit keluar rumah untuk melaporkan kasusnya. Penerapan bekerja dari rumah membuat pelaku dapat selalu memantau aktivitas korban.
Di sisi lain, ketika perempuan mengambil keputusan keluar dari rumah untuk menghindari pelaku, berbagai tantangan harus dihadapi perempuan. Selain, sulitnya mengakses rumah aman, ketika melaporkan kasusnya, proses hukum juga tidak berjalan mudah.
Selama pandemi, banyak rumah aman yang tutup, sementara untuk mengakses rumah aman milik pemerintah, para korban berhadapan dengan prosedur, yakni harus melewati tes Covid-19 yang biayanya ditanggung korban. Sejauh ini, LBH APIK Jakarta telah menyediakan rumah aman darurat untuk 35 orang korban, yakni perempuan (20 orang) dan anak, baik laki-laki maupun perempuan, sebanyak 17 orang.
Kesulitan para korban mengakses rumah aman menggerakkan hati sejumlah kalangan untuk ikut menyediakan layanan rumah aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan, seperti yang dilakukan Flo Harto melalui House of Grace. ”Kita merasa perempuan, baik di offline maupun online, ruang amannya makin sedikit. Itulah alasan kenapa kita perlu ciptaka ruang aman dan nyaman buat semua perempuan di Indonesia,” kata Direktur LBH APIK Siti Mazuma, menambahkan.
Korban memilih diam
Kesulitan perempuan korban kekerasan selama masa pandemi juga diakui Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Bahkan, kajian Komnas Perempuan pada awal pandemi Covid-19 (April-Mei 2020), kurang dari 10 persen perempuan korban kekerasan yang berani bersuara dan melaporkan kasus kekerasan yang dialami ke lembaga pengada layanan.
Sebagian besar lebih memilih sikap diam atau hanya memberitahukan kepada saudara, teman, dan/atau tetangga. Bahkan, para korban yang tidak melaporkan kasusnya terutama berlatar belakang pendidikan tinggi.
Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, mengungkapkan, sebelum pandemi, laporan dari perempuan korban KDRT justru sangat tinggi karena mereka bisa langsung datang melaporkan ke lembaga pengada layanan korban kekerasan. Karena itu, ketika pandemi berlangsung, perempuan korban KDRT tidak berani memilih laporan melalui daring.
”Ini beda dengan laporan kekerasan daring yang naik. Itu karena psikologi perempuan-perempuan kita yang tidak nyaman kalau ngomong langsung. Sebab, biasanya, kalau mereka datang ke Komnas Perempuan, mereka bisa menangis, mengadu apa pun, bahkan hanya didengarkan oleh kita saja mereka sudah cukup merasa dibantu. Jadi mungkin perlu ada pendampingan psikologi secara langsung,” tutur Mariana.
Ruang-ruang untuk pendampingan secara psikis menjadi penting di saat perempuan-perempuan korban tidak berani berbicara secara daring. Penyediaan tenaga psikolog di setiap lembaga pengada layanan yang dikelola lembaga pengada layanan ataupun pemerintah menjadi salah satu solusi untuk mendengarkan suara-suara perempuan korban agar mereka bisa keluar dari lingkaran kekerasan.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Pada hari pertama kampanye HAKTP 2020, Rabu (25/11/2020), berbagai aksi digelar organisasi masyarakat sipil dan sejumlah lembaga, seperti yang dilakukan Jaringan Muda Setara dan Aliansi Perempuan Serikat Buruh menggelar Aksi Bersama 16 HAKTP di depan Gedung DPR. HAKTP 2020 akan berlangsung hingga 10 Desember mendatang.
Dalam aksi tersebut, mereka menyatakan dukungan kepada DPR untuk menetapkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai prioritas.
Pada hari yang sama, The Body Shop® Indonesia bersama sejumlah organisasi perempuan menggelar aksi berjudul ”500 Langkah Awal: Sahkan RUU PKS” dengan mengusung #TBSFightForSisterhood di kawasan gedung MPR/DPR/DPD Jakarta.
Gerakan 500 Langkah Awal merupakan bagian dari rangkaian kampanye, dengan menampilkan 500 lebih pasang sepatu sebagai bentuk dukungan terhadap kampanye Stop Kekerasan Seksual. Adapun sepatu-sepatu tersebut merupakan dukungan yang dikirim oleh pelanggan, karyawan, serta kolega.