Perilaku Seks Pranikah Anak Muda Tetap Berlangsung Selama Pandemi
Pandemi tak menyurutkan aktivitas sebagian remaja dalam melakukan seks pranikah. Aktivitas berisiko itu rentan menjerumuskan remaja pada berbagai persoalan yang ujungnya mengancam produktivitas bangsa.
Di tengah berbagai pembatasan selama pandemi Covid-19, sebagian remaja tetap melakukan seks pranikah. Namun, aktivitas berisiko itu luput dari perhatian banyak pihak. Tanpa pemahaman dan kemampuan mengendalikan diri yang baik, tindakan itu rentan menjerumuskan remaja pada berbagai persoalan yang mengancam produktivitas bangsa.
Sebagai dorongan insting manusia, hasrat seksual akan muncul kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi apa pun. Tak peduli dalam masa bencana, pembatasan sosial, atau terkurung sekalipun. Kendala tak menutup tekad manusia mencari celah demi mendapat kepuasan seksual sesaat.
Survei daring remaja terhadap 831 responden berumur 18-24 tahun di 10 provinsi yang dilakukan Aliansi Satu Visi (ASV), kumpulan organisasi pemerhati isu hak kesehatan seksualitas dan reproduksi pada 22 September-6 Oktober 2020 menunjukkan 6,74 persen remaja melakukan hubungan seks pranikah selama pandemi.
”Dibandingkan sebelum pandemi, jumlah itu turun. Namun itu menunjukkan tetap ada remaja berperilaku seksual aktif,” kata Ketua Dewan Pengurus ASV Komang Sutrisna dihubungi dari Jakarta, Sabtu (7/11/2020).
Baca juga: Pendidikan Kesehatan Reproduksi Kian Terhambat
Sebelum pandemi, ada 12 persen remaja laki-laki dan 5 persen remaja perempuan melakukan seks pranikah. Selama pandemi, jumlahnya turun menjadi 7 persen untuk laki-laki dan 4 persen bagi perempuan. Repotnya, 44 persen anak muda yang melakukan seks pranikah itu tidak menggunakan kontrasepsi atau pengaman.
Penurunan aktivitas seks pranikah itu terjadi di semua kelompok responden, baik pekerja formal, informal, maupun pekerja di kawasan prostitusi. Tidak jelas apa yang jadi pemicu penurunan, tetapi survei menunjukkan 75 persen responden berpikir hubungan seksual bisa menularkan Covid-19 dan 81 persen responden berpendapat ciuman dapat menularkan Covid-19.
Tak hanya perilaku seks pranikah remaja yang berubah, pandemi ikut mengubah aktivitas seksual mereka. Walau jumlah anak muda yang berpelukan dan petting (menggesekkan kelamin) relatif tetap, jumlah remaja yang berciuman turun hampir separuhnya dan yang melakukan necking (mencium leher) berkurang sekitar sepertiganya.
Selain itu, 2 dari 3 anak muda laki-laki serta 1 dari 3 anak perempuan menonton pornografi selama pandemi. Bahkan 41,83 persen remaja laki-laki dan 31,58 persen remaja perempuan kecanduan pornografi.
”Ketergantungan pornografi membuat mereka sulit tidur, susah belajar, serta memengaruhi relasi dan cara pandang terhadap lawan jenis,” kata Komang.
Seks positif
Situasi itu membuat pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) penting diberikan pada anak-anak sesuai perkembangan umurnya. Namun perdebatan soal perlu tidaknya pendidikan itu masih terjadi hingga kini. Mereka yang menolak menuding PKRS hanya mengajarkan soal sanggama dan bisa mendorong anak melakukan seks bebas.
PKRS bukan sekadar mengajarkan anak tentang bersanggama karena tanpa diajarkan pun, manusia bisa melakukannya. Diane Gleim, terapis seks yang mengampanyekan seks positif dalam tulisannya di Psychology Today, 19 Februari 2020, menyebut, seks yang dimaknai sebagai persanggamaan adalah sesuatu yang alamiah, insting, atau naluri manusia.
Baca juga: Saat Kesehatan Reproduksi Masih Direkatkan dengan Pelajaran Biologi
Insting itu bersifat otomatis dan bawaan lahir manusia, sama seperti munculnya lapar, haus, menjaga keselamatan diri, menghindari rasa sakit, menjadi anggota kelompok, serta kebutuhan berkuasa. Seks juga bersifat alami karena tubuh manusia punya hormon, pikiran, dan dorongan yang bisa menimbulkan sensasi terangsang yang biasanya perlu diekspresikan.
”Meski insting seksual itu tertanam pada manusia, naluri itu tidak datang dengan pengetahuan tentang bagaimana berhubungan seks atau apa yang harus dipikirkan soal seks,” katanya.
Walau seks itu alami, perilaku seksual tidak alami karena hal itu dipelajari manusia melalui berbagai proses, baik dari keluarga, agama, sekolah, hukum, media, budaya, maupun trauma.
PKRS penting diberikan untuk membentuk perilaku seksual positif. Namun penabuan, anggapan pembawa dosa, ketidakcukupan pengetahuan, dan kendala saat mengomunikasikan membuat PKRS yang diberikan pada anak dan remaja tidak pernah tuntas. Bahkan, banyak hal mendasar, seperti cara menjaga kebersihan saat menstruasi, belum banyak dipahami remaja.
”Seseorang dengan sikap seks positif akan memiliki pemahaman tentang tubuh, perasaan, pemikiran, dan seksualitasnya,” tambah psikolog seksual Zoya Amirin dalam webinar Kesehatan Reproduksi dan Kelahiran Usia Remaja, Rabu (4/11).
Mereka yang memiliki sikap seks positif juga akan nyaman dengan seksualitas dirinya, mampu memaknai pengalaman cinta dan seksualitasnya, serta tidak menghakimi atau menstigma orang lain dengan pilihan, nilai, sikap, dan kepercayaan yang berbeda dengan dirinya.
Baca juga: Hoaks tentang Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Mengintai Siswa
Selama seks masih dipandang sebagai hal negatif, kotor, salah, dan penuh dosa, anak akan sulit memaknai pengalaman cinta dan seksualitasnya, termasuk saat menjalin relasi dengan orang lain. Pandangan seks negatif juga akan membuat seseorang mudah menstigma orang dengan nilai, sikap dan kepercayaan berbeda.
Kebutuhan akan PKRS makin besar mengingat tingginya jumlah anak yang melahirkan di Indonesia. Perhitungan Badan Pusat Statistik berdasar Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2015 menunjukkan 0,286 dari 1.000 anak perempuan usia 10-14 tahun atau sekitar 3.000 anak perempuan sudah melahirkan. Sementara untuk remaja, 36 kelahiran di antara 1.000 perempuan usia 15-19 tahun berdasar data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017.
Baca juga: 3.000 Anak Umur 10-14 Tahun Melahirkan
Selain itu, sebagian remaja, baik laki-laki maupun perempuan, juga menyetujui perkawinan usia anak. Survei ASV menemukan, menikah dianggap sebagai jalan keluar dari kesulitan ekonomi yang dialami remaja selama pandemi. Padahal, pernikahan yang dilakukan tanpa kesiapan fisik dan mental bisa menjerumuskan mereka dalam berbagai persoalan hidup.
Psikoseksual
Usia remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Saat itu, fisik, kemampuan berpikir (kognitif), dan mental emosional mereka sedang berkembang pesat. Karena itu, hubungan seks di usia remaja bisa memengaruhi suasana hati dan perkembangan otak mereka hingga dewasa. Jika sampai terjadi kehamilan, tumbuh kembang fisik mereka pasti juga akan terganggu.
Dalam teori perkembangan psikoseksual Sigmund Freud, anak umur lebih dari 12 tahun berada dalam fase genital. Saat itu, mereka sudah memasuki atau menjelang masa pubertas hingga mulai muncul ketertarikan kepada orang lain, rasa cinta, dan dorongan seksual atau rangsangan erotis.
Fase genital merupakan fase paling kritis dalam perkembangan psikoseksual anak karena mereka mulai mengeksplorasi fisik dan pengalaman seksual. Keingintahuan mereka terhadap segala hal, termasuk soal seksualitas, sangat tinggi.
Karena itu, jika remaja tidak dibekali pengetahuan yang membuat mereka paham apa yang terjadi pada tubuhnya, mereka akan sulit mengendalikan apa yang dirasakan hingga sukar mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya. Padahal, rangsangan itu bisa muncul sewaktu-waktu dan tidak mungkin orangtua atau orang dewasa bisa mengawasi remaja 24 jam.
”Bantu dan mampukan remaja kita agar bisa mengambil keputusan yang baik atau tidak baik bagi dirinya,” kata Zoya.
Rasa ingin tahu yang tinggi, terbatasnya informasi yang dimiliki, serta kebingungan dan kesibukan orangtua dalam mengajarkan kesehatan reproduksi seksual kepada anaknya membuat banyak remaja menjadikan internet dan teman sebaya sebagai rujukan informasi, tak peduli soal kebenarannya. Terlebih, remaja saat ini termasuk generasi Z (lahir 1998-2010) akhir yang sejak lahir sudah akrab dengan teknologi digital.
”Apa yang remaja pelajari di fase genital ini akan sangat menentukan perilaku mereka, termasuk perilaku seksual, di tahap perkembangan berikutnya,” tambahnya.
Baca juga: Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk Memitigasi Risiko
Berdasarkan pengalaman ASV, mengenalkan PKRS di sejumlah daerah dengan menunjukkan pelajaran tentang menjalin relasi justru paling banyak disukai remaja. Materi itu membuat remaja nyaman berada di satu tempat dengan jenis kelamin berbeda, berani memandang lawan jenis saat berbicara, mampu berkomunikasi, menyelesaikan masalah, beradaptasi dengan beragam situasi, serta berinteraksi tanpa khawatir dianggap pacaran oleh teman lain.
”PKRS tidak hanya mengajarkan anak memahami tubuhnya, tapi juga melatih mereka berpikir positif, termasuk saat berkomunikasi dengan lawan jenis, serta tidak berhalusinasi dengan hal-hal terkait pornografi,” kata Komang.
Kelalaian bangsa Indonesia menjaga dan melindungi remaja, termasuk dalam persoalan kesehatan reproduksi dan seksualitas, bukan hanya mengacaukan masa depan remaja, melainkan juga mempertaruhkan kesejahteraan bangsa. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030 tidak menghendaki seorang pun tertinggal dalam menikmati kemajuan pembangunan, termasuk remaja.
Karena itu, menjaga remaja sama dengan menjaga bangsa. Sementara abai akan kebutuhan remaja, termasuk persoalan kesehatan reproduksinya, bisa menjadi tragedi bagi sebuah bangsa.