Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es, yang hingga kini masih melanda perempuan di Tanah Air, terutama kekerasan seksual. Hadirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual kini dinantikan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap perempuan di berbagai ruang yang terus meningkat, termasuk pada masa pandemi Covid-19 menjadi alarm bagi semua pihak. Oleh karena itu, Peringatan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan Tahun 2020 diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah dan pemangku kebijakan, juga masyarakat untuk meningkatkan perlindungan pada korban.
Selain meningkatkan ruang pengaduan dan rumah aman bagi para perempuan korban kekerasan, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi bentuk nyata hadirnya negara bagi para korban kekerasan seksual. Karena itu, masuknya RUU tersebut dalam Program Legislasi Nasional 2021 sangat dinantikan.
Harapan ini disampaikan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Lembaga Bantuan Hukum-Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta dalam pernyataan kepada pers, Selasa (24/11/2020) dalam rangka menyambut Peringatan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) Tahun 2020.
Pada peringatan kampanye HAKTP tahun 2020 ini, Komnas Perempuan menyoroti kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual minim penanganan dan perlindungan korban.(Mariana Amiruddin)
”Pada peringatan kampanye HAKTP tahun 2020 ini, Komnas Perempuan menyoroti kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual minim penanganan dan perlindungan korban,” ujar Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, yang membacakan pernyataan Komnas Perempuan bersama Satyawanti Mashudi, Bahrul Fuad, dan Veryanto Sitohang.
Dalam rentang tahun 2016-2019 Komnas Perempuan mencatat terdapat 21.841 kasus (sekitar 40 persen) kekerasan seksual dengan 8.964 yang dicatatkan sebagai kasus pemerkosaan. Dari kasus pemerkosaan tersebut, hanya kurang dari 30 persen yang diproses secara hukum.
Komnas Perempuan melihat persoalan minimnya proses hukum pada kasus kekerasan seksual menunjukkan aspek substansi hukum yang ada tidak mengenal sejumlah tindak kekerasan seksual dan hanya mencakup definisi yang terbatas. Selama ini, aturan pembuktian yang membebani korban dan budaya menyalahkan korban, serta terbatasnya daya dukung pemulihan korban menjadi kendala utama.
Sementara itu, peningkatan pola kekerasan pada masa pandemi membutuhkan pemahaman dan penanganan khusus, salah satunya kekerasan berbasis siber. ”Ketiadaan dan tertundanya prioritas payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual adalah suatu tindakan pengabaian, dan melanggar hak konstitusi perempuan sebagai warga negara yang dijamin dalam undang-undang,” papar Bahrul Fuad.
KDRT dan kekerasan berbasis siber
Meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan juga disuarakan LBH APIK Jakarta, yang sepanjang masa pandemi menerima lebih dari 700 pengaduan. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan berbasis siber paling banyak diadukan.
”Jumlah ini cukup tinggi mengingat tahun 2019 pengaduan dalam setahun mencapai 794, sedangkan pada 2020, hanya dalam waktu 9 bulan saja jumlah pengaduan sudah mencapai angka 700-an,” ujar Direktur LBH APIK Jakarta Siti Mazuma.
Oleh karena itu, dalam peringatan 16 HAKTP tahun 2020 ini, LBH APIK Jakarta mengajak seluruh lapisan masyarakat melakukan ”Gerak Bersama” menciptakan ruang-ruang aman bagi kita semua untuk mencegah terjadinya kekerasan.
Pemerintah, DPR, aparat penegak hukum serta pihak yang memiliki wewenang diharapkan segera mewujudkan ruang aman bagi perempuan korban dengan sejumlah kebijakan antara lain penyediaan layanan Rumah Aman yang mudah dijangkau oleh korban kekerasan dan terpastikannya korban kekerasan mendapatkan layanan tes Covid-19 secara gratis.