Akhir-akhir ini kata walakin sering muncul di Kompas. Pernah ada teman yang bertanya kepada saya, walakin itu apa artinya. Jawab saya: ”kendati demikian” atau ”walaupun begitu”. Jawaban itu saya kira-kirakan saja berdasarkan konteks penggunaan kata tersebut dalam kalimat pada berita di Kompas. Namun, kemudian saya merasa penasaran, ingin tahu apakah jawaban kira-kira saya itu jitu atau sipi. Maka, saya pun membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut KBBI, walakin itu ’(walaupun begitu) tetapi; akan tetapi’. Jadi, aji pengawuran saya tidak meleset.
Padanan bagi lema walakin di KBBI itu kurang elok. Kalau sudah ada ”walaupun/meskipun”, seharusnya jangan ditambahi ”tetapi”. Cukup salah satu saja, ”walaupun” atau ”tetapi”. Rasa penasaran saya belum habis. Mengapa Kompas memakai kata walakin itu dan bukan walaupun begitu, tetapi”? Yang dapat menjawab ”kekepoan” saya ini, ya, Kompas sendiri.
Seandainya alasannya karena walakin lebih singkat, saya bisa mengejar dengan bertanya: namun kan lebih singkat lagi? Kenapa walakin dan bukan namun? Seandainya Kompas menjawab: ”Ya, suka-suka kamilah!”, maka tamatlah sudah tanya-jawabnya. Selera atau cita rasa memang tidak dapat disawalakan. De gustibus non est disputandum. Over smaak valt niet te twisten. There is no arguing about taste.
Saya mendukung pemopularan kata walakin oleh Kompas. Kecintaan kepada bahasa Indonesia dapat kita wujudkan dengan usaha memperkaya kosakatanya. Kata ”baru” yang diperkenalkan itu, atau kata lama yang belum diakrabi publik secara luas itu, bisa berterima, bisa pula ditolak, terpulang pada mayoritas pengguna bahasa Indonesia. Dalam hal kosakata kita—setidak-tidaknya saya—deskriptif; pengguna bahasa adalah raja!
Walakin, dapat dipertanyakan mengapa Kompas bergeming dalam sikapnya yang ”pro”-kluster sebagai transkripsi cluster (Inggris), padahal media massa lain memakai klaster. Kluster memang panggah (konsisten) dengan PUEBIYD (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan), tetapi pemilihan kluster itu preskriptif. Padahal, dalam hal kosakata, bukantah sebaiknya kita deskriptif? Jalan keluar yang ”sama-sama menang” ialah meninggalkan, baik kluster maupun klaster. Kita pakai saja terjemahannya, yakni ”gugus”.
Kompas juga pernah memperkenalkan kata ”tutup usia”, dan sukses; kata yang sama artinya dengan ”wafat” itu diterima dengan baik oleh sidang pembaca Kompas. Tidak ada yang protes.
Demikian pula ketika wartawan Kompas, Salomo Simanungkalit, memperkenalkan kata ”petahana” pada 6 Februari 2009 di rubrik ini, yang ia gali dari KUBI WJS Poerwadarminta, sebagai padanan incumbent. Di kamus tersebut tahana berarti ’kedudukan, martabat’, sedangkan bertahana ’bersemayam’. Salomo Simanungkalit mengintroduksi kata turunan petahana dengan makna ’orang yang sedang menduduki jabatan tertentu’ ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, waktu itu, diduga mencalonkan diri kembali sebagai kandidat presiden dalam pemilihan langsung presiden itu.
Kompas kemudian menggunakan rekacipta Salomo Simanungkalit itu untuk menyubstitusi istilah incumbent; jadilah petahana dengan arti pejabat, seperti kepala daerah, yang menjelang akhir masa jabatannya maju lagi sebagai calon dalam pilkada berikutnya.
Ada lagi kebiasaan Kompas yang saya ikuti meskipun tidak tanpa tanyaan (kendati hanya di dalam hati), yakni meluluhkan semua konsonan di awal verba yang mendapat awalam me-, tak terkecuali konsonan k, p, s, dan t. Dari verba dasar ”kaji”, misalnya, dengan infleksi diperoleh ”mengaji” (bukan ”mengkaji”). Prinsip saya sebenarnya, dalam hal tata bahasa, sebaiknya kita preskriptif, artinya patuh pada ketentuan yang ditetapkan secara resmi oleh otoritas kebahasaan.
Di negeri jiran, Malaysia, otoritas itu ada di tangan Dewan Bahasa dan Pustaka. Saya tidak tahu apakah—tetapi menduga bahwa—di Indonesia ”lawandan” (counterpart) Dewan Bahasa dan Pustaka adalah Babangbinsa (lawandan ialah paduan dari ”lawan sepadan”). Bagaimanakah sikap Babangbinsa terhadap luluh atau dikecualikannya kpst?
L Wilardjo
Fisikawan, Pendekar Bahasa