Bercocok Tanam di Rumah, Lumbung Pangan Sekaligus Sumber Kebahagiaan
Pandemi Covid-19 memberikan dampak bagi perekonomian sejumlah keluarga di Tanah Air. Bagi sejumlah warga di wilayah perkotaan, aktivitas bercocok tanam di rumah membantu keluarga dalam menyediakan sayuran yang sehat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Sayuran merupakan bahan makanan yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari. Namun, tidak mudah memastikan apakah bahan sayuran yang dibeli dari luar itu bebas dari bahan organik. Padahal, setiap keluarga bisa memiliki kebun sayur di rumah sendiri, yang bebas dari organik, dan saat dibutuhkan tinggal dipetik lalu dimasak.
Tidak harus memiliki lahan pekarangan yang luas, lahan sempit pun bisa dimanfaatkan, cukup dengan menggunakan pot dan polybag, sayuran bisa ditanam. Bukan hanya bisa mengurangi belanja harian, menanam sayur bisa menjadi aktivitas yang menyenangkan bahkan membuat pikiran rileks. Apalagi di masa pandemi Covid-19.
”Menanam itu candu karena manfaatnya berlapis. Bahkan, sebelum panen pun, kita sudah dibuatnya bahagia saat melihat tanaman tumbuh,” ungkap Anis Hidayah, pendiri Rumah Organik Studi Alam Indah (Rosai) dalam perbincangan daring dengan Kompas, Senin (23/11/2020).
Saat semua orang harus tinggal lama di rumah, menanam menjadi pilihan akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain menyediakan ”lumbung pangan hidup” yang lebih sehat bagi keluarga, dan menekan belanja rumah tangga, aktivitas berkebun bagi masyarakat di wilayah perkotaan juga bisa menjadi ruang dialog/diskusi antaranggota keluarga.
Berkebun juga bisa menjadi instrumen untuk pemulihan dan penyembuhan. Setidaknya sumber kebahagiaan baru. Sebab, bisa meminimalkan konflik dan kekerasan dalam rumah tangga, yang selama pandemi banyak perempuan menjadi korban. Di luar itu, ketika berkebun, komunitas bisa saling berbagi benih dan hasil panen.
Awal pekan lalu, Anis berbagi cerita dalam Diskusi Publik ”Berbagi Praktik Baik dan Inisiatif Perempuan mendorong Kemandirian Pangan di Masa Pandemi” yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).
Selain Anis, Pengiat Urban Farming Shuniyya Ruhama, Kepala Dinas Pangan Kota Salatiga Roch Hadi, dan Endang Dwi Wijayanti, CO Koalisi Perempuan Indonesia Cabang Kota Salatiga Dinas Pangan Kota Salatiga, juga menyampaikan praktik baik dan inisiatif perempuan merespons pandemi, khususnya yang dilakukan perempuan urban dengan keterbatasan lahan pekarangan.
Berbagai pelajaran menarik bisa dipetik dari diskusi tersebut, terutama bagaimana perempuan menjadi kunci dalam keluarga dalam menyediakan makanan yang sehat bagi keluarga di masa pandemi. Saat maraknya penggunaan pupuk kimia dan pestisida, dengan menanam sendiri bahan pangan, seperti sayuran, maka pangan yang sehat bagi keluarga.
Sulit mengenali tanaman itu benar-benar (sehat) meskipun ada label organik, kecuali kita menanam sendiri, jadi tahu persis kita menanam pakai apa. Penting untuk tahu sejarah dan proses bagaimana tanaman itu ditanam. (Anis Hidayah)
”Sulit mengenali tanaman itu benar-benar (sehat) meskipun ada label organik, kecuali kita menanam sendiri, jadi tahu persis kita menanam pakai apa. Penting untuk tahu sejarah dan proses bagaimana tanaman itu ditanam,” ujar Anis.
Sejak akhir 2018, Anis bersama sejumlah perempuan di kawasan perumahannya berinisiatif menanam pekarangan menyusul ada warga yang meninggal karena kanker dan setelah ditelusuri penyebabnya sumber makanan yang dikonsumsi banyak mengandung kimia. Awalnya, hanya sekitar tujuh perempuan yang menanam sayuran di pekarangannya, dan ternyata dalam sebulan bisa panen berbagai sayuran.
Kini, hampir separuh dari warga di perumahannya (sekitar 60 keluarga) aktif bercocok tanam di pekarangannya secara organik. Bahkan, saat pandemi Covid-19, aktivitas menanam pun semakin menggeliat, seiring warga lebih banyak tinggal di rumah.
Melahirkan solidaritas
Selain pengalaman bercocok tanam, aktivitas menanam dalam komunitas juga bisa mendorong lahirnya solidaritas karena orang berbagai benih dan hasil panen. Bahkan, Di luar itu, komunitas berkebun juga bisa menjadi upaya deradikalisasi. Sebab, ketika orang asyik berkebun, politik identitas tidak muncul meskipun dari latarbelakang agama dan suku berbeda-beda.
Inisiatif mengelola lahan pekarangan atau pun menaman sayuran di rumah yang tidak memiliki pekarangan pun dilakukan sejumlah perempuan di Kota Salatiga dan Kendal, Jawa Tengah.
Shuniyya berbagi cerita bagaimana memanfaatkan bagian atas (lantai 3) yang tadinya kosong dengan menggunakan wadah polybag, pot, hingga baskom bekas dan botol air mineral bekas. Bahkan, tembok rumah pun dimanfaatkan dengan pot tempel. Belakangan, Shuniyya juga mencoba budidaya ikan dalam ember (budidamber) dengan ikan lele, yang bagian atas embernya ditanami kangkung.
Bukan hanya menghemat pengeluaran, bahan sayuran pun tersedia dan sehat. ”Dulu apa-apa beli, sekarang kami punya cadangan tanaman pangan sendiri. Keuntungan yang tidak bisa diuangkan adalah kita dapat bahan makanan yang selalu fresh, jadi kalau kita mau masak baru kita petik, tanpa pupuk kimia. Kita juga bisa berolahraga dan meningkatkan imun,” ujar Shuniyya, yang juga mengasuh pondok pesantren di Weleri, Kendal.
Di Kota Salatiga, Balai Perempuan KPI menggerakkan para perempuan/ibu di wilayah perkotaan untuk bercocok tanam, dan hasilnya sudah dinikmati sejak September lalu, bahkan awal November lalu KPI menggelar bazar daring.
Apa yang dilakukan para perempuan, baik perseorangan maupun komunitas, membuktikan bahwa bercocok tanam bisa menjadi pilihan masyarakat di tengah krisis pandemi saat ini. Setidaknya, tanaman sayuran dan budidamber bisa menjadi lumbung pangan hidup bagi keluarga masing-masing.