Banyak guru honorer di wilayah pedalaman Maluku mengabdi puluhan tahun dengan gaji kecil, bahkan tanpa gaji. Negara berutang budi kepada mereka.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Awal Agustus 2016, Normalina Nisdoam memulai hari-hari awal menjadi guru di Sekolah Dasar Sabuai, sekolah yang baru dibangun warga kampung. Enam bulan pertama, ia digaji Rp 83.000 per bulan, setahun kemudian tak digaji sama sekali, dan dalam dua tahun belakangan ia digaji Rp 100.000 per bulan. Meski demikian, ia berjanji akan terus mengabdi demi masa depan anak-anak di pedalaman Pulau Seram, Maluku.
November 2020, Normalia (28) kembali hadir di ruang kelas IV sekolah menggelar pembelajaran tatap muka setelah sempat terhenti akibat pandemi Covid-19. Memang pandemi belum berlalu, tetapi pihak sekolah merasa perlu melangsungkan kegiatan tatap muka sebagai adaptasi fase kehidupan normal baru. Pembelajaran itu berlangsung dengan protokol kesehatan yang ketat.
Jauh dari episentrum penyebaran Covid-19 tak membuat mereka lengah. Semua siswa dan guru mengenakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan secara rutin. Sabuai terletak di pedalaman, tepatnya Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur. Sejak kasus Covid-19 merebak di Maluku pada 26 Maret 2020 dan kini jumlah kasus melampaui 4.200 kasus, daerah itu masih tergolong zona hijau.
Memang mencapai Sabuai tak mudah. Dari Ambon, ibu kota Provinsi Maluku, perjalanan diawali dengan menumpang kapal cepat selama hampir dua jam. Selanjutnya menggunakan kendaraan darat sejauh hampir 200 kilometer dengan mengeberangi setidaknya 18 anak sungai dan sungai dengan lebar hingga 300 meter.
Pada awal pandemi Covid-19, Normalina dan para guru di sekolah menggelar pembelajaran dari rumah ke rumah. Di sekolah itu terdapat enam guru yang terdiri dari lima guru honorer dan satu aparatur sipil negara yang menjabat sebagai kepala sekolah. Setiap guru membentuk kelompok belajar berdasarkan tempat tinggal. Beruntung, dari total 59 murid, semuanya menetap di satu kampung.
Pandemi tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus mengajar. Mereka mengajar dengan risiko tertular tanpa jaminan keselamatan dari sekolah. Gaji yang diterima pun tak seberapa, tak setimpal dengan pegorbanan dan risiko yang mereka dapat. Kini, guru honorer dalam sebulan hanya digaji Rp 100.000 dengan waktu mengajar lima jam setiap hari mulai Senin hingga Sabtu. Gaji itu tak ada artinya.
Padahal, mereka punya kesempatan untuk mendapatkan upah lebih besar apabila menjadi buruh serabutan di kampung. Upah buruh serabutan per hari paling sedikit Rp 50.000, sedangkan guru honor per hari hanya sekitar Rp 3.000. Pun terbuka kemungkinan bagi mereka untuk keluar dari sekolah itu. Tak ada perjanjian kontrak yang menghalangi mereka untuk pergi. Sejauh ini, mereka memilih bertahan.
Kalau pikir gaji, kami tidak mungkin mau bertahan. Banyak orang bilang, mengabdi di sekolah itu hanya buang-buang waktu dan tenaga. Tapi, hati kecil saya merasa berat untuk tinggalkan sekolah. Saya akan terus mengajar anak-anak di sini. Mereka adalah anak titipan Tuhan yang berhak mendapat pengetahuan untuk masa depan mereka.
”Kalau pikir gaji, kami tidak mungkin mau bertahan. Banyak orang bilang, mengabdi di sekolah itu hanya buang-buang waktu dan tenaga. Tapi, hati kecil saya merasa berat untuk tinggalkan sekolah. Saya akan terus mengajar anak-anak di sini. Mereka adalah anak titipan Tuhan yang berhak mendapat pengetahuan untuk masa depan mereka,” kata Normalina.
Normalina berjanji akan terus mengabdi di sekolah yang pertama kaki didirikan secara swadaya oleh warga kampung itu. Dengan modal ijazah sekolah menengah atas, para tokoh kampung meminta ia menjadi guru. Ia tidak berambisi menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang menjadi mimpi banyak orang. Ia sadar tak bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan pemerintah.
Ia hanya memiliki ijazah SMA, tidak memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan, dan tidak terdaftar sebagai guru kontrak. ”Mau kuliah lanjut juga susah karena kami jauh dari kota. Mau urus hal-hal administrasi juga sulit karena guru honorer biasanya dipandang sebelah mata oleh orang pemerintahan. Mustahil jadi ASN, syarat dari pemerintah terlalu sulit,” tuturnya menyinggung rencana pengangkatan guru honorer menjadi ASN.
Kisah serupa juga dialami Agusta Tamala dari Desa Yamalatu, Kecamatan Telutih, Kabupaten Maluku Tengah. Ia berjasa menghidupkan kembali kegiatan belajar-mengajar di desa itu yang terhenti selama hampir enam tahun akibat konflik sosial. Tahun 2005, ketika konflik baru saja reda, ia mulai mengajar. Semua guru di sekolah itu lari akibat konflik. Dengan modal ijazah SMA, ia memberanikan diri mengajar.
Awal mengajar, ia tak punya buku panduan. Buku panduan dijual di Masohi, ibu kota kabupaten, dengan perjalanan yang berisiko tinggi. Suasana konflik dan waktu perjalanan paling cepat dua hari dengan harus menyeberang puluhan sungai dinilai terlalu berisiko. Kini sudah 15 tahun dia mengabdi sebagai guru honorer. Pada awal mengabdi, ia digaji Rp 52.000 per bulan, pun pembayarannya tak jelas.
Dalam perjalanan, pada tahun 2018 lalu, dia dijanjikan akan digaji Rp 200.000 per bulan. Realisasi gaji pun tidak pasti, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Padahal, upah minimum regional di Maluku kini sekitar Rp 2,4 juta per bulan. Di tengah pandemi Covid-19, Agusta yang kini berusia 45 tahun itu terus mengajar, mulai dari rumah ke rumah hingga kini di sekolah yang berada di desa terpencil bagian selatan Pulau Seram itu.
Abraham Mariwy, pemerhati masalah pendidikan dari Universitas Pattimura, Ambon, berpendapat, negara berutang budi kepada para guru honorer yang mengabdi di daerah terpencil selama bertahun-tahun untuk memajukan pendidikan di sana. ”Guru honorer punya jasa besar bagi negara ini. Mereka mengabdikan diri dengan gaji rendah, bahkan tanpa gaji sama sekali,” ujarnya.
Ia mengusulkan agar guru honorer yang mengabdi lebih dari 10 tahun dapat diangkat menjadi ASN tanpa harus melewati proses seleksi administrasi yang rumit, seperti harus berijazah guru atau memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan. Bagi banyak guru di pedalaman, sulit memenuhi persyaratan itu.
Untuk mengurus persyaratan itu, mereka harus datang ke ibu kota kabupaten atau provinsi dengan waktu perjalanan berhari-hari serta biaya yang tidak sedikit. Gaji mereka tidak akan bisa untuk membiayai semua itu. Mereka cukup dimintai surat pengangkatan sebagai guru atau bukti administrasi yang menunjukkan lamanya pengabdian di sekolah.
Sesungguhnya bangsa ini tidak akan rugi membayar gaji mereka yang puluhan tahun mengabdikan diri bagi masa depan anak bangsa. Mengangkat mereka menjadi ASN dengan golongan rendah anggap saja sebagai penghargaan negara kepada mereka. Sekali lagi, negara punya utang kepada para guru honorer itu.