Pembukaan sekolah di masa pandemi Covid-19 harus memprioritaskan kesehatan dan keselamatan serta pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Mulai Januari 2021, penyelenggaraan pembelajaran tatap muka di masa pandemi Covid-19 tidak lagi mengacu pada zonasi risiko persebaran Covid-19, tetapi pada kesiapan sekolah. Selain siap dengan infrastruktur dan protokol kesehatan, pembukaan sekolah harus mendapat izin pemerintah daerah serta disetujui kepala sekolah dan perwakilan orangtua melalui komite sekolah.
Sekolah pun tidak bisa dibuka penuh, maksimal 50 persen kapasitas sekolah. Pembelajaran tatap muka dilakukan secara bergiliran (sif), satu kelas maksimal 15 orang. Aktivitas yang diperbolehkan hanya di dalam kelas. Selesai pembelajaran tatap muka, siswa harus langsung pulang.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim saat mengumumkan Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Semester Genap Tahun Ajaran 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19, Jumat (20/11/2020), secara daring mengatakan, kesehatan dan keselamatan serta pertumbuhan dan perkembangan peserta didik menjadi prioritas.
Terlalu lama meninggalkan kelas telah berdampak negatif pada siswa. Estimasi Bank Dunia, penutupan sekolah hingga Juli 2020 saja pencapaian pembelajaran jarak jauh (PJJ) rata-rata hanya memenuhi 33 persen dari hasil pembelajaran di kelas. Semakin lama sekolah ditutup, hilang belajar (learning lost) semakin besar.
Kendala PJJ juga diperkirakan membuat anak-anak Indonesia kehilangan 11 poin pada skala membaca (literasi) program penilaian siswa internasional (PISA). Belum lagi ancaman putus sekolah hingga ketimpangan pendidikan yang semakin lebar.
Namun, upaya mengatasi semua itu dengan membuka sekolah juga tidak boleh mengabaikan kesehatan dan keselamatan peserta didik. Sekolah harus dipastikan aman untuk pembelajaran tatap muka.
Pengalaman di sebagian besar negara berpenghasilan tinggi, pembukaan sekolah di masa pandemi berlandaskan pada tingkat penularan Covid-19 di masyarakat yang relatif rendah selain penerapan protokol kesehatan yang ketat. Ini seperti dilakukan Swedia, Denmark, dan juga Singapura.
Singapura, misalnya, juga menerapkan konsep gelembung kelas (classroom bubbles) untuk membatasi interaksi siswa antarkelas. Ini didukung kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk menerapkan protokol kesehatan.
Bagaimana dengan Indonesia? Memastikan sekolah aman di tengah-tengah persebaran kasus Covid-19 yang masih tinggi bukan hal sederhana. Peningkatan kasus Covid-19 setiap kali libur panjang menunjukkan masih ada masalah dalam penerapan protokol kesehatan di masyarakat, hal mendasar yang menjadi syarat pembukaan sekolah.
Di tingkat satuan pendidikan pun, mengacu data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, baru 42,5 persen yang melaporkan kesiapan infrastruktur dan protokol kesehatan untuk pembelajaran tatap muka. Pantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di 48 sekolah di delapan provinsi, mayoritas sekolah belum siap dibuka. Dalam survei Wahana Visi Indonesia pun guru menilai sekolah belum aman dari Covid-19.
Buka sekolah bukan hanya berpedoman pada separuh jumlah siswa dan protokol 3M (mencuci tangan pakai sabun, mengenakan masker, menjaga jarak) saja, tetapi perlu menyiapkan infrastruktur adaptasi kebiasaan baru, biaya tes usap, dan uji coba kepatuhan seluruh warga sekolah terhadap protokol kesehatan. (Retno Listyarti)
”Buka sekolah bukan hanya berpedoman pada separuh jumlah siswa dan protokol 3M (mencuci tangan pakai sabun, mengenakan masker, menjaga jarak) saja, tetapi perlu menyiapkan infrastruktur adaptasi kebiasaan baru, biaya tes usap, dan uji coba kepatuhan seluruh warga sekolah terhadap protokol kesehatan,” kata komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti.
Sinergi
Oleh karena itu, menurut Retno, tidak cukup menyerahkan keputusan pembukaan sekolah kepada pemerintah daerah tanpa pemetaan sekolah yang siap dan tidak siap dibuka. Perlu dibangun sistem informasi, komunikasi, koordinasi, dan pengaduan yang terencana baik sehingga pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat bersinergi menyiapkan pembukaan sekolah.
Sinergi ini termasuk dalam kontrol dan pengawasan persiapan hingga pelaksanaan pembelajaran tatap muka. Evaluasi harus rutin dilakukan, termasuk terhadap pemerintah daerah. Terkait ketentuan pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning selama ini terdapat paling tidak 76 pemerintah daerah yang melanggar ketentuan ini.
Pemerintah Provinsi Papua, misalnya, berupaya membangun sinergi untuk persiapan pembukaan sekolah. Pemda setempat melibatkan dinas dan lembaga terkait guna membantu sekolah menyiapkan infrastruktur dan protokol kesehatan untuk pembelajaran tatap muka. Pemda juga melibatkan tokoh agama dan masyarakat.
Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan, dan Arsip Daerah Papua Christian Sohilait mengatakan, prinsipnya sekolah harus dibantu untuk menyiapkan pembelajaran tatap muka. Pemda telah membuat surat edaran ke dinas dan lembaga terkait untuk membantu kesiapan sekolah, termasuk pengadaan masker untuk siswa jika diperlukan.
”Kami memastikan siapa harus membantu apa. Untuk menyiapkan infrastruktur dan protokol kesehatan, koordinasi dengan dinas kesehatan. Jika sekolah butuh WC, ada dana kampung yang bisa digunakan. Kalau butuh air bersih, ke PDAM. Kalau anak-anak menggunakan transportasi umum, dinas perhubungan harus membantu,” kata Christian dalam diskusi daring yang diselenggarakan Wahana Visi Indonesia, Jumat.
Bukan hanya di Papua, masih banyak sekolah di daerah-daerah lain yang belum mempunyai sarana infrastruktur kesehatan memadai. Saat ini masih ada 40 persen sekolah yang belum mempunyai toilet, 50 persen sekolah belum mempunyai wastafel dengan air mengalir, bahkan di sejumlah daerah sekolah kekurangan air bersih terutama ketika musim kemarau.
”Pemerintah harus menyiapkan anggaran khusus untuk memastikan persyaratan-persyaratan protokol kesehatan benar-benar tersedia di sekolah. Kami berharap ada alokasi anggaran khusus untuk memastikan sarana penting tersebut tersedia sebelum sekolah benar-benar dibuka,” kata Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda.
Akselerasi anggaran yang berpihak pada pendidikan di masa pandemi menjadi mutlak. Pemerintah Kota Yogyakarta, misalnya, menganggarkan APBD untuk pembuatan wastafel di sekolah negeri dan swasta. Pemkot Madiun juga menganggarkan APBD untuk bantuan infrastruktur serta tes cepat (rapid test) bagi guru dan siswa. Pemkot Solo membiayai tes cepat bagi guru, karyawan, serta siswa.
Membuka sekolah dengan aman berarti juga melaksanakan pembelajaran tatap muka yang nyaman dan efektif. Sistem bergilir (sif) untuk pembelajaran tatap muka di sekolah harus disertai perencanaan dan metode pembelajaran yang mencakup pembelajaran tatap muka dan pembelajaran jarak jauh untuk memastikan semua siswa tetap belajar setiap hari.
Bahkan, sekolah juga harus menyiapkan skenario penutupan kembali sekolah ketika ada warga sekolah yang terpapar Covid-19. ”Buka tutup sekolah bukan hal yang aneh. Kehati-hatian harus berlapis. Masker tidak bisa 100 persen (melindungi), tetap ditambah jaga jarak. Ini bisa menjadi ’vaksin’ sebelum ada vaksin,” kata Laura Navika Yamani, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya.