Menjadi guru adalah impian. Namun, menjadi guru honorer adalah pilihan berat. Jasa guru honorer sangat besar, tetapi gaji mereka jauh dari kata layak.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Diana Widayani (36), guru honorer di Sekolah Dasar Negeri 56 Kota Banda Aceh, telah 15 tahun menjalani profesi itu. Upah yang didapat sebulan Rp 670.000, jauh dari upah minimum pekerja di Provinsi Aceh, Rp 2,9 juta.
Sebagai guru kelas III, dia harus mengajar setiap hari. Beban kerja Diana sama dengan guru pegawai negeri sipil (PNS). ”Kadang mau mundur, tapi takut menyesal, siapa tahu ke depan ada pengangkatan PNS,” kata Diana saat ditemui pada Sabtu (21/11/2020) di sekolahnya di Desa Lamglumpang, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh.
Pagi itu, Diana sedang mengajarkan pelajaran perkalian. Sejak sebulan lalu, sejumlah sekolah di Banda Aceh menerapkan sekolah tatap muka dengan pembatasan jumlah siswa. Di satu kelas dibuat sesi agar protokol kesehatan diterapkan maksimal.
Tahun 2005, saat baru lulus D-2 jurusan pendidikan guru sekolah dasar (PGSD), Diana langsung menjadi guru honorer. Saat itu, dia masih belum berkeluarga. Kini, dia sudah punya dua anak, kelas IV SD dan kelas II SD.
Gaji Rp 670.000 per bulan hampir separuh habis untuk biaya bahan bakar minyak (BBM) ke sekolah. Sisanya digunakan untuk kebutuhan keluarga. Dia harus berhemat agar kondisi keuangan tidak seret.
Selama 15 tahun menjadi guru honorer, Diana belum mampu beli laptop. Mengandalkan gaji tentu sulit untuk membeli laptop. Padahal, sebagai tenaga pendidik, dia butuh memperbarui bahan ajar dan menyiapkan urusan administrasi.
Suaminya membuka usaha jasa pangkas rambut. Penghasilan sang suami juga tidak stabil, tetapi lebih besar daripada gaji Diana. Selama 15 tahun menjadi guru honorer, Diana belum mampu beli laptop. Mengandalkan gaji tentu sulit untuk membeli laptop. Padahal, sebagai tenaga pendidik, dia butuh memperbarui bahan ajar dan menyiapkan urusan administrasi.
Saat pemerintah menerapkan sekolah daring, Diana kelimpungan. Gawai yang dia punya masih jadul sehingga tidak bisa digunakan untuk membuka aplikasi. Mau tidak mau dia harus merogoh kantong suami Rp 2 juta untuk membeli gawai baru. Rp 2 juta setara dengan tiga bulan gaji Diana.
”Niat kerja untuk meringankan beban suami malah keluar uang. Tapi, tidak ada pilihan lain, saya butuh untuk ngajar dan posting tugas anak,” ujar Diana.
Selama pandemi Covid-19, Diana mengajar dari rumah. Paket 35 GB dari pemerintah sangat membantu untuk kebutuhan mengajar. Diana mendapat kabar mulai bulan depan akan mendapatkan bantuan tunai bagi guru non-PNS.
Diana berharap ada perhatian besar dari pemerintah terhadap nasib guru honorer. Pengabdian 15 tahun itu bukan waktu yang singkat. Dia ingin upah mereka dinaikkan.
Nasib tak jauh beda dialami Maria Ulfa, guru honorer di Sekolah Dasar Negeri 72 Banda Aceh. Meski gajinya hanya Rp 230.000 per bulan, dia tetap ikhlas mengajar. Maria diberi tugas sebagai wali murid kelas I. Dia mulai mengajar di sekolah itu sejak awal 2018.
Maria lulusan D-2 PGSD. Saat ini, dia sedang menyelesaikan S-1 PGSD. ”Sebenarnya banyak pekerjaan lain yang bisa saya lakukan, tetapi mimpi sejak remaja ingin jadi guru,” kata Maria.
Walaupun sebagai guru honorer, Maria memiliki tugas dan tanggung jawab sama seperti guru PNS. Beban di pundak Maria mulai dari mengajar murid menulis, membaca, berhitung, hingga matematika dasar.
”Yang beda cuma gaji, tetapi saya ikhlas sebab ini pilihan hidup,” kata Maria.
Saat pandemi, sekolah tatap muka ditiadakan. Kebijakan itu untuk mencegah penyebaran virus korona baru di lingkungan sekolah. Proses belajar dilakukan secara daring menggunakan apikasi Zoom, Whatsapp, dan situs khusus yang disediakan oleh dinas pendidikan.
Namun, persoalannya, tidak semua orangtua murid punya gawai. Mayoritas murid SDN 72 berasal dari keluarga ekonomi kelas menengah ke bawah. Sekolah itu berada di kampung nelayan di Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.
Beban kerja Maria bertambah sebab tidak semua muridnya bisa belajar daring. Maria harus mengunjungi murid ke rumah-rumah untuk mengajar. ”Apa pun kami lakukan supaya anak-anak dapat belajar,” ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Saminan Ismail menuturkan, Kota Banda Aceh mengalami kekurangan guru PNS sehingga perlu guru honorer. Dari 2.264 guru tingkat PAUD, SD, dan SMP di Banda Aceh, 514 orang merupakan guru honorer dan 118 guru kontrak Pemkot Banda Aceh.
Tahun 2021, Saminan mengusulkan guru-guru honorer sebagai calon pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). ”Kami sangat berterima kasih kepada guru honorer, jasa mereka sangat besar,” ujar Saminan.
Ketua Majelis Pendidikan Aceh Abdi Wahab mengatakan, kualitas guru di Aceh masih rendah. Hasil uji kompetensi, yang lulus tidak sampai setengah. Menurut Abdi, peningkatan kualitas harus sejalan dengan peningkatan kesejahteraan.
”Bagaimana mau fokus mengajar kalau keuangan tidak stabil,” ujar Abdi.
Abdi mengapresiasi program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat guru honorer sebagai tenaga PPPK. Namun, dia berharap proses rekrutmen dilakukan dengan benar dan tepat sasaran.