Sepak Terjang Serdadu Korea dalam Perjuangan Indonesia
Dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia 1945-1949, ada juga peranan pemuda Korea, meski tidak banyak dikenal dalam ingatan bangsa.
Pemuda dari negara-negara Asia Timur, China, dan Jepang dicatat dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Ada juga peranan pemuda Korea, dalam perang kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949) meski tidak banyak dikenal dalam ingatan bangsa.
Sejarawan Hendi Jo menceritakan, salah satu sosok pejuang asal Korea adalah Yang Chil Seong yang bertempur di Garut, Jawa Barat. Yang Chil Seong adalah satu dari seribu lebih Gun Sok (tentara bantuan Jepang) yang direkrut dari koloni Jepang di Korea. Semasa Perang Dunia II, Jepang merekrut serdadu dari koloni di Korea dan Formosa (Taiwan).
Para serdadu Korea yang tercatat dalam riset Hendi Jo di mandala Garut adalah Yang Chil Sung alias Too Sen Chei alias Yanagawa Shichisei, Guk Jae Man alias Shiro Yama, Woong Jong Soo alias Akagi, Lee Gil Dong alias M Nakase, dan Lee Jong Yeol alias Matsumoto. Mereka berada di bawah pasukan dengan kekuatan 40 prajurit pimpinan perwira Jepang Masharo Aoki yang melanjutkan peperangan setelah Jepang menyerah kepada Sekutu.
”Setelah ditangkap Belanda, dan sebelum dieksekusi dengan ditembak mati eksekutor, dia bersama dua temannya minta kaus putih dan sarung merah serta dimakamkan secara Islam. Mereka dieksekusi Belanda di jembatan dekat Sungai Cimanuk di Kota Garut,” kata Hendi Jo menceritakan tentang para serdadu Korea yang kemudian menggabungkan diri bergerilya bersama Pasukan Pangeran Papak, bagian dari pejuang kemerdekaan Indonesia.
Menurut Hendi Jo, upaya perlawanan para pemuda Korea di Jawa tersebut ibarat api dalam sekam yang mereka simpan dalam batin mereka. Orang Korea memendam sentimen terhadap penjajahan Jepang, tetapi mereka terpaksa berdinas di bawah militer Jepang untuk melawan Sekutu. Selanjutnya, mereka mendukung kemerdekaan Indonesia selepas Proklamasi 17 Agustus 1945.
Para prajurit Korea yang oleh Jepang ditempatkan di garis belakang, seperti menjaga kamp—kamp tawanan Sekutu di Hindia Belanda (Jepang menyebutnya To Indo atau Hindia Timur)—sebutan bagi Indonesia waktu itu, menyimpan sentimen terhadap Jepang. Jepang menduduki Korea sejak 1910 seiring invasi dan agresi Jepang ke wilayah Asia Timur daratan, termasuk di Manchuria (wilayah Dong Bei atau Timur Laut China) tahun 1930-an.
Adapun Yang Chil Sung alias Komarudin, bersama puluhan rekannya, yang menjadi anggota pasukan pimpinan Masharo Aoki, bergabung dengan pihak Republik Indonesia. Awalnya pasukan Aoki terlibat pertempuran dengan pasukan TNI, yakni Pasukan Pangeran Papak di bawah Mayor SM Kosasih di Majalaya, Jawa Barat. Lalu mereka ditangkap sebagai tawanan perang usai bentrok bersenjata sekitar Maret 1946 di Bandung Selatan.
Saat berada di tahanan TNI di Wanaraja tak jauh dari makam Pangeran Papak—tokoh penyebar agama Islam—dekat Garut, mereka diperlakukan dengan baik. Ketika beberapa prajurit Jepang hendak melakukan seppuku (harakiri) atau bunuh diri untuk menjaga kehormatan, Mayor Kosasih dan Letnan R Djoeana Sasmita mencegah mereka bunuh diri.
Setelah berbulan-bulan hidup bersama pasukan Mayor Kosasih dan masyarakat setempat dan diperlakukan baik, Masharo Aoki menghadap dan menyatakan ingin bergabung dengan pasukan Kosasih. Dia meminta agar tidak diperlakukan diskriminatif dan dilindungi dari kejaran Sekutu.
Secara pribadi, Aoki juga mengutarakan keinginan untuk memeluk Islam. Oleh Mayor Kosasih, Aoki dibawa ke Raden Djajadiwangsa, seorang ulama setempat yang keturunan Pangeran Papak, untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat. Masharo Aoki pun mengganti namanya menjadi Abubakar.
Keputusan Aoki diikuti oleh anak buahnya dengan menyatakan diri masuk Islam. Mereka pun mengganti nama, semisal Katsuo Hasegawa mengganti nama menjadi Usman. Para mantan tentara Jepang tersebut, lanjut Hendi Jo, umumnya dijadikan instruktur yang terlibat langsung dalam pertempuran. Ada juga yang menjadi tenaga medis di Pasukan Pangeran Papak.
Keberadaan 40-an mantan serdadu Jepang tersebut, termasuk para serdadu Korea, menjadi momok bagi serdadu Belanda di palagan selatan Bandung, terutama di sekitar Garut. Sepasang prajurit Korea, yakni Guk Jae Man dan Yang Chil Sung, menjadi tulang punggung pasukan. Jae Man memimpin operasi intelijen dan Chil Sung memimpin Kelompok Putih dengan tugas sebagai saboteur dan penyergapan (ambush). Salah satu aksi fenomenal mereka adalah demolisi (penghancuran) Jembatan Cinunuk yang menghubungkan Wanaraja-Garut tahun 1947 sehingga Belanda gagal masuk ke wilayah Wanaraja.
Keberadaan para mantan tentara Jepang yang menjadi desertir ini memang beragam. Ada yang berasal dari Jepang, ada pula yang berasal dari koloni Jepang di Korea dan Taiwan. Sebagian keturunan mereka yang masih tinggal di Indonesia tergabung dalam Yayasan Tomo No Fukui atau Yayasan Warga Persahabatan.
Sejarawan Jepang, Aiko Kurusawa, yang mengajar di Universitas Indonesia (UI) dalam buku Sisi Gelap Perang Asia membahas tentang desertir tersebut yang pada akhir Perang Dunia II di Indonesia, jumlahnya mencapai 1.000 orang lebih, yang tersebar di Jawa dan Sumatera.
Angkatan Darat Ke–16 Jepang, yang memegang kekuasaan transisi di Jawa dan Sumatera menunggu kedatangan tentara pendudukan Sekutu usai kekalahan Jepang, memerintahkan para desertir untuk kembali ke kamp tawanan. Jika mereka tidak kembali sebelum tanggal 15 Juni 1946, mereka akan ditembak mati karena desersi merupakan tindakan pelanggaran hukum berat dalam kemiliteran.
Mengenai penangkapan Yang Chil Sung dan kawan-kawan, Aiko Kurusawa mencatat itu disebabkan adanya pengkhianatan dari istri seorang prajurit Indonesia yang membocorkan keberadaan mereka. Ketika itu disediakan uang imbalan 1.000 gulden oleh pihak Belanda.
Penangkapan itu terjadi pada Februari 1948, ketika Divisi Siliwangi hijrah ke Yogyakarta sesuai kesepakatan Perjanjian Renville. Namun, Kosasih ketika pasukan sudah hijrah ke Yogyakarta, memerintahkan Letnan Dua Djoeana memimpin satu seksi pasukan kembali ke Wanaraja untuk bergerilya.
Pasukan tersebut membuat markas gerilya di hutan Doragede, perbatasan Garut dan Tasikmalaya. Mereka bergerilya mengganggu Belanda di Garut dan menyiapkan tempat bagi infiltrasi pasukan TNI ke wilayah Garut dan Tasikmalaya.
Pada 25 Oktober 1948, ketika pasukan sedang berada di Legok Gede, mereka sedang rapat persiapan menghadapi Pasukan Negara Pasundan dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Total ada 11 personel pasukan di sana ketika mereka disergap pasukan Belanda dari Batalyon 3-14 RI (Resimen Infantri) pada pukul 01.30 dini hari.
Terjadi baku tembak yang mengakibatkan tiga prajurit Jepang gugur, adapun Seobardjo alias Guk Jae Man, Abubakar alias Masharo Aiko, Komarudin alias Yang Chil Sung, Usman alias Katsuo Hasegawa, dan Djoeana ditangkap hidup-hidup. Namun, pada tanggal 26 Oktober 1948 siang, Soebardjo alias Jae Man ditembak mati ketika berusaha melarikan diri.
Mereka pun dibawa ke penjara di Garut. Lalu empat bulan kemudian pada tanggal 20 Februari 1949, mereka dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer. Dalam perkembangan, hukuman bagi Djoeana diubah menjadi hukuman sumur hidup. Djoeana dipenjara di Penjara Cipinang, Jakarta, hingga tahun 1950.
Akhirnya, Yang Chil Sung alias Komarudin dan kawan-kawan dieksekusi pada Sabtu, 21 Mei 1949, di hadapan regu tembak dengan mengenakan busana merah dan putih. Usai eksekusi, jenazah mereka dibawa ke masjid setempat dan disembahyangkan. Mereka dimakamkan di pemakaman Muslim Pasir Pogor. Pada tahun 1957, jenazah mereka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan, Tenjolaya, Garut, Jawa Barat.
Ribuan serdadu Korea
Dosen FIB Universitas Indonesia, Rostineu, ahli sejarah Korea yang berbicara dalam seminar ”Keterlibatan Orang-orang Korea dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Garut 1945-1949”, Sabtu (14/11/2020), menerangkan, dari 3.400-an Gun Sok yang ditempatkan Jepang di Asia Tenggara, ada 1.300-an orang yang ditempatkan di Indonesia.
”Mereka membuat gerakan politik pada tahun 1944 dengan diberi nama Partai Jo Seon. Mereka juga mencoba membuat aliansi dengan Heiho di Ambarawa, Jawa Tengah, tetapi keburu dicegah pihak Jepang. Para serdadu Korea tersebut juga pandai bergaul. Dengan kemampuan bahasa Korea, Jepang, Mandarin, hingga Inggris, mereka bisa bergaul dengan tawanan perang hingga toko-toko Tionghoa setempat di mana mereka bertugas,” kata Rostineu.
Dalam karakter Han Zi (Kanji) Mandarin, kata Jo Seon disebut Zao Xian atau dalam pelafalan Korea versi lain Cho Sun, nama Dinasti terakhir penguasa Korea sekaligus bermakna ”Negeri Tempat Matahari Menyingsing”. Sebagai catatan, nama itu kini juga digunakan oleh media massa di Korea Selatan, seperti Cho Sun Il Bo. Il Bo adalah Koran Harian atau dalam Mandarin disebut Ri Bao. Banyak kemiripan pelafalan bahasa Korea dengan Mandarin.
Menurut Rostineu, motivasi serdadu asal Korea bergabung dengan Republik Indonesia bermacam-macam. Ada yang karena idealisme untuk berjuang bagi kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk solidaritas, ada yang menghindari pulang ke Korea karena situasi tidak kondusif bagi yang mereka bekerja untuk pihak Jepang karena dengan adanya sentimen anti-Jepang yang kuat di Korea, dan berbagai motivasi lainnya.
Gerakan politik para Gun Sok di akhir tahun 1944 dan upaya pemberontakan yang gagal di Ambarawa tahun 1945 itu sudah menjadi sinyal bagi Jepang untuk berhati-hati. Lokasi penugasan para prajurit Korea di Ambarawa tersebut adalah kamp tawanan (interniran) bagi warga sipil Belanda dan Eropa. Dalam penelusuran Kompas, sebagian lokasi di Ambarawa, seperti di Banyu Biru pada arsip Belanda disebut ”Vrouwen and Kinderen Kamp” atau Kamp Tawanan bagi Perempuan dan Anak.
Menurut Rostineu, lokasi yang juga dijaga prajurit Korea di Ambarawa adalah kompleks gereja, yang kini adalah Gereja Katolik dan Museum Kereta Api Ambarawa. Lokasi tersebut adalah bagian dari tempat Pertempuran Palagan Ambarawa akhir tahun 1945, yang diperingati sebagai Hari Juang Kartika, ketika TNI dipimpin Jenderal Soedirman menyerbu pasukan Inggris, termasuk serdadu Gurkha dalam pertempuran berdarah di jalur Kota Magelang-Ambarawa-Kota Semarang.
Sepak terjang serdadu Korea tersebut menarik untuk dikaji karena dalam riset Rostineu, bangsa Korea sangat tertutup, berbeda dengan bangsa China dan bangsa Jepang yang sudah lama berhubungan dengan Kepulauan Nusantara. Baru pada zaman Park Chung Hee, ujar Rostineu, Korea Selatan mulai serius melihat Asia Tenggara (ASEAN) lalu membangun hubungan strategis. ”Sebelumnya mereka fokus hubungan utara-utara terutama dengan Amerika Serikat-Jepang,” kata Rostineu.
Keberadaan Yang Chil Sung dan kawan-kawannya, prajurit Korea dalam Perang Kemerdekaan Republik Indonesia, adalah benang merah dan tinta emas persahabatan Indonesia dan Korea yang berlangsung hingga kini.