Konservatisme Mendominasi, Moderasi Keagamaan di Media Sosial Perlu Lebih Digaungkan
Kecenderungan diam di media sosial membuat kelompok moderat jauh terkalahkan oleh gerakan konservatisme yang lebih aktif bersuara.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Mural berisi pesan damai menghiasi tembok di Lamper Kidul, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (7/2/2017). Mural tersebut membawa pesan damai di tengah keberagaman masyarakat yang saat ini rentan dengan isu SARA dari media sosial.
JAKARTA, KOMPAS — Narasi keagamaan di media sosial masih didominasi oleh narasi konservatif. Karena itu, transformasi di kalangan moderat untuk lebih aktif di media sosial amat diperlukan. Program moderasi yang dilakukan pun tidak hanya melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat, tetapi juga pemengaruh atau influencer yang moderat.
Adanya dominasi narasi paham keagamaan konservatif di media sosial terbukti dari penelitian bertajuk ”Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia” yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN). Setidaknya dari analisis data di media sosial yang dikumpulkan pada 2009-2019, dengung konservatisme mencapai 67,2 persen. Menyusul kemudian narasi moderat (22,2 persen), liberal (6,1 persen), dan islamis (4,5 persen).
Narasi konservatif yang cukup banyak muncul di media sosial terkait isu jender. Proporsi narasi konservatif ini juga cukup tinggi di kalangan perempuan. Sementara perempuan juga lebih rentan terhadap fanatisme paham keagamaan dibandingkan laki-laki. Kondisi ini dapat melahirkan transmisi konservatif antargenerasi.
”Narasi konservatif yang cukup banyak muncul di media sosial terkait isu jender. Proporsi narasi konservatif ini juga cukup tinggi di kalangan perempuan. Sementara perempuan juga lebih rentan terhadap fanatisme paham keagamaan dibandingkan laki-laki. Kondisi ini dapat melahirkan transmisi konservatif antargenerasi,” tutur koordinator riset program Media and Religious Trend in Indonesia (Merit) PPIM UIN, Iim Halimatusa’diyah, di Jakarta, Senin (16/11/2020).
Paham moderat merupakan aliran keagamaan yang mengedepankan keseimbangan akal dan wahyu serta keseimbangan keragaman antarkelompok sebagai prinsip dasar untuk menjaga kemaslahatan bersama. Sementara paham konservatif adalah aliran keagamaan yang menjadikan tradisi Islam awal sebagai acuan yang harus diduplikasi secara literal.
Iim mengatakan, pembahasan tematik di media sosial juga didominasi oleh narasi konservatif. Dalam tema jender, paham konservatif banyak digunakan untuk membangun pandangan mengenai subordinasi perempuan. Narasi yang disampaikan pun cenderung mengabaikan kesetaraan. Selain itu, narasi mengenai perempuan hanya terbatas berkutat pada ruang lingkup peran perempuan sebagai anak, ibu, dan istri.
Dari penelitian tersebut terdapat fakta lain yang ditemukan, yakni kontestasi paham keagamaan paling banyak ditemukan di Pulau Jawa, khususnya di Jakarta. Persentase terkait narasi keagamaan di DKI Jakarta tidak terlalu berbeda dengan perbandingan paham moderat sebanyak 67,11 persen, konservatif 60,11 persen, islamis 53,19 persen, dan liberal 44,64 persen. Di wilayah lain, dominasi suatu paham lebih terlihat, misalnya di Jawa Timur dengan dominasi paham liberal (22,62 persen), Jawa Barat dengan paham islamis (14,89 persen), dan DI Yogyakarta dengan paham islamis (21,28 persen).
Iim menuturkan, temuan lain yang juga bisa dikonfirmasi terkait dominasi konservatisme agama di media sosial karena aktor sentral dalam konstruksi narasi keagamaan dikuasai oleh akun-akun yang memiliki kecenderungan paham islamis dan konservatif. Akun tersebut lebih berpotensi menjadi viral dibandingkan dengan akun yang memiliki kecenderungan paham moderat.
Posisi kelompok dengan paham islamis pun dinilai menjadi kelompok dengan jumlah sedikit, tetapi gaungnya lebih besar di media sosial atau disebut sebagai noisy minority. ”Meskipun paham moderat memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan islamis, dengan sifat partisipasi yang cenderung diam, kelompok moderat jauh terkalahkan oleh gerakan islamis yang lebih aktif bersuara,” katanya.
Menurut Program Manager Merit PPIM UIN Fuad Jabali, penelitian yang telah dilakukan ini diharapkan dapat menjadi acuan intervensi untuk meningkatkan literasi masyarakat, terutama terkait agama dan media sosial. Media sosial juga diharapkan dapat digunakan bukan untuk merendahkan orang lain, melainkan menyebarkan nilai-nilai kebaikan secara lebih luas.
Asisten Deputi Koordinasi Kerja Sama Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Pribadi Sutiono mengatakan, kajian yang telah dilakukan oleh tim Merit PPIM UIN juga semakin memperkuat upaya pemerintah untuk lebih menggalakkan program terkait literasi media sosial. Ini terutama untuk lebih menggaungkan moderasi beragama di masyarakat.
”Kita juga perlu tahu apakah tingkat pendidikan seseorang berpengaruh pada pemahaman yang dimiliki. Karena pada saat ini ada juga orang yang berpendidikan tinggi juga terpengaruh. Jika ini bisa diketahui, diharapkan intervensi yang dilakukan bisa lebih baik dengan mempertimbangkan perlunya perbaikan pada sistem pendidikan kita,” katanya.