Ratusan siswa SMA/SMK diajak untuk memahami keberagaman, sistem demokrasi, dan jati diri sebagai bangsa Indonesia.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Generasi muda didorong memahami keberagaman dan sistem demokrasi Indonesia. Pemahaman generasi muda, khususnya pelajar SMA/SMK di Jakarta, ditanamkan melalui gerakan literasi budaya dan kewargaan. Dengan begitu, diharapkan mereka mengenal Indonesia sebagai bagian dari identitas diri.
Lebih dari 300 pelajar SMA/SMK di Jakarta mengikuti webinar sebagai rangkaian kegiatan lomba esai pada Sabtu hingga Minggu (15/11/2020), yang digelar Alumni SMA Jakarta Bersatu (ASJB). Para pelajar mendapatkan pemahaman materi tentang masyarakat adat, mengelola keberagaman, hingga pemahaman tentang konflik. Selain itu, peserta mendapat pembekalan teknik penulisan, mulai tata bahasa, teknik menulis esai, hingga menentukan topik.
Sekretaris Jenderal ASJB Ridha Radinal mengatakan, lomba esai digelar sebagai upaya untuk mengajak anak muda meningkatkan kemampuan literasi membaca dan menulis agar mampu mengolah informasi secara baik, berpikir jernih, mampu memecahkan masalah, dan tidak mudah terprovokasi.
”Kami ingin memahami pandangan anak muda tentang kondisi negeri ini. Mereka kami bekali dengan materi tentang Indonesia dan penulisan esai agar menjadi pelajar yang melek soal kebudayaan dan kewargaan,” papar Ridha.
Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyampaikan apresiasi atas inisiatif ASJB yang merawat kemajemukan di negeri ini dengan melibatkan pelajar SMA/SMK lewat lomba esai tentang keberagaman. ”Penting bagi anak muda untuk memahami keberagaman, demokrasi, sejarah, dan keanekaragaman hayati yang mempersatukan. Literasi ini tidak hanya soal baca tulis, tetapi berpikir kritis,” ujar Nadiem.
Kemampuan berpikir kritis, tambah Nadiem, membuat generasi muda tidak mudah terprovokasi. Sementara itu, melek literasi kewargaan dan kebudayaan akan mengasah mereka menjadi pelajar Pancasila, kreatif, mandiri, gotong royong, dan berwawasan global.
”Ini karakter sumber daya manusia unggul yang dibutuhkan bangsa. Indonesia butuh penulis hebat yang menghadirkan solusi untuk mengatasi berbagai isu di masyarakat,” tambah Nadiem.
Aktor Reza Rahadian mengajak para pelajar mengembangkan sikap hidup yang tidak mudah menghakimi. Apalagi di era media sosial ketika semua orang bebas dan mudah untuk berpendapat. Reza mengingatkan anak muda untuk tidak mudah bereaksi terhadap isu yang tidak jelas.
”Keberagaman bangsa ini sebagai anugerah. Kita semua bertanggung jawab untuk merawat keberagaman yang ada di negeri ini supaya kita bisa jadi contoh untuk dunia,” ujar Reza.
Keberagaman bangsa ini sebagai anugerah.
Masyarakat adat
Agung Pangestu dari masyarakat adat Sedulur Sikep di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menceritakan, adat dan nilai-nilai nenek moyang tetap diwariskan hingga generasi muda saat ini di dalam komunitas adat Sedulur Sikep.
”Kami bangga sebagai generasi muda yang melanjutkan warisan hidup para leluhur. Kami tetap hidup menjadi petani karena yakin kami berperan menjaga keseimbangan alam karena semua orang butuh sandang dan pangan,” kata Agung.
Anak-anak di komunitas adat Sedulur Sikep, lanjut Agung, tidak belajar di sekolah formal seperti anak-anak lainnya. Mereka belajar dari orangtua dan keluarga sebagai bekal menjalani kehidupan sehari-hari yang selaras dengan alam, termasuk dalam menjalankan sistem pertanian.
Namun, tambah Agung, komunitas adat menghadapi tantangan, yakni tergusur dari lahan yang mereka tempati secara turun-temurun. Dengan alasan perluasan kawasan industri atau kepentingan ekonomi, lingkungan komunitas adat mulai dirusak. Hal ini mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat dan juga lingkungan hidup.
Sementara itu, Leny Dhamayantie dari Forum Pemuda Dayak mengatakan, anak muda harus mau mengenali jati diri Indonesia. Ada banyak kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat yang tetap perlu dilestarikan.
Leny mencontohkan suku Dayak memiliki keyakinan asli Kaharingan. Sebelum berbagai agama resmi masuk ke Nusantara, masyarakat suku Dayak sudah punya ritual dalam kehidupan. Masyarakat diminta untuk menjaga tempat sakral, yakni hutan. Namun, era modern membuat tempat leluhur yang disakralkan masyarakat Dayak terancam kepentingan ekonomi.
”Ajaran dari suku asli komunitas adat belum didukung penuh, padahal ini bagian dari keragaman yang dimiliki Indonesia,” kata Leny.